Mengunjungi Kutai Kartanegara serasa menapaki masa lalu dengan catatan sejarahnya yang panjang. Kejayaan dan kedigjayaan berpadu dengan perang dan perseturuan, mengisi lorong waktu berabad-abad. Berawal dari Kerajaan Kutai yang dikenal sebagai kerajaan tertua di Indonesia, kini lorong waktu tersebut sudah berada di masa kini dengan segala modernisasinya. Sejumlah bukti dan saksi bisu dari catatan sejarah Kerajaan Kutai pun tersimpan di Museum Mulawarman, yang sedang direnovasi dan diperluas. Bangunannya terlihat jelas dari pinggir sungai Mahakam yang berair keruh dengan warna coklat muda. Lokasi museum di Jalan Dipenogoro Nomor 26 Tenggarong.
Kehadiran nama Mulawarman dalam buku sejarah kerajaan di Indonesia terpatri dalam 7 prasasti berupa tugu batu atau Yupa. Prasasti Yupa tersebut berasal dari abad ke-5 masehi yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan huruf Pallawa. Melalui prasasti itulah generasi masa kini mengenal Mulawarman- putra dari Raja Aswarman, atau cucu dari Maharaja Kudungga -sebagai raja yang pernah memerintah di Kerajaan Kutai Martadinata yang berlokasi di Muara Kaman. Menurut teman di Samarinda, konon Sang Raja Mulawarman mempunyai kendaraan tunggang bernama Lembu Suana. Patung Lembu Suana yang menjadi lambang kerajaan Kutai Kartanegara terpampang di ruang depan Museum Mulawarman. Patung tersebut dibuat di Birma tahun 1855, terbuat dari perunggu kepal. Patung-patung Lembu Suana pun bertebaran di beberapa sudut kota, baik di Tenggarong maupun di Samarinda. salah satunya terpajang di halaman depan Museum Mulawarman.
Mencerna catatan sejarah Kutai dari narasumber dan berbagai sumber, tiba-tiba lorong waktu langsung melompat ke abad ke-13. Konon, pada masa itu kerajaan kutai yang lain muncul. Namanya Kutai Kartanegara yang berlokasi di Tepian Batu dengan Aji Batara Agung Dewa Sakti sebagai raja pertamanya. Entah apa yang terjadi pada dalam kurun waktu antara abad ke-5 sampai abad ke-13 itu. Yang jelas, Kutai Martadipura masuk dalam periode kerajaan Hindu, sedang Kerajaan Kutai Kartanegara akhirnya menerima kehadiran Islam pada abad ke-17. Lorong waktu pun seperti melompat-lompat semakin mendekat ke masa kini. Salah satu ruang museum pun menyajikan jejak-jejak periode kerajaan hindu kutai. Prasasti dan nama dewa-dewi pun terpatri pada satu ruangan khusus.
Hidup bertetangga tidak selalu akur. Demikian juga dengan Kutai Martadinata dan Kutai Kertanagara. Perselisihan antara keduanya dimenangkan oleh Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin oleh Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa. Nama kerajaannya pun berganti menjadi Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Nama-nama rajanya berganti dengan nama islam yang masuk pada abad ke-17. Mungkin, kehadiran Islam di Kesultanan Kutai melatarbelakangi pembangunan Masjid Islamic Center yang megah di Samarinda. Konon masjid tersebut menjadi yang terbesar kedua di ASEAN setelah Mesjid Istiqlal. Mesjid di tepian Mahakam terlihat terlihat indah dilihat dari depan kantor gubernur yang juga berada di tepi mahakam.
Solidaritas atau persekutuan dalam sejarah kerajaan sudah sejak dulu. Sultan Aji Muhammad Idris pergi ke Wajo untuk membantu peperangan antara Bugis dengan Belanda sampai dikabarkan gugur di medan laga pada tahun 1739. Masyarakat Bugis terkait erat dengan sejarah terbentuknya nama Samarinda pada abad ke 16, yaitu dengan kedatangan sebagaian pasukan Bugis yang tidak setuju dengan perdamaian Bongaya antara Kerajan Gowa dengan Hindia Belanda. Setelah meninggalnya Suktan Aji Muhammad Idris, tahta Sultan diambil alih tanpa hak oleh Aji Kado, yang menasbihkan dirinya sebagai Sultan Aji Muhammad Aliyeddin. Sang putera mahkota yang masih belia- yakni Aji Imbut- pun diungsikan ke Tanah Wajo dengan perlindungan dari masyarakat Bugis. Aji Imbut ini nantinya dikenal sebagai pendiri kota Tenggarong, yang kini menjadi ibukota kabupaten Kutai Kartanegara. Kini kantor bupati Kukar berdiri megah di tepian sungai Mahakam. Nama Aji Imbut ini diabadikan sebagai nama stadion megah yang dapat terlihat dari depan kantor bupati Kutai Kartanegara.
Setelah menginjak dewasa, putera mahkota pulang ke kampung halaman dan dinobatkan sebagai Sultan Kutai dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatannya di Mangkujenang, atau dikenal sebagai Samarinda Seberang. Kota Samarinda memang berseberangan dengan Tenggarong, terpisah dengan Sungai Mahakam yang sesekali memperlihatkan kapal tronton yang membawa pasir batubara.
Periode peperangan pun dimulai antara Aji Kado dan Aji Imbut. Akhirnya putera mahkotalah yang memenanginya. Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Konon, untuk menghilangkan trauma masa lalu perseteruan, pada tanggal 28 September 1782 Aji Imbut memindahkan ibukota kesultanan ke Tepian Pandan. Nama ibukota tersebut berubah menjadi Tangga Arung yang berarti rumah raja. Seiring dengan waktu, kini nama Tangga Arung berubah menjadi Tenggarong, yang kini menjadi ibukota pemerintahan kabupaten Kutai Kartanegara.
Kutai tidak luput dari penjajahan bangsa-bangsa Eropa, khususnya Eropa. Awalnya, kehadiran pasukan Inggris disambut terbuka karena berbiat dagang. Namun karena mendapat tanah sewaan yang kurang memadai, pasukan Inggris pun menyerang istana dengan meriam dari armada lautnya. Pasukan kecil Inggris akhirnya bisa diusir, namun tidak demikian dengan Belanda. Kerajaan Kutai pun harus takluk dan mengakui Hindia Belanda. Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan mengakui pemerintahan Hindia Belanda yang diwakili oleh seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin. Jejak kolonialisme pun terwakili dengan keberadaan dua meriam di sisi kiri halaman depan museum yang arsitekturnya bergaya Eropa.
Singkat cerita, Indonesia terlepas dari penjajahan Belanda dan Jepang. Kutai Kartanegara pun tetap menjadi bagian dari NKRI sampai kini. Sejarah panjang di masa lalu itu pun sebagian mengisi Museum Mulawarman yang tepat di pinggir Sungai Mahakam. Berbagai display yang tersaji pun seperti deretan gambar bercerita tentang masa lalu Kutai Kertanagara. Ruang dan display seolah menjadi segmen-segmen waktu yang menceritakan babad kesultanan Kutai di masa lalu. Sebagian besar Sultan beserta keluarga terdekatnya disemayamkan di kompleks pemakaman yang terletak di samping Bangunan Museum Mulawarman
Museum yang sedang direnovasi tersebut- diresmikan pada tahun 1971 oleh Pangdam IX Mulawarman- menjadi salah satu daya tarik saya berkunjung ke sana. Museum pun berdekatan dengan obyek wisata yang berada di depannya. Tepi mahakam pun tertata dengan baik. Pulau Kumala yang berada tepat berada di tengah sungai Mahakam telah direklamasi menjadi obyek wisata baru. Lintasan kereta gantung di atas melintasi pulau, sejajar dengan Jembatan Mahakam yang berdiri kokoh di atas sungai terlebar di Indonesia.
*****
Itulah sekilas catatan penggalan sejarah dan jejak masa kini di tepi mahakam. Selama lima hari (13-17/11/2011)) saya dan teman-teman berada di Samarinda, ibukota Provinsi Kalimantan Timur yang kaya dengan minyak, gas alam, dan batubara. Saat ini provinsi Kaltim terdiri dari 10 pemerintah kabupaten- yaitu Berau, Bulungan, Kutai Barat, Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Malinau, Nunukan, Paser, Penajam Paser Utara, dan Tana Tidung- serta 4 pemerintah kota, yaitu Tarakan, Bontang, Balikpapan dan Samarinda. Menurut Sensus 2010, provinsi yang luasnya lebih dari 245 ribu km persegi tersebut berpenduduk 3.550.586 orang. (budi hermana/http://wisata.kompasiana.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar