Pertengahan 2013 sedang heboh-hebohnya soal illegal mining emas di Solok Selatan, yang konon menghasilkan 60 kg emas per hari (!). Dikabarkan bahwa ada sekitar 300 eksavator yang mengeruk sepanjang Sungai Batang Hari yang melalui kabupaten tersebut. Konon lagi, penggantian Kapolda Sumbar beberapa waktu lalu juga terkait dengan soal emas ini. Tapi bagi ambo agak lucu juga kalau eksavator yang berjumlah ratusan itu disebut illegal. Karena yang illegal itu biasanya kan sembunyi-sembunyi. Nah, sekarang bagaimana caranya eksavator bekerja secara sembunyi-sembunyi? Mau datang lewat mana dia? Diantar pakai helikopter? BBM-nya beli dimana? Naik helikopter juga? welehweleh...
Ya, kita hentikan saja pembicaraan soal Solok Selatan. Pihak yang berwenang sedang mengurusnya. Yang jelas kasus ini mengingatkan ambo kepada tambang emas yang konon tertua di Indonesia, yaitu tambang emas Salido di dekat Painan.
Sebenarnya kemasyhuran pulau Sumatera sebagai Swarna Dwipa atau Pulau Emas sudah lama terdengar oleh bangsa Eropa melalui cerita-cerita para pelaut dari Timur. Konon para raja yang berkuasa di Swarna Dwipa menggunakan emas selain untuk alat tukar juga untuk menghias istana. Bahkan untuk melempari ikan di kolam di kerajaan Dharmasraya sang raja menggunakan batangan-batangan emas. Begitulah saking kayanya dengan emas. Sementara daerah yang dianggap sebagai biang emas adalah daerah di sepanjang aliran sungai ke Samudra Hindia yang berhulu di Bukit Barisan.
Salah satu negeri yang tercatat dalam catatan bangsa Eropa memiliki tambang emas itu adalah Salido. Dalam catatan kolonial disebut Salida. Berasal dari bahasa Portugis yang berarti Jalan Keluar. Memang Salida adalah pintu gerbang (atau jalan keluar) bagi bangsa Eropa untuk keluar dan masuk ke pulau Sumatera dari Loji/Benteng mereka yang berlokasi di Pulau Cingkuak. Pulau Cingkuak sendiri posisinya tepat berada di depan Salido. Nama Salida mulai populer ketika VOC mendapat konsesi untuk berdagang di pantai barat Sumatera melalui Perjanjian Painan pada Mei 1662.
Tambang emas Salido sebenarnya sudah ditambang secara tradisional oleh masyarakat. VOC baru mengeksplorasinya pada tahun 1669 dengan mendatangkan 2 ahli pertambangan yaitu Nicolaas Frederich Fisher dan Johan de Graf. Hasil penelitian keduanya melaporkan bahwa tambang itu layak untuk dieksploitasi. Karena itu didatangkanlah budak-budak dari Madagaskar serta tawanan perang untuk dipekerjakan sebagai buruh tambang disana.
Pada bulan Juli tahun 1679 sampailah di Salido seorang insinyur baru yang bernama Johann Wilhelm Vogel asal Jerman. Rupanya ia seorang yang rajin mencatat. Beberapa tahun kemudian ia membuat buku tentang pengalamannya bekerja di tambang Salido. Sketsa dibawah dibuat berdasarkan catatannya pada tahun 1685.(click untuk memperbesar)
Dari sketsa terlihat bahwa tambang emas Salido berbeda dengan tambang emas illegal mining-nya Solok Selatan. Kalau di Solok Selatan emasnya berada di dalam batang airsehingga perlu dikeruk dengan eksavator, maka di Salido emasnya berada di perut bukit. Sehingga perlu dibuat lubang seperti tikus untuk menambangnya. Ke dalam lubang tikus itulah para pekerja bekerja. Bisa dibayangkan menyuruk ke dalam tanah dengan teknologi abad ke-17, tentulah sangat beresiko tinggi. Tak ayal tingkat kematian buruh tambang disini juga tergolong tinggi.
Barak pekerja terlihat berada di pintu masuk lubang tambang, baik di kaki bukit maupun di atas bukit. Yang di atas bukit dihiasi dengan bendera triwarna. Sedangkan di pinggang bukit terdapat sebuah bangunan yang ditulis sebagai "Laboratorium". Tidak dijelaskan apa kegunaan laboratorium itu.
Tambang ini sempat buka-tutup beberapa kali karena merugi. Manajemennya pun bergantiganti. Namun menurut studi yang dilakukan oleh R.J. Verbeek yang pernah menulis beberapa buku tentang Tambang Salido, antara 1669-1735 sudah 800 ton bijih emas yang dihasilkan Tambang Salido, dengan nilai f 1 200 000 atau rata-rata f 1 500 per ton.
Akhirnya pada tahun 1928, tambang ini resmi ditutup (kembali) karena bangkrut. Meskipun di dalam perut bukitnya masih terkandung emas. Namun biaya eksploitasinya tidak sebanding dengan hasilnya. Sisa-sisa emas inilah yang ditambang oleh masyarakat sampai sekarang. Tapi hasilnya sungguh berbeda jauh dengan yang di Solok Selatan...
Sebagai kenang-kenangan, dua orang "Toean" berpose di depan lubang tambang Salido yang diberi nama lubang Prinse (Pangeran) pada 14 Agustus 1914. Kalau di dalam sketsa-nya Vogel diatas, lubang ini adalah lubang yang berada di kaki bukit. Saat foto ini diambil, manajemen tambang sedang giat-giatnya melakukan upaya penyelamatan tambang dari kebangkrutan. Walaupun akhirnya gagal juga.
Dengan teknologi modern sekarang, mungkinkan Swarna Dwipa dihidupkan kembali?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar