Konon cerita asal-usul suku Bulungan dimulai dari kisah kehidupan Ku Anyi, Ku Anyi adalah seorang kepala Suku Dayak Hupan (Dayak Kayan Uma Apan) mereka tinggal di hilir Sungai Kayan, mula-mula mendiami sebuah perkampungan kecil yang penghuninya hanya terdiri atas kurang lebih 80 jiwa di tepi Sungai Payang, cabang Sungai Pujungan.
Hingga masa tuanya Ku Anyi ternyata belum dikaruniai seorang anak. ketika suatu hari, pada saat Ku Anyi berburu di hutan, ia mendengar suara aneh. Anjing berburunya menyalak keras kearah sebatang bambu betung dan sebutir telur diatas pohon Jemlai. Karena rasa penasaran, bambu betung dan sebutir telur tersebut dibawanya pulang dan diletakan di perapian dapur. Keesokan harinya kedua benda tersebut berubah menjadi dua sosok bayi mungil laki-laki dan perempuan. Akhirnya, Ku Anyi dan Istrinya memberikan nama Jau Iru yang artinya “si Guntur Besar” pada bayi laki-laki dan Lemlai Suri pada bayi perempuan tersebut, keduanya dipelihara dengan baik hingga dewasa, dan dinikahkan
Peristiwa aneh ini oleh masyarakat dinamakan Bulongan (bambu dan telur), pada perkembanganya menjadi Bulungan. Versi lainnya menyebutkan Bulungan berasal dari perkataan “Bulu Tengon”, karena perubahan dialek dari bahasa bulungan kuno ke bahasa melayu menjadi Bulungan. sebutan ini digunakan hingga saat ini. Kisah Jau Iru dan Lemlai Suri kini diabadikan dengan didirikannya sebuah Monumen Telor Pecah. Monumen tersebut terletak di antara Jl. Sengkawit dan Jl. Jelarai, Kota Tanjung Selor, yang mengingatkan tentang cikal bakal berdirinya Kesultanan Bulungan.
Pada perkembangan sejarahnya, keturunan Jau Iru (Asung Wulan) menikah dengan pendatang bernama Datuk Mencang. Datuk Mencang adalah salah seorang putera Raja Brunei di Kalimantan Utara yang telah mempunyai bentuk pemerintahan teratur. Sejak masa kepemimpinan Datuk Mencang inilah berakhirnya era Kepala Adat/Suku dan terbentuk Kerajaan Bulungan dengan sebutan pemimpinnya adalah Ksatria/Wira (1555-1594). Kemudian kepemimpinan diserahkan kepada menantu yang berasal dari Kesultanan Sulu, Filipina Selatan, yaitu Singa Laut (1594-1618). Kerajaan ini menjadi Kesultanan pada masa Wira Amir dengan gelar Sultan Amiril Mukminin (1731-1777).
Letaknya di tepi Sungai Kayan di Tanjung Palas, Istana Kesultanan Bulungan pernah dibongkar pada masa PKI, tahun 1965. Namun pada tahun 1999, telah dibangun replika istana tersebut dan difungsikan sebagai Museum Kesultanan Bulungan. Di belakang bangunan istana terdapat masjid tua dan makam Datuk Djalaludin beserta keluarganya. Datuk Djalaludin adalah sultan terakhir yang meninggal pada tahun 1958. Kesultanan itu dihapuskan pada tahun 1959 dan wilayah itu menjadi kabupaten yang sederhana.
Untuk berkunjung ke daerah ini dapat dicapai dengan pesawat terbang dari Samarinda ke Tanjung Selor, kemudian menyeberang dengan menggunakan perahu ketinting menuju Tanjung Palas. (http://wisatapedia.net/)
Sumber:
- Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Timur. (2012) Indonesia: Kalimantan Timur (Sekilas Kalimantan Timur/Guide Book). Samarinda: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Timur.
- Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Timur. Indonesia: Kalimantan Timur (Let’s Visit to East Kalimantan). Samarinda.
- Pemerintah Kabupaten Bulungan, 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar