Sejak tahun 1700-an, suku Asmat di Papua telah dikenal dunia dengan keterampilan mengukirnya. Kesenian mengukir di asmat merupakan aktualisasi dari kepercayaan terhadap arwah nenek moyang yang disimbolkan dalam bentuk patung serta ukiran. Namun dalam perkembangannya, ukiran-ukiran, salah satunya patung khas Asmat digemari di luar negeri.
Budaya mengukir di Asmat lahir dari upacara keagamaan. Di sebagian daerah, sebuah upacara menghendaki adanya pemotongan kepala manusia dan kanibalisme guna menenangkan arwah nenek moyang. Untuk menghormati arwah nenek moyang, mereka membuat patung-patung yang menyerupai arwah nenek moyang tersebut, khususnya yang datang dalam mimpi. Lambat laun, kepercayaan ini menjadi tradisi mengukir dan memahat patung kayu.
Pada mulanya, patung-patung dibuat secara kasar dan setelah digunakan dalam upacara agama tertentu lalu ditinggalkan di dalam rawa. Ini sebagai wujud para arwah yang tinggal untuk menjaga hutan sagu dan pohon palem yang merupakan sumber makanan utama masyarakat Asmat.
Namun demikian, kejayaan ukiran Asmat yang asli dari buah tangan putra asli secara perlahan mulai pudar bersamaan dengan munculnya pemalsuan ukiran Asmat di sejumlah wilayah di Indonesia. Lihat saja di Bali, Yogyakarta, Jepara, dan di daerah-daerah lain, di mana ukiran-ukiran khas Asmat dengan mudah dapat ditemukan di daerah-daerah tersebut.
Di masa jayanya, para turis, baik asing maupun domestik, kolektor, seniman, dan pencinta ukiran harus mengunjungi Asmat untuk mendapatkan ukiran atau patung asli. Namun dimulai sejak tahun 2000-an, mereka tidak lagi datang ke Asmat. Selain biaya yang cukup tinggi, mereka bisa mendapatkan patung Asmat dengan datang ke Jawa dan Bali. Apalagi ukiran Asmat di daerah-daerah tersebut sangat mirip dengan aslinya yang dibuat pengrajin dari Asmat sendiri.
Tentunya dalam hal ini, masyarakat Asmat sudah mengalami kerugian, baik dari sisi bisnis maupun kekayaan intelektual. Apalagi para pengrajin di Asmat tidak tahu bagaimana proses mendapatkan hak atas kekayaan intelektual (HaKI) atas keterampilan itu. Jadinya karya mereka dengan mudah ditiru di berbagai tempat di Tanah Air. Padahal ukiran itu memiliki sejarah dan asal-usulnya.
Sejak era kolonial Belanda, patung Asmat yang tadinya dinilai sebagai benda primitif dan wujud kepercayaan terhadap arwah-arwah jahat, pada akhirnya menjadi terkenal dan disimpan di sejumlah museum di dunia. Nilai patung Asmat setingkat dengan barang-barang hasil seni Eropa dan hasil kebudayaan yang tinggi dari daerah Sungai Nil, Eupharathes, Gangga, dan Indus.
Saat ini, penduduk Asmat masih membuat ukiran secara kecil-kecilan untuk dijual atau digunakan untuk upacara ritual. Namun demikian kualitas ukiran tetap tinggi sesuai standar kualitas dan nilai seni internasional.
Penurunan Peminat
Sejak krisis ekonomi terjadi mulai 1997 hingga saat ini, nyaris tidak ada lagi turis asing yang masuk ke Asmat untuk mencari berbagai ukiran masyarakat. Ini menyebabkan produk ukiran dan patung Asmat banyak yang tidak dapat diperdagangkan. Masyarakat lokal, turis, pengumpul, dan kolektor ukiran Asmat tidak lagi masuk ke daerah ini.
Akibatnya, semangat penduduk untuk mengukir menurun, kecuali ukiran untuk kebutuhan ritual keagamaan. Berbagai jenis ukiran masyarakat tidak laku dijual. Di sejumlah pameran lokal pun ukiran-ukiran itu tidak laku dibeli masyarakat.
Meski demikian, kehadiran wilayah Asmat sebagai kabupaten baru harus membawa perubahan bagi keterampilan mengukir di kalangan masyarakat yang telah diwariskan turun-temurun.
Upaya ini sekaligus harus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menjual produk ukirannya lebih banyak dan lebih berkualitas.
Terkait hal ini, seni ukir Asmat perlu kreativitas baru, apalagi ukiran-ukiran cenderung kasar tidak akan laku di pasaran, sehingga setiap bentuk ukiran harus disesuaikan dengan selera pasar.
Oleh karena ukiran Asmat saat ini sudah ditiru di sejumlah daerah di Indonesia dengan tingkat kreativitas dan kualitas yang tinggi, para pengrajin patung Asmat tidak boleh lagi mengandalkan kemampuan mengukir tradisional. Untuk itu diperlukan renovasi, kreativitas, dan pembaruan sehingga ukiran itu benar-benar laku di masyarakat luas.
Pemkab Asmat sendiri sudah menyentuh generasi muda yang memiliki bakat di bidang seni ukir dan disekolahkan di luar dan dalam negeri. Mereka harus diberi modal dan dorongan moril untuk tetap mempertahankan seni ukir sebagai bagian dari hidup, sekaligus sebagai mata pencarian atau sumber ekonomi yang potensial.
Apalagi produk ukiran, khususnya patung Asmat merupakan salah satu produk kreatif yang diperkirakan semakin diburu manusia-manusia di dunia mulai era 2010. Dalam hal ini, produk kreatif asal Asmat akan bisa menjadi salah satu andalan Indonesia untuk mengisi pangsa pasar ekonomi kreatif di dunia. (sumber: www.kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar