Berhadapan lansung dengan laut, Lorong itu terlihat lengang, tak tampak kesibukan disana sini, jalanan masuk berpaving terlihat sudah rusak pada beberapa bagian, pedagang kaki lima seakan menjadi penjaga pintu lorong. Sepanjang mata memandang terlihat Tembok pembatas antara kantor kodam setempat dan sebuah kantor pemerintah, dan barisan beberapa pohon mangga yang tampak tua di ujung lorong tersebut.
Sekilas tak ada yang istimewa pada lorong ini, hilir mudik kendaraan makin mengisolir keistimewaan dari gang kecil ini. padahal tepat di bagian ujung dalam lorong ini berdiri tegak sebuah pintu gerbang yang masih tampak sisa-sisa kegagahan masa lalu. Pada gerbang ini adalah gerbang sebuah benteng yang sangat bersejarah, Cikal bakal penjajahan di Indonesia juga cikal bakal kota Ambon.
Dalam Sejarahnya, Portugis setelah benteng sementara mereka di Leihitu di bakar, akhirnya pindah ke Jazirah Leitimor dan setelah beberapakali pindah, akhirnya menetap di sebidang tanah yg diberikan oleh Negeri Soya. Di sana didirikan sebuah benteng tetap dari batu dan kapur yang selesai pada akhir bulan juni 1576.
Berdasarkan fakta-fakta sejarah pendirian kota Ambon yang dianalisa dimana sekitar tahun tersebut sudah dimulai pembangunan benteng “Kota Laha” didataran Honipopu dengan mengerahkan penduduk di sekitarnya oleh penguasa Portugis seperti penduduk negeri / desa Kilang, Ema, Soya, Hutumuri, Halong, Hative, Seilale, Urimessing, Batu Merah dll.
Benteng Portugis yang dibangun diberi nama “Nossa Senhora de Anuneiada”. Dalam perkembangannya kelompok pekerja benteng mendirikan perkampungan yang disebut “Soa” Kelompok masyarakat inilah yang menjadi dasar dari pembentukan kota Ambon kemudian (Cidade Amboina) karena di dalam perkembangan selanjutnya masyarakat tersebut sudah menjadi masyarakat geneologis teritorial yang teratur.
Benteng inilah yang menjadi pusat kehidupan orang Portugis. Selain menjadi pusat perdagangan, juga menjadi pusat usaha penginjilan dan kehidupan masyarakat kristen. Di sekitarnya tumbuh perkampungan orang2 kristen baik casados maupun mesiti dan orang mardika (mardijkers). Terdapat juga perwakilan dari negeri-negeri di Ambon, Lease dan pulau-pulau di sekitarnya yang ada hubungan dagang dan agama dengan benteng tersebut. Seperti dari negeri2 Nusaniwe dan Kilang, dari Hitu dan Luhu (Seram Bag. Barat), lalu kampung2 ini berkembang dan meluas dan akhirnya bersatu menjadi kota kecil dengan nama Ambon.
Kota inilah yang kemudian menjadi pusat kewibawaan Belanda, kota ini pula merupakan pusat penghidupan dan penyebaran kebudayaan Mestiso yng meluas ke negeri2 Leitimor dan kiranya, makin meluas pengaruh pemerintahan kolonial, maka meluas kebudayaan campuran ini, yang dari Mestiso Portugis menjadi Mestiso Portugis-Belanda sebagai identitas msyrakat pribumi dengan pemerintahan baru.
Tepat pada sebelah kanan benteng yang dibatasi dengan sungai kecil terdapat sebuah perkampungan tempat orang-orang Mestiso dan Mardijkers tinggal dan menetap untuk membantu Portugis membuat benteng dan lai-lain. Orang Mardika ini terdapat dalam tulisan Portugis sebagai pengemudi dan awak kora-kora atau sebagai serdadu. Mereka umumnya tinggal di pemukiman sendiri, di luar batas lingkungan suatu negeri, dan di Ambon terdapat kampung Halong Mardika pada perbatasan antara Halong dan Soya.
Padre Alesandro Valignano yg terkenal sebagai resorganisasi misi-misi Jesuit di Asia membagi penduduk India portuguesa sebagai berikut : 1, Mereka yg terlahir di Portugal termasuk “Reinil”, 2. Orang Portugis yang lahir di india dari orang tua portugis asli ; 3. “Casticos” mereka yg lahir dari ayah Eropa dan ibu indo; 4. Mestico (mestiso) atau half-breeds; terakhir penduduk pribumi dan bangsa bangsa lain.
Namun dalam hal ini perlu disebut golongan orang Mardika yg untuk pertama kali terdapat dalam manuskrip António_Bocarro “A Capitania de Amboino“. adalah orang-orang pendatang yang ikut dengan portugis, berasal dari Goa, Malaka, Ternate dan Tidore. Mungkin pada mulanya mereka adalah budak dari orang portugis yang kemudian menjadi kristen dan kemudian dimerdekakan. Dalam proses pengkristenan golongan ini, mereka mendapat nama kristen dari tuannya dan modal untuk memulai hidup baru. Masyarakat campuran ini baik Mestiso atau Mardika, berbahasa dengan logat Portugis yang kata-katanya kini masih terdapat dalam melayu-ambon.
Di Maluku, peninggalan kata-kata Portugis masih berlansung sampai sekarang ini, seperti kata-kata yang terdapat untuk hubungan keluarga seperti mai, pai, kunyado (mae, pai, cunhado),untuk barang-barang baru dalam rumah tangga seperti kadera, meja (cadera, mesa), alat makan seperti garpu, kunyer, toala (garfo,cunher,toalha). Perubahan dalam cara hidup pun Portugis banyak meninggalkan warisan seperti budaya pekarangan yg dulunya kosong mulai di tumbuhi bunga dan dinamakan kintal (quintal) cara pengawetan dan memasak makanan seperti assar, farinya, trigu, asam padis (asar, farinha, trigo, caldeirada).
Dalam pelbagai fase kehidupan yg oleh Xavier digambarkan sebagai barbar, tercermin dalam cara perang dan tata pemerintahan, kata2 seperti baluwarti, gardu, bedil, kapseti, peluru, algojo, trunku,peitor, kapitan, marinyo berasal dr kata-kata : aluarte, guarda, fusi, capaceto, pelouro, algoso, tronco, feitor, capitao dan meirinho.
Begitu pula pengaruh atas musik, pakaian dan kesenian lainnya, perubahan dalam pakaian terlihat dari kata2 seperti sepatu, cinela, kalsang (sapato, chinela calcao) dalam kehidupan masyarakat kristen di kepulauan Ambon-Lease, di samping musik asli dan tarian asli, juga menarikan tarian barat seperti polonaise, wals, quadrille dan polka. Perubahan2 yang mencolok dan turut memberikan konstribusi terhadap gaya kehidupan masyarakat asli.
Menemukan titik2 bersejarah pada daerah sekitar benteng niuew victoria saat ini seperti mencari tumpukan jarum pada jerami, banyaknya pembangunan telah mengubah jantung kota ini menjadi lain sama sekali. Apalagi ditambah kerusuhan beberapa tahun silam telah memporak-porandakan semua isi kota ini menjadikan beberapa bangunan yang lama pun ikut terbakar. Meski masih bisa ditemukan di arah pantai losari yang sejak dulu menjadi pusat tranportasi antar teluk ambon menggunakan perahu, begitu juga Jl. Ay Patty, yang dulunya bernama Chinese Street, sebuah jalan utama yang sejak dulu menjadi pusat pecinaan di kota Ambon. Di Jalan ini pernah berdiri gereja pusat yang tepatnya berada pada Lokasi PUSKUD sekarang ini kemudian di pindahkan ke samping kantor gubernur.
Pada masanya, di sisi utara benteng victoria terdapat pantai/pelabuhan Honipopu, juga merupakan salah satu tempat wisata, terdapat boulevard victoria, trus di alun2 sekarang lapangan merdeka, dulunya jalan di depan Gereja Maranatha sekarang tembus langsung membelah lapangan Merdeka ke arah Benteng Victoria, di barat terdapat jalan Chines straat atau Pecinan yang sekarang AY Patty, dan di barat Perkampungan Mardika.
Selain itu masih di sekitar Jl AY. Patty sendiri terdapat sebuah Gereja milik orang cina bernama Gereja Hok Im Thong, bangunan lama sudah terbakar saat kerusuhan dulu dan sekarnag di didirikan lagi, sedankan sisa-sisa pecinaan masih terlihat di lorong kopi Ay. Patty, meski sangat sedikit tapi dari dari bentuk tembok yang menjulang masih terasa sentuhan pecinaan. walaupun sekarang sudah sangat berubah jauh karena terjadi perubahan penduduk dan juga gedung2 yang terbakar.
Lebih dekat ke arah pantai, masih ditemukan perkampungan yang di huni oleh orang-orang arab yang berprofesi sebagai pedagang sampai saat ini. daerah di jalan yos sudarso ini masih terlihat utuh karena tidak tersentuh kerusuhan, bangunan-bangunan yang walaupun terlihat masih baru tapi itu adalah peninggalan bangunan2 yang sudah sangat lama sekali.
Dulu di sekitar Jalan Yos Sudarso hanyalah pantai, sekitar tahun 60-an baru mulai dibangun jalan yang diberi nama Jalan Pantai, kemudian berganti menjadi Jalan Yos Sudarso, setelah itu kemudian di bangun Taman Hiburan rakyat di sekitar wilayah pelabuhan sekarang ini, sekitar tahun 70-an baru mulai dibangun terminal. Lalu sekitar tahun 80 terminal tersebut dijadikan pasar kemudian terminal dipindahkan ke Mardika. Pada arsitektur rumah-rumah sekitar tahun 80-an saat atas perintah Walikota Dicky Wattimena setiap rumah setiap wajib di beri pembatas dari seng menggantikan teras-teras plafon rumah-rumah lama yang sampai sekarang masih ada.
Kepedulian & kesadaran dari Pemda Maluku terhadap pariwisata di Maluku. Berupa pelestarian kota tua dan peninggalannya seperti Benteng Victoria yang sekarang menjadi markas Kodam XVI Pattimura sepertinya sudah harus dipertimbangkan untuk dipindahkan ke tempat lain. Sehingga benteng victoria dapat diakses oleh wisatawan yg datang ke Ambon dan menjadi tujuan wisata sejarahdi Ambon. Pemda juga harus meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan, khususnya lingkungan di sekitar benteng victoria (pantai losari & pasar mardika. Sudah seharusnya ada perhatian penuh dari Pemda Maluku terhadap lingkungan di sekitar pasar mardika & pantai losari dan membuat menjadikan kawasan kota tua Ambon sebagai sarana belajar tentang sejarah Ambon bagi siapapun.
Kenyataan sekarang ini membuat wajah kota lama ambon sudah sangat berubah sekali, yang tersisa adalah kenangan di ingatan orang-tua-tua atau arsip-arsip buku dan media di Negeri Belanda sana.
*Kisah lebih lengkapnya pernah di muat di National Geographic Traveller Indonesia edisi saya lupa, karena tidak punya arsipnya (http://almascatie.net/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar