STASIUN Kereta Api Kota Bandung, Jawa Barat, pintu selatan pagi hari sudah sibuk. Sorot matahari mengintip malu-malu dari sisi timur bangunan stasiun.
Cahayanya menjilat dinding kiri stasiun dengan warna kuning keemasan, tanda baru terbit. Sepagi itu calon penumpang yang berjalan bergegas masuk stasiun sudah berdatangan. Di depan stasiun ada terminal angkutan kota, dan penjaja sarapan pagi bubur ayam, gorengan, dan roti kukus sudah memulai hari.
Meskipun stasiun ini mulai beroperasi sejak 17 Mei 1884, bersamaan dengan peresmian jaringan KA Bandung-Batavia (Jakarta) lewat Bogor, stasiun pada bentuknya sekarang merupakan hasil rancangan tahun 1928 oleh arsitek Belanda, EH de Roo. Dia adalah arsitek yang juga membangun Gedung Sate, gedung pusat pemerintahan kolonial Belanda di Bandung. Pada dekade 1920-an, Belanda hendak memindahkan ibu kota Pemerintah Hindia Belanda dari Jakarta ke Bandung.
PT Kereta Api Indonesia (KAI) membawa kami, rombongan sejumlah wartawan, menyusuri bangunan dan benda sejarah yang kini dimiliki badan usaha milik negara itu beberapa saat lalu. Sungguh luar biasa memahami bahwa Pemerintah Kerajaan Belanda masa itu sudah memulai pekerjaan memindahkan ibu kota pemerintahan dari Jakarta ke Bandung.
Pemerintah Kerajaan Belanda membangun aneka bangunan pemerintahan, termasuk stasiun, seolah-olah kolonialisme akan hidup selama-lamanya di negeri jajahan. Ekonomi kerajaan Belanda akan runtuh tahun 1930-an saat zaman malaise (krisis ekonomi), dan kemudian makin hancur oleh okupasi Nazi Jerman masa Perang Dunia II. Karena itu, ibukota tetap di Jakarta sampai sekarang.
Militerisme dan ekonomi merupakan alasan utama pendirian jejaring jalan dan bangunan stasiun KA di Jawa, banyak dokumen yang menyebutkan itu. Jadi, mempelajari stasiun tua dan jaringan kereta api ini seolah-olah seperti kegiatan otopsi dalam kedokteran forensik untuk menyelidiki motif di belakang kepala perancang kolonialisme Belanda terhadap negeri jajahannya ini.
Memindahkan ibu kota merupakan pekerjaan raksasa karena ada 14 kantor yang hendak dibangun, ditambah perumahan bagi 1.500 pegawai meneer Belanda. Karena itu, karakter bangunan-bangunan era kolonial di Bandung dikerjakan sebagai bentuk premium keterampilan arsitektur bangunan zamannya. Bangunan dihiasi dengan jendela kaca patri dan mengundang para pengukir bong pay (kuburan orang Tionghoa).
Juga terasa luar biasa memahami sejumlah bangunan transportasi utama zaman itu, stasiun dan rel kereta api, yang dibiayai dengan amat mahal bermunculan di desa-desa kecil di sepanjang rute jalurnya. Dari Bandung ada stasiun-stasiun dan emplasemen, seperti Kiaracondong, Tanjungsari, Rancaekek, Cicalengka, Citiis, Lebakjero, Cimanuk, Cibatu, lalu Nagreg di titik tertinggi 848 meter di atas permukaan laut.
Kemudian Ciherang dan Cipendeuy yang dikenal sebagai tempat istirahat kereta setelah melintasi jalur naik turun pegunungan. Muncul pertanyaan besar, kenapa dan atas pertimbangan apa kelayakan lokasi-lokasi desa ini.
Menembus bukit
Apa yang hendak dituju pemerintah kolonial? Sumber komoditas ekonomi apa atau ancaman militer apa sehingga jalur selatan rel Jawa ini dibangun, menembus bukit dengan membuat terowongan, mendirikan jembatan-jembatan melintasi jurang setinggi puluhan meter di antara pegunungan wilayah Priangan.
Jelas dibutuhkan keterampilan arsitektur dan engineering yang amat tinggi untuk merencanakan dan melaksanakan pembuatan struktur transportasi dengan segala kesederhanaan teknologi zaman itu. Stasiun Cibatu kini sebuah stasiun kecil dari jaringan rel KA lintas selatan Jawa adalah contohnya. Cibatu, sebuah kota kecamatan yang sejuk, berada di wilayah Kabupaten Garut sekarang.
Pada masa awal pembukaan jalur kereta api oleh Belanda di Jawa, kota kecil di Cibatu ini ditetapkan sebagai pusat bengkel lokomotif uap masa kolonial. Salah satu dokumen yang menyebut bengkel lokomotif yang disebut ”depo” ini pernah mempekerjakan 700 orang. Pastilah mereka pekerja lokal pribumi.
Menurut Maman (50-an), pegawai PT KAI di Stasiun Cibatu yang kini bertugas sebagai pengelola di bawah Divisi Heritage Non Bangunan PT KAI, depo ini ditutup tahun 1980-an. Sebab, lokomotif uap sudah ketinggalan teknologi dan nilai ekonomi. Lokomotif uap (kepala rangkaian KA) sejak 1983 sepenuhnya dimuseumkan.
Saat ditutup, depo ini masih mempekerjakan 400-an orang, tambah Maman. Jumlah yang besar. Maka, dengan segera muncul tanda tanya tentang hidup dan sejarah mereka, para buruh kereta api ini, untuk dilihat sebagai kesatuan dari kekayaan warisan (heritage).
Buruh kereta api merupakan pecahan fragmen sejarah kereta yang nyaris tak tercatat, padahal kehadirannya jelas pasti hidup bersama para kolonialis. Tahun 1920-an, apabila tulisan ini menengok sejarah sosial para buruh kereta api ini, bisa disebut inilah periode awal kelembagaan sosial modern bagi pribumi Jawa di tengah kemunculan modernisasi di tanah jajahan Hindia Belanda ini. Yakni, para pekerja buruh kereta api.
Sebab, di lingkungan industri transportasi kereta api inilah, di antara komunitas pribumi yang sudah berhasil membentuk organisasi serikat pekerja permanen. Kelak, ini merupakan yang pertama dalam sejarah lembaga sosial modern di tanah Jawa di luar birokrasi.
Pada tahun 1948, dalam buku sejarah tentang gerakan militer di Madiun, ada catatan yang menyebutkan para anggota Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) di Madiun bisa mengirimkan delegasinya dalam konferensi di Yogyakarta.
Inilah serikat buruh yang amat berdaya, bahkan di masa penjajahan, karena SBKA pada masa itu bisa mengirim delegasi untuk konferensi di luar kota. Peristiwa yang bahkan tak akan terjadi di masa kini. Madiun bahkan masih jadi pusat berdirinya Industri Kereta Api atau PT INKA hingga sekarang.
Buku kecil Railway Heritage Trail: Bandung-Pangandaran yang disusun Unit Konservasi Warisan dan Desain Arsitektur PT KAI (2013) tak sepotong pun menulis soal heritage (warisan) tentang kepesertaan kaum pribumi dalam pembahasannya. Pribumi hanya kaum liyan (the other) yang tak pernah dimasukkan dalam bingkai analisis.
Padahal, di kota sekecil Cibatu ini pernah ada hampir 1.000 pegawai/buruh kereta api saja (700 orang pegawai depo, dan ratusan lainnya pegawai Stasiun KA Cibatu), yang niscaya memberikan dampak ekonomi tidak sepele.
Kalaupun ada catatan tentang sejarah sosial di buku itu adalah catatan perusakan aset PT KA oleh masyarakat saat era reformasi, yang disebut ”penjarahan rel besi”. Tidak ada counter balance tulisan tentang bagaimana perusahaan kereta api Belanda pada zaman dulu tidak hanya menjarah tanah-tanah penduduk untuk pembuatan bangunan stasiun dan jalur kereta api, tetapi juga mengorbankan kaum pribumi untuk kerja paksa.
Cibatu masa kini seperti sebuah desa kecil. Blog pribadi ada yang membahas tentang Stasiun Cibatu. Blog di Kompasiana itu menyebutkan, pada tahun 1980-an, saat penulis blog masih remaja, Stasiun Cibatu seperti sebuah pasar rakyat.
Pada saat itu, stasiun berperan ganda dalam komunitasnya. Tidak sekadar titik jumpa dalam jalur transportasi. Stasiun bukan sekadar moda transportasi belaka, melainkan juga berkembang sebagai pusat peradaban, khususnya ekonomi, pastilah juga titik pertemuan antarkerabat jauh yang kini bertemu.
”Suasana malam di Stasiun Cibatu waktu itu sungguh hidup. Bajigur hangat, bandrek panas dan pedas, ketimus, leupeut, dan tahu merupakan menu yang menemani mereka yang menunggu si Gombar (kereta api lokomotif uap Bandung-Cibatu) menjelang subuh. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan,” kisah Iskandar Zulkarnain, penulis kisah nostalgia di Kompasiana (2013).
Ada bangunan besar yang sama besarnya dengan Stasiun Cibatu berada di sisi timur. Di situlah dipo perawatan lokomotif uap berada dan kini sepenuhnya menganggur. Di sebuah ruangan tampak sejumlah peralatan bubut untuk membuat baut, drat, dan aneka komponen mesin kereta api. Masih tampak jelas pada salah satu mesin ada label berukir logam tertulis angka tahun 1931.
Tak dioperasikan
Stasiun lama dan tua yang sebagian sudah tak dioperasikan inilah yang kini tengah jadi sasaran Unit Konservasi Warisan dan Desain Arsitektur (UKWD) di bawah manajemen Direktur Komersial PT KAI. Jumlahnya ratusan, bangunan dan benda. PT KAI menggolongkannya dalam dua kategori, bangunan dan nonbangunan.
”Unit ini mengumpulkan rekaman sejarah sebisa mungkin dan berusaha merawatnya, dan jika mungkin dimanfaatkan untuk tujuan komersial sebagai daya tarik wisata,” kata Tranggono Adi dari UKWD PT KAI Pusat di Jakarta yang menemani kami di Bandung.
Semoga UKWD tidak hanya terjebak ”merayakan” warisan kolonial, tetapi juga merekam pengorbanan dan derita pribumi. Sebab, mustahil tidak ada pribumi yang telah ikut menggerakkan industri kereta api sebagai ”sejarah sosial” yang nyata ada, meski catatannya mungkin tak ada, tersingkirkan, dibuang, atau diabaikan. Sebab, merekalah para kakek nenek generasi masa kini pewaris republik yang sebenarnya. (http://travel.kompas.com/)
Cahayanya menjilat dinding kiri stasiun dengan warna kuning keemasan, tanda baru terbit. Sepagi itu calon penumpang yang berjalan bergegas masuk stasiun sudah berdatangan. Di depan stasiun ada terminal angkutan kota, dan penjaja sarapan pagi bubur ayam, gorengan, dan roti kukus sudah memulai hari.
Meskipun stasiun ini mulai beroperasi sejak 17 Mei 1884, bersamaan dengan peresmian jaringan KA Bandung-Batavia (Jakarta) lewat Bogor, stasiun pada bentuknya sekarang merupakan hasil rancangan tahun 1928 oleh arsitek Belanda, EH de Roo. Dia adalah arsitek yang juga membangun Gedung Sate, gedung pusat pemerintahan kolonial Belanda di Bandung. Pada dekade 1920-an, Belanda hendak memindahkan ibu kota Pemerintah Hindia Belanda dari Jakarta ke Bandung.
PT Kereta Api Indonesia (KAI) membawa kami, rombongan sejumlah wartawan, menyusuri bangunan dan benda sejarah yang kini dimiliki badan usaha milik negara itu beberapa saat lalu. Sungguh luar biasa memahami bahwa Pemerintah Kerajaan Belanda masa itu sudah memulai pekerjaan memindahkan ibu kota pemerintahan dari Jakarta ke Bandung.
Pemerintah Kerajaan Belanda membangun aneka bangunan pemerintahan, termasuk stasiun, seolah-olah kolonialisme akan hidup selama-lamanya di negeri jajahan. Ekonomi kerajaan Belanda akan runtuh tahun 1930-an saat zaman malaise (krisis ekonomi), dan kemudian makin hancur oleh okupasi Nazi Jerman masa Perang Dunia II. Karena itu, ibukota tetap di Jakarta sampai sekarang.
Militerisme dan ekonomi merupakan alasan utama pendirian jejaring jalan dan bangunan stasiun KA di Jawa, banyak dokumen yang menyebutkan itu. Jadi, mempelajari stasiun tua dan jaringan kereta api ini seolah-olah seperti kegiatan otopsi dalam kedokteran forensik untuk menyelidiki motif di belakang kepala perancang kolonialisme Belanda terhadap negeri jajahannya ini.
Memindahkan ibu kota merupakan pekerjaan raksasa karena ada 14 kantor yang hendak dibangun, ditambah perumahan bagi 1.500 pegawai meneer Belanda. Karena itu, karakter bangunan-bangunan era kolonial di Bandung dikerjakan sebagai bentuk premium keterampilan arsitektur bangunan zamannya. Bangunan dihiasi dengan jendela kaca patri dan mengundang para pengukir bong pay (kuburan orang Tionghoa).
Juga terasa luar biasa memahami sejumlah bangunan transportasi utama zaman itu, stasiun dan rel kereta api, yang dibiayai dengan amat mahal bermunculan di desa-desa kecil di sepanjang rute jalurnya. Dari Bandung ada stasiun-stasiun dan emplasemen, seperti Kiaracondong, Tanjungsari, Rancaekek, Cicalengka, Citiis, Lebakjero, Cimanuk, Cibatu, lalu Nagreg di titik tertinggi 848 meter di atas permukaan laut.
Kemudian Ciherang dan Cipendeuy yang dikenal sebagai tempat istirahat kereta setelah melintasi jalur naik turun pegunungan. Muncul pertanyaan besar, kenapa dan atas pertimbangan apa kelayakan lokasi-lokasi desa ini.
Menembus bukit
Apa yang hendak dituju pemerintah kolonial? Sumber komoditas ekonomi apa atau ancaman militer apa sehingga jalur selatan rel Jawa ini dibangun, menembus bukit dengan membuat terowongan, mendirikan jembatan-jembatan melintasi jurang setinggi puluhan meter di antara pegunungan wilayah Priangan.
Jelas dibutuhkan keterampilan arsitektur dan engineering yang amat tinggi untuk merencanakan dan melaksanakan pembuatan struktur transportasi dengan segala kesederhanaan teknologi zaman itu. Stasiun Cibatu kini sebuah stasiun kecil dari jaringan rel KA lintas selatan Jawa adalah contohnya. Cibatu, sebuah kota kecamatan yang sejuk, berada di wilayah Kabupaten Garut sekarang.
Pada masa awal pembukaan jalur kereta api oleh Belanda di Jawa, kota kecil di Cibatu ini ditetapkan sebagai pusat bengkel lokomotif uap masa kolonial. Salah satu dokumen yang menyebut bengkel lokomotif yang disebut ”depo” ini pernah mempekerjakan 700 orang. Pastilah mereka pekerja lokal pribumi.
Menurut Maman (50-an), pegawai PT KAI di Stasiun Cibatu yang kini bertugas sebagai pengelola di bawah Divisi Heritage Non Bangunan PT KAI, depo ini ditutup tahun 1980-an. Sebab, lokomotif uap sudah ketinggalan teknologi dan nilai ekonomi. Lokomotif uap (kepala rangkaian KA) sejak 1983 sepenuhnya dimuseumkan.
Saat ditutup, depo ini masih mempekerjakan 400-an orang, tambah Maman. Jumlah yang besar. Maka, dengan segera muncul tanda tanya tentang hidup dan sejarah mereka, para buruh kereta api ini, untuk dilihat sebagai kesatuan dari kekayaan warisan (heritage).
Buruh kereta api merupakan pecahan fragmen sejarah kereta yang nyaris tak tercatat, padahal kehadirannya jelas pasti hidup bersama para kolonialis. Tahun 1920-an, apabila tulisan ini menengok sejarah sosial para buruh kereta api ini, bisa disebut inilah periode awal kelembagaan sosial modern bagi pribumi Jawa di tengah kemunculan modernisasi di tanah jajahan Hindia Belanda ini. Yakni, para pekerja buruh kereta api.
Sebab, di lingkungan industri transportasi kereta api inilah, di antara komunitas pribumi yang sudah berhasil membentuk organisasi serikat pekerja permanen. Kelak, ini merupakan yang pertama dalam sejarah lembaga sosial modern di tanah Jawa di luar birokrasi.
Pada tahun 1948, dalam buku sejarah tentang gerakan militer di Madiun, ada catatan yang menyebutkan para anggota Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) di Madiun bisa mengirimkan delegasinya dalam konferensi di Yogyakarta.
Inilah serikat buruh yang amat berdaya, bahkan di masa penjajahan, karena SBKA pada masa itu bisa mengirim delegasi untuk konferensi di luar kota. Peristiwa yang bahkan tak akan terjadi di masa kini. Madiun bahkan masih jadi pusat berdirinya Industri Kereta Api atau PT INKA hingga sekarang.
Buku kecil Railway Heritage Trail: Bandung-Pangandaran yang disusun Unit Konservasi Warisan dan Desain Arsitektur PT KAI (2013) tak sepotong pun menulis soal heritage (warisan) tentang kepesertaan kaum pribumi dalam pembahasannya. Pribumi hanya kaum liyan (the other) yang tak pernah dimasukkan dalam bingkai analisis.
Padahal, di kota sekecil Cibatu ini pernah ada hampir 1.000 pegawai/buruh kereta api saja (700 orang pegawai depo, dan ratusan lainnya pegawai Stasiun KA Cibatu), yang niscaya memberikan dampak ekonomi tidak sepele.
Kalaupun ada catatan tentang sejarah sosial di buku itu adalah catatan perusakan aset PT KA oleh masyarakat saat era reformasi, yang disebut ”penjarahan rel besi”. Tidak ada counter balance tulisan tentang bagaimana perusahaan kereta api Belanda pada zaman dulu tidak hanya menjarah tanah-tanah penduduk untuk pembuatan bangunan stasiun dan jalur kereta api, tetapi juga mengorbankan kaum pribumi untuk kerja paksa.
Cibatu masa kini seperti sebuah desa kecil. Blog pribadi ada yang membahas tentang Stasiun Cibatu. Blog di Kompasiana itu menyebutkan, pada tahun 1980-an, saat penulis blog masih remaja, Stasiun Cibatu seperti sebuah pasar rakyat.
Pada saat itu, stasiun berperan ganda dalam komunitasnya. Tidak sekadar titik jumpa dalam jalur transportasi. Stasiun bukan sekadar moda transportasi belaka, melainkan juga berkembang sebagai pusat peradaban, khususnya ekonomi, pastilah juga titik pertemuan antarkerabat jauh yang kini bertemu.
”Suasana malam di Stasiun Cibatu waktu itu sungguh hidup. Bajigur hangat, bandrek panas dan pedas, ketimus, leupeut, dan tahu merupakan menu yang menemani mereka yang menunggu si Gombar (kereta api lokomotif uap Bandung-Cibatu) menjelang subuh. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan,” kisah Iskandar Zulkarnain, penulis kisah nostalgia di Kompasiana (2013).
Ada bangunan besar yang sama besarnya dengan Stasiun Cibatu berada di sisi timur. Di situlah dipo perawatan lokomotif uap berada dan kini sepenuhnya menganggur. Di sebuah ruangan tampak sejumlah peralatan bubut untuk membuat baut, drat, dan aneka komponen mesin kereta api. Masih tampak jelas pada salah satu mesin ada label berukir logam tertulis angka tahun 1931.
Tak dioperasikan
Stasiun lama dan tua yang sebagian sudah tak dioperasikan inilah yang kini tengah jadi sasaran Unit Konservasi Warisan dan Desain Arsitektur (UKWD) di bawah manajemen Direktur Komersial PT KAI. Jumlahnya ratusan, bangunan dan benda. PT KAI menggolongkannya dalam dua kategori, bangunan dan nonbangunan.
”Unit ini mengumpulkan rekaman sejarah sebisa mungkin dan berusaha merawatnya, dan jika mungkin dimanfaatkan untuk tujuan komersial sebagai daya tarik wisata,” kata Tranggono Adi dari UKWD PT KAI Pusat di Jakarta yang menemani kami di Bandung.
Semoga UKWD tidak hanya terjebak ”merayakan” warisan kolonial, tetapi juga merekam pengorbanan dan derita pribumi. Sebab, mustahil tidak ada pribumi yang telah ikut menggerakkan industri kereta api sebagai ”sejarah sosial” yang nyata ada, meski catatannya mungkin tak ada, tersingkirkan, dibuang, atau diabaikan. Sebab, merekalah para kakek nenek generasi masa kini pewaris republik yang sebenarnya. (http://travel.kompas.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar