Laporan Tome Pires (1513) tentang Ciliwung dan Pakuan, Pajajaran
Sungai Ciliwung dan Gunung Salak di Bogor, 1875
|
Sungai Ciliwung hulunya bukanlah di Gunung Salak. Akan tetapi pemandangan Sungai Ciliwung berlatar Gunung Salak sungguh menakjubkan. Hulu Sungai Ciliwung sebenarnya berada di Gunung Pangrango. Oleh karenanya, sungai ini mengalir melalui Puncak via Ciawi, lalu membelok ke barat melalui Bogor dan kemudian berbelok ke utara melalui Depok dan Jakarta dan akhirnya bermuara ke laut di Teluk Jakarta. Inilah pemahaman kita pada masa kini tentang Sungai Ciliwung.
Persinggungan/sejajar Ciliwung-Cisadane di Bogor |
Selanjutnya pada tahun 1522 di Pelabuhan Kalapa ini dilakukan perjanjian persahabatan perdagangan antara Portugis dengan Kerajaaan Pajajaran. Adanya perjanjian ini maka Portugis diperbolehkan membangun gudang dan bahkan benteng di Pelabuhan Kalapa. Dalam perkembanganya, kerajaan Sunda, yang masih beragama Hindu meminta bantuan Portugis untuk menghadapi kemungkinan serangan oleh Demak yang beragama Islam. MoU kerjasama ditandatangani dan sebuah ‘prasasti’ didirikan di Pelabuhan Sunda Kalapa. Namun baru lima tahun (1527) perjanjian bilateral antara Portugis dan Pajajaran tersebut dibuat, pelabuhan pusat perdagangan ‘internasional’ ini telah dikuasai oleh pasukan yang dipimpin Fatahillah yang yang telah lebih dahulu sukses mengusir pasukan Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Atas kemenangan ini, nama Sunda Kelapa diganti dengan Jayakarta (Kota Kemenangan). Ini dengan sendirinya Cirebon yang dibantu Demak lalu menyerahkan wilayah Sunda Kelapa yang dikuasai ke Banten. Dengan semakin menguatnya Banten dan Pajajaran menjadi terkurung di pedalaman, maka Banten mulai melkukan invasi besar-besar ke wilayah Pajajaran. Pada tahun 1579 Banten berhasil menyerang dan menghacurkan Pajajaran. Pasca peran besar dengan Pajajaran, Kesultanan Banten merebut sisa-sisa kerajaan Sunda tersebut dan menjadikannya beragama Islam. Raja Sunda terakhir (Prabu Suryakancana) tampaknya enggan memeluk Islam dan memilih meninggalkan ibukota Pakuan tetapi meninggal dalam pelarian.
***
Sementara itu pada tahun 1595 diketahui ada ekspedisi Belanda di bawah Cornelis de Houtman berangkat ke Hindia Belanda. Secara perlahan-lahan Belanda menjadi penguasa wilayah yang sebelumnya dikuasai Portugias dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan peran Majapahit sebelumnya. Pada awalnya perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis dimanfaatkan Belanda untuk menjejakkan kakinya di Maluku. Selanjutnya kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat lebih-lebih dengan berdirinya VOC pada tahun 1602 yang akhirnya Belanda menjadi penguasa tunggal di Maluku. Pada tahun 1605, Belanda berhasil memaksa Portugis untuk menyerahkan pertahanannya di Ambon, demikian pula benteng Inggris di Pulau Seram. Sejak saat itu Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Maluku.
Daftar Perang Belanda di Nusantara |
Dari Maluku keperkasaan Belanda semakin menonjol dan kemudian merangsek ke barat hingga pada tahun 1619 Jan Pieterszoon Coen dapat menghancurkan Jayakarta. Kota Jayakarta diganti Batavia. Para pedagang Belanda yang datang pertamakali ke Jayakarta (sebelumnya Pelabuhan Sunda Kalapa) merasakan bahwa Sungai Ciliwung lebih dalam dibanding Sungai Banten (Cisadane) sehingga akan dimungkinkan dapat dilayari lebih jauh ke pedalaman.
Sungai Ciliwung adalah tempat dimana Belanda pertama kali membangun benteng. Letak benteng ini persis berada di tepi timur muara Sungai Ciliwung, sedang di tepi barat muaranya terdapat gedung Culemborg dan kantor pabean. Ini berarti Kota Batavia sendiri sebenarnya terletak di selatan benteng yang juga dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi yang dilengkapi beberapa lapis parit pertahanan. Kemudian pada 4 Maret 1621 pemerintah kota (Stad Batavia) Kota Batavia dibentuk. Selanjutnya dari kota pelabuhan inilah VOC mengendalikan perdagangan dan kekuasaan militer dan politiknya ke seluruh penjuru wilayah Nusantara. Selanjutnya Belanda pun sibuk dengan berbagai peperangan yang beberapa diantaranya terbilang alot. Dalam fase awal di Kota Batavia ini, selama delapan tahun pertama Kota Batavia sudah meluas menjadi tiga kali lipat dan akhirnya proses pembangunan Kota Batavia sendiri selesai pada tahun 1650.
Batavia 1730 |
Batavia 1750 |
Batavia 1754 |
Ekspedisi Mr Abraham van Riebeeck 1703 ke Pakuan, Pajajaran via Ciliwung
van Riebeeck |
Suatu ekspedisi tahun 1703 menuju Pakuan Pajajaran di hulu Sungai Ciliwung dilakukan. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum di dalam peta Portugis sejak awal dan juga di dalam peta yang berjudul Portuguese Colonial Dominions in India and the Malay Archipelago 1498-1850. Jauh sebelumnya diketahui bahwa di sepanjang Sungai Ciliwung juga terdapat beberapa kerajaan kecil di bawah kekuasaan kerajaan ini, diantaranya Kerajaan Muara Beres (dekat Bojong Gede).
Ekspedisi tersebut dipimpin oleh Abraham Jan van Riebeeck (pernah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1709-1713). Rute yang dilalui: Benteng - Cililitan - Tanjung (Barat) - Seringsing (Serengseng) – Pondok Cina - Depok – Pondok Terong - Bojong Manggis (dekat Bojonggede) - Kedunghalang - Parungangsana (Tanah Baru). Perjalanan ini di satu sisi menunjukkan telah adanya nama Depok sebelum Chastelein membeli tanah di Depok (1696) sementara di sisi lain, beberapa ekspedisi tersebut tidak diceritakan apakah dilakukan lewat sungai atau perjalanan daerah aliran sungai (DAS). Nama-nama kampung yang dilalui oleh ekspedisi Abraham Jan van Riebeeck juga tercantum dengan jelas dalam peta topografi yang diterbitkan pada tahun 1850. Nama-nama yang disebut dalam ekspedisi van Riebeeck ini kebetulan memang semuanya berada di pinggir (DAS) Sungai Ciliwung.
Peta Sungai Ciliwung di Depok 1850 |
Pondok Cina
Pondok Cina adalah nama kampung yang disebut dilalui dalam ekspedisi ke Pakuan, Pajajaran yang dipimpin Abraham Jan van Riebeeck (pernah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda) pada tahun 1703. Kampung ini diceritakan sebagai sebuah tempat transit pedagang-pedagang Tionghoa yang berasal dari Batavia yang hendak berjualan ke Depok. Konon waktu itu nama kampong tersebut dikaitkan dengan suatu kebijakan Cornelis Chastelein yang melarang orang-orang Tionghoa tidak boleh tinggal di Depok. Para pedagang ini hanya boleh berdagang, tapi tidak boleh bertempat tinggal. Oleh karena para pedagang- itu datangnya menjelang matahari terbenam, maka pada malam hari mereka istirahat dan membuat pondok-pondok sederhana di luar wilayah Depok yang bernama Kampung Bojong. Menjelang subuh orang-orang Tionghoa tersebut bersiap-siap untuk berangkat ke pasar Depok. Area sekitar tempat para pedagang membuat pondok tersebut sering disebut sebagai Kampung Pondok Cina.Sungai Ciliwung diTanjung Timur 1930 |
Sungai Ciliwung di Pondok Cina 1930 |
Depok
Depok adalah nama kampung yang disebut dilalui dalam ekspedisi ke Pakuan, Pajajaran yang dipimpin Abraham Jan van Riebeeck (pernah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda) pada tahun 1703. Kampung ini semakin terkenal ketika seorang swasta bernama Cornelis Chastelein di bawah wewenang Kerajaan Belanda pada 18 Mei 1696 membeli tiga bidang tanah di hutan sebelah selatan Batavia yang diveritakan hanya bisa dicapai melalui Sungai Ciliwung dan jalan setapak. Ketiga bidang tanah itu terletak di kampung Mampang, Karanganyar, dan Depok. ditambah sedikit wilayah Srengseng, Batavia plus Ratujaya, Bojong Gede, Buitenzorg (Bogor).
Total Chastelein menguasai tanah kira-kira luasnya 1.244 Ha. Tahun itu juga, ia mulai menekuni bidang pertanian di bilangan Seringsing (Serengseng) dan mengembangkannya di Depok degan dibantu para budak pekerja. Menjelang ajalnya 13 Maret 1714 Cornelis Chastelein menulis wasiat berisi antara lain, mewariskan tanahnya kepada seluruh pekerjanya yang telah mengabdi kepadanya sekaligus menghapus status pekerja menjadi orang merdeka. Pada 28 juni 1714 Cornelis Chastelein meninggal dunia. Di dalam wasiat itu yang ditulis dengan ejaan mirip van Ophuijsen itu adalah sepanggal kalimat hasil terjemahan Bahasa Belanda kuno dari surat wasiat tertanggal 14 Maret 1714 yang ditulis tangan Cornelis Chastelein. Penggalan wasiat tersebut adalah:
“…Maka hoetan jang laen jang disabelah timoer soengei Karoekoet sampai pada soengei besar, anakkoe Anthony Chastelein tijada boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanya boedak-boedak itoe mardaheka, dan djoega mareka itoe dan toeroen-temoeroennj a tijada sekali-sekali boleh potong ataoe memberi izin akan potong kajoe dari hoetan itoe boewat penggilingan teboe… dan mareka itoe tijada boleh bikin soewatoe apa djoega jang boleh djadi meroesakkan hoetan itoe dan kasoekaran boeat toeroen-temoeroennj a,…”
Sungai Krukut yang disebut-sebut dalam surat wasiat itu boleh jadi batas tanah yang berada di wilayah Kelurahan Krukut, Kecamatan Limo, Kota Depok yang sekarang (persisnya di selatan Cinere). Saat pemerintahan Daendels, banyak tanah di Pulau Jawa dijual kepada swasta, sehingga terdapat landhuis yang dimiliki oleh para tuan-tuan tanah. Di daerah Depok terdapat landhuis Pondok Cina, Mampang, Cinere, Citayam dan Bojong Gede. Sungai besar yang dimaksud adalah Sungai Ciliwung. Sekalipun istilah besar itu relatif bahkan jika diperbandingkan antar tahun-tahun yang berbeda maka menurut pengertian saat itu Sungai Ciliwung sangat besar dan mungkin sulit diseberangi. Soal lebar Sungai Ciliwung ini hal yang sama juga telah digambarkan di dalam laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara "Sungai Besar" dan "Sungai Tanggerang" (sekarang dikenal sebagai Ci Liwung dan Ci Sadane).
Sungai Ciliwung di Depok 1930
|
Pondok Terong
Kampung Bojong dan Kampung Pondok Terong, 1900 |
Sungai Ciliwung di Pondok Terong 1915
|
Seandainya ekspedisi Riebeeck melalui jalan Sungai Ciliwung, maka posisi yang disebut persinggahan ekspedisi tersebut adalah sisi sungai yang berada tidak jauh dari perkampungan Pondok Terong. Di area ini pinggir sungai cukup landai dan cukup mudah dilalui untuk menuju pusat perkampungan. Pada sisi sebelah lain Sungai Ciliwung tampaknya cukup terjal. Ini berarti dugaan pelabuhan di Sungai Ciliwung di Pondok Terong adalah salah satu sisi di Sungai Ciliwung pada masa lampau yang letaknya pada masa ini tidak jauh dari perumahan Permata Depok.
Sungai Ciliwung di Batavia dan Meester Cornelis Tempo Doeloe
Sungai Ciliwung yang terlihat sekarang besar kemungkinan berbeda dengan gambaran Sungai Ciliwung pada masa lampau. Pada masa-masa awal perjalanan menuju pakuan boleh jadi ekspedisi dapat dilakukan lewat sungai sampai ke hulu bahkan ke Pakuan. Namun pada masa-masa selanjutnya kapasitas sungai untuk bisa ditelusuri misalnya sampai ke Depok tampaknya semakin sulit dijelaskan karena kurangya bukti. Pada masa ini tidak satu ruas pun Sungai Ciliwung dapat diarungi sekalipun sangat jelas bukti (foto) yang masih tersisa dapat ditampilkan. Sehubungan dengan semakin dangkalnya Sungai Ciliwung diduga gempa bumi yang terjadi pada 1699 telah mengakibatkan kenaikan tingkat pengendapan di dalam Sungai Ciliwung khususnya yang berada dekat muara. Hal yang sangat mungkin menyebabkan pendangkalan sungai karena arus sungai yang tidak stabil karena adanya penggundulan hutan di hulu atau di sepanjang Sungai Ciliwung. Cornelis Chastelein telah mengingatkan kita di dalam wasiatnya karena ia telah menyadarinya.
Semua itu harus berakhir dan pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun Pintu Air Manggarai dan Banjir Kanal Barat (BKB) untuk mengantisipasi luapan Sungai Ciliwung yang semakin tidak tstabil dan tidak terkendali. BKB ini adalah sungai besar buatan untuk mengalihkan sebagian air Ciliwung ke arah sisi barat Jakarta—Dalam kaitan ini sejumlah kanal, sodetan dan pintu air juga dibangun. Tujuannya untuk menyelamatkan pusat kota dan kawasan istana Gubernur Jenderal. Dalam halaman berikut ada beberapa penampilan Sungai Ciliwung yang terekam dengan baik pada masa doeloe di Batavia dan Meester Cornelis dapat dilihat pada lampiran. Dikompilasi olehAkhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber berikut: -Ekspedisi Ciliwung: laporan jurnalistik Kompas : mata air, air mata, -jakarta.go.id, -nla.gov.au, -kitlv.nl, -wikipedia.
Sungai Ciliwung di Jatinagera 1880
|
Perayaan Lomba Hias Perahu Orang Tionghoa di Jatinegara 1895
|
Perahu di Matraman 1890
|
Sungai Ciliwung di Matraman, 1900
Rakit dari bamboo di Sungai Ciliwung di Jatinegara 1901.
(http://poestahadepok.blogspot.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar