Senin, 22 September 2014

BENGAWAN SOLO: Menyusuri Sungai Terpanjang di Pulau Jawa


Album Foto (10 foto)
Menyebut Bengawan Solo akan langsung membawa ingatan pada lagu karya alm. Gesang. Sungai ini dulu menjadi urat nadi kehidupan sebagian masyarakat Pulau Jawa, bahkan sempat menjadi tempat mendarat si burung besi.



Petualangan YogYES dimulai saat sang mentari masih tertidur nyenyak di balik cakrawala. Sambil menunggu perahu yang akan mengantar, kami duduk di pinggir sungai menyaksikan aktivitas warga yang mulai menggeliat. Jalur penyeberangan perahu Kampung Sewu-Bekonang tempat kami akan memulai petualangan ini mulai ramai. Sebuah perahu kayu berukuran cukup besar mondar-mandir mengantarkan para pedagang yang akan pergi ke pasar, ataupun warga yang hendak menyeberang ke kampung tetangga. Sebuah perahu kayu kecil merapat pelan. Waduh, ternyata perahu inilah yang akan mengantar kami menyusuri sungai yang terbentuk sekitar empat juta tahun lalu ini. Sedikit saja gerakan akan membuat perahu bergoyang. Namun setelah beberapa dayungan, perasaan mulai rileks. Dayungan kayuh yang seirama membawa perahu menyibak air sungai dan meluncur pelan mengikuti arus yang tenang. Temaram langit fajar mulai menjadi terang.
Beberapa ratus meter pertama, sungai ramai dengan warga dan berbagai aktivitas pagi mereka. Keramahan khas penduduk desa sangat terasa. Beberapa orang penduduk menyirami tanaman di pinggiran sungai yang disulap menjadi ladang, menggembala kambing atau bebek, atau sekedar berkumpul di atas tanggul sambil berbincang dan bersenda gurau. Sesekali perahu nelayan yang sedang mencari ikan melintas. Dulu Bengawan Solo pernah tersohor sebagai surga ikan air tawar. Bahkan ada sekitar 30 jenis ikan yang tinggal dan berkembang biak di sungai ini. Namun sayang, kini hanya beberapa jenis saja yang masih bertahan, diantaranya ikan jambal, gabus dan ikan putihan.

Monster Ganas yang Menyelamatkan Burung Garuda

Di balik riak airnya yang tenang, Bengawan Solo menyimpan kekuatan yang dahsyat. Pada musim penghujan, debit air sungai melonjak pesat dan bahkan meluap hingga ke pemukiman warga. Rusaknya daerah hulu mengakibatkan air hujan langsung jatuh ke dalam sungai dan menyebabkan pendangkalan dan meluapnya Waduk Gajah Mungkur. Jika waduk meluap maka daerah hilir seperti Solo, Ngawi, Bojonegoro, Gresik dan Lamongan akan kebanjiran.
Namun tidak selamanya debit air yang tinggi membawa bencana. Ingatan YogYES melayang kembali ke tahun 2002. Saat itu bulan Januari ketika musim penghujan mencapai puncaknya dan debit air Bengawan Solo cukup tinggi. Pesawat Garuda bernomer penerbangan 421 jurusan Ampenan-Yogyakarta sudah hampir mencapai tujuan di Bandara Adisutjipto ketika tiba-tiba masuk ke dalam awan badai dan hujan, menyebabkan kedua mesin pesawat mati mendadak. Pilot tidak memiliki pilihan selain melakukan pendaratan darurat. Mendadak pilot melihat aliran Bengawan Solo di bawahnya. Pesawat pun diarahkan ke sana, dan mendarat darurat di atas permukaan sungai. Kedalaman sungai dan debit air yang tinggi di musim penghujan terbukti mampu menyelamatkan seluruh penumpang yang berjumlah 54 orang.
Tak terasa matahari semakin tinggi. Jarak Kampung Sewu-Jurug yang bisa ditempuh dalam waktu 5 menit perjalanan darat ternyata memakan waktu hingga 1,5 jam. Setelah berhenti sejenak di bawah Jembatan Jurug untuk beristirahat, perjalanan kembali ke Kampung Sewu dimulai. Ternyata perjalanan ini lebih berat karena harus menentang arus. Perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, namun pengalaman yang kami dapat sangat luar biasa. Bengawan Solo ternyata masih menjadi pusat kehidupan bagi sebagian warga. Mencari ikan, bertani di pinggiran sungai, hingga menggembalakan ternak menjadi kegiatan mereka sehari-hari. Terlepas dari keganasannya di musim penghujan, sungai legendaris ini tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari warga yang tinggal di sepanjang alirannya. (http://solo.yogyes.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar