Jumat, 10 Oktober 2014

LEGENDA SUNGAI BARITO


Pada zaman dahulu, di sebuah tumpung (desa sangat kecil, hanya dihuni beberapa kepala keluarga) di daerah ngaju, tinggal seorang janda dengan dua orang anaknya. Anak yang tertua bernama Patih Laluntur, sedang yang seorang lagi bernama Patih Sasanggan.
Dikarenakan usia yang telah lapuk dimakan waktu, sang ibu meninggal dunia, sehingga tingga...llah dua orang kakak beradik yang sudah menginjak usia remaja. Keduanya hidup rukun, sampai tumbuh menjadi pemuda dewasa.
Beranjak dari keinginan untuk mengubah pola hidup mereka yang sangat sederhana di tumpung, disertai keinginan untuk memperbaiki taraf kehidupan, serta keinginan menimba pengalaman di daerah luar, Patih Laluntur dan Patih Sasanggan sepakat untuk meninggalkan gubug mereka di tumpung.
Dengan bekal seadanya, kedua kakak beradik itu berangkat mengembara, tanpa tahu arah yang mesti dituju.
Mereka mengembara keluar masuk hutan belantara, dan berharap agar segera bertemu dengan pemukiman penduduk. Sekian lama mereka berkelana, tak jua ditemukan adanya tanda-tanda kehidupan di daerah yang mereka lewati. Hanya semak belukar, pepohonan besar, dan berbagai satwa liar yang mereka jumpai. Bekal yang mereka bawa pun semakin menipis, tidaklah cukup untuk menempuh perjalanan tanpa batas. Untuk mengisi perut, mereka memakan hewan buruan yang dibakar, buah-buahan, umbi-umbian, dan pucuk-pucukan yang mereka temui sepanjang perjalanan.
Suatu hari, karena terlalu lelah dengan perjalanan panjang itu, mereka istirahat di bawah sebuah batang pohon besar yang rindang. Patih Laluntur dan Patih Sasanggan tidur-tiduran sambil menatap langit, melihat burung-burung beterbangan menari riang.
Untuk mengusir rangit (nyamuk hutan), mereka membuat api unggun kecil (perapian). Agar api unggun yang dibuat dapat bertahan lama, sang adik, Sasanggan, mengambil ranting-ranting kecil dari pohon dimana mereka berteduh, untuk sekadar menambah bara.
Asap yang mengepul dari perapian itu mengeluarkan bau yang sangat sedap, seperti bau daging yang terbakar. Sasanggan segera mencari sumber bau tersebut, yang ternyata berasal dari ranting dan potongan kayu dari pohon yang rindang itu. Laluntur juga mencium aroma yang sama. Karenanya, ia segera menebang salah satu dahan pohon tersebut, yang kemudian dipotong-potong, dan diletakkan ke dalam api unggun. Asap yang keluar dari api unggun itu tampak menebal, dan kembali menebar aroma yang sangat sedap, membangkitkan rasa lapar. Dan yang aneh, potongan kayu itu tidak berubah menjadi arang, melainkan terbentuk keratan-keratan daging-daging yang dibakar.
Patih Laluntur tidak sabar untuk tidak mencicipinya. Ternyata potongan kayu itu begitu empuk dan lezat, melebihi kenikmatan dari daging bakar biasa. Sasanggan pun segera melakukan hal yang sama.
Akhirnya, mereka berdua menebang pohon yang rindang itu dan dipotong-potong kecil untuk dijadikan santapan, dan sisanya sebagai bekal perjalanan mereka.
Belum lagi habis santapan di hadapan mereka, sang kakak sangat terperanjat menyaksikan perubahan yang terjadi pada tubuh adiknya. Tubuh Patih Sasanggan mulai ditumbuhi sisik-sisik tebal. Laluntur tertawa terbahak-bahak dan menganggap perubahan tubuh adiknya sebagai sesuatu yang lucu, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya keadaannya pun tak berbeda dengan sang adik.
Sasanggan tidak menyadari bahwa yang ditertawakan adalah dirinya. Ia pun tak kalah terkejutnya menyaksikan tubuh Laluntur telah ditumbuhi sisik-sisik tebal.
Konon, kedua kakak beradik itu telah memotong dan memakan tubuh seseorang yang tengah bertapa di situ. Tubuh itu telah berubah menjadi sebatang pohon sehingga tidak dapat dikenali lagi.
Akan halnya Patih Laluntur dan Patih Sasanggan yang telah termakan tubuh seorang pertapa itu, seluruh tubuhnya telah dipenuhi sisik tebal, ekornya yang keras telah muncul, kedua kaki dan tangannya telah berubah menjadi kaki tangan buaya dengan kuku-kuku yang runcing, dan kepalanya pun telah berubah menjadi kepala buaya. Jadilah, dua ekor buaya putih.
Kedua ekor buaya putih itu merangkak menjelajahi hutan dan rimba belantara untuk mencari laut sebagai tempat kediaman mereka. Kedunya terus mandusur hingga bertemu dengan laut.
Ketika hujan turun, titik-titik air yang telah menyatu mengalir melewati jalan yang dilalui kedua buaya tersebut. Semakin sering hujan turun, terjadi pengikisan tebing sungai, kemudian erosi vertikal yang kuat. Dari aliran yang kecil, kemudian bertemu dengan aliran di tempat lain. Lama-lama aliran itu menjadi besar, hingga terbentuklah sungai Barito seperti yang dilihat sekarang ini. (www.facebook.com/KumpulanCeritaRakyatBanjarmasin/posts/600343059980402)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar