oleh: Sudomo Sunaryo
Saat
Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono IX bertahta di Ngayogyakarta
Hadiningrat, mengikuti bunyi Kontrak Politik dengan Gubernmen di tahun
1940, Pepatih Dalem digaji oleh Belanda. Hal ini sesungguhnya dirasakan
keberatan bagi pemikiran Sultan. Sehingga maka ketika Jepang masuk
ketika Perang Dunia II, Gusti Patih itu lalu dipensiun oleh pihak
Kasultanan. Jadi saat jaman Jepang tersebut Kepatihan kosong tiada yang
mengurus (=komplang). Ngarso Dalem memegang urusan pemerintahan
tanpa Patih. Ngarso Dalem selanjutnya setiap hari berkantor di
Kepatihan. Inilah jamannya seorang Raja merangkap tugas sebagai Patih.
Dan memang pada dasarnya Ngarso Dalem Sri Sultan IX itu adalah keluaran
Leiden Universiteit di negeri Belanda, mendalami ilmu yang dinamakan:
Indologi, yaitu ilmu pemerintahan ala kerajaan-kerajaan timur (Asia).
Sehingga dalam pemerintahan tersebut bagi Ngarso Dalem yang menangani
tanpa bantuan Patih sekalipun, tidak akan kewalahan. Malahan sejak dari
saat itulah wujud pemerintahan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi
modern. Ngarsa Dalem membentuk kabinet. Tugas yang dilakukan Patih
dibagi-bagi: ada Kapanitran (kantor Sekretariat), ada Bagian Umum,
perekonomian, Pekerjaan Umum (PU), Wiyatapraja
(Pendidikan-pengajaran-kebudayaan), Pariarta (Keuangan), Racana dan
Pencarwara. Semua sebagaimana halnya kementerian dan disebut dengan
Paniradya (tangan pemerintahan). Menteri-menteri dinamakan Paniradyapati.
Tentara
Jepang yang menduduki Yogyakarta, sepertinya tidak terlalu peduli
terhadap bagaimana jalannya pemerintahan Kasultanan, kecuali sekedar
tetap menghargai. Namun bila terhadap Pakualaman seperti merendahkan.
Praja Pakualaman di Adikarto dianggap sepele. Sehingga karena tanggapan
tentara Jepang yang seperti itu, Kanjeng Gusti Paku Alam VIII lalu
menghubungi dan bilang ke Ngarso Dalem, bila berkenan Pakualaman
dikembalikan, kembali bergabung dengan Kasultanan. Akhirnya Ngarso Dalem
Sultan menyetujui.. Maka dari itu Kanjeng Gusti Paku Alam lalu
mengikuti (langkah) Sultan, berkantor setiap hari di Kepatihan, mendapat
tugas mengurusi dan mengatur pertanahan se-Kasultanan dan Adikarto
semua.
Ya dua penjabat bangsawan tertinggi (priyagung)
yang setiap hari bertemu di Kepatihan inilah, yang selanjutnya
sependapat, untuk menggabungkan Yogyakarta dengan Negara Kesatuan RI
setelah mendengar akan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Menanggapi kehendak para petinggi berdua dari Yogyakarta ini, Bung Karno
sebagai dan selaku Presiden RI memberikan ketetapan bahwa Yogyakarta
dijadikan Daerah Istimewa, bagian dari NKRI.
Diibaratkan nginanga durung abang, idua durung asat
(mengunyah sirih belum menjadi merah, meludah belum kering; ibarat
untuk saat yang sekejap), setelah Bung Karno menetapkan Yogyakarta
menjadi Daerah Istimewa, Jakarta diduduki tentara Sekutu (gabungan
militer Amerika, Inggris, Perancis, Rusia, dan termasuk Belanda) yang
saat itu menjadi pemenang Perang Dunia II. Tentara Sekutu tersebut
setelah menjatuhkan bom atom di Hiroshima-Nagasaki, lalu menduduki
Indonesia. Jepang kalah dan menyingkir. Tentara Sekutu lalu membentuk
Pemerintahan sipil di Jakarta, niatnya mau mengembalikan kekuasaan
Belanda di Indonesia sebagai pemerintahan penjajahan. Bung Karno beserta
Perangkat Pemerintahan RI semuanya yang baru saja berdiri setelah
Proklamasi, lalu hijrah ke Yogyakarta. Seketika itu juga Yogyakarta
menjadi ibukota RI sejak 4 Januari 1946.
Perguruan Gadjah Mada
Dikarenakan
kota Yogyakarta menjadi ibukota RI, meskipun kotanya sendiri hanya
kecil, namun seketika akhirnya menjadi “besar”. Para pemimpin dan para
pejuang kemerdekaan se-Indonesia, hadir tiba memenuhi Yogyakarta. Tahun
1948 Yogyakarta diserbu Belanda lalu diduduki. Kota Yogyakarta dan
sekelilingnya terbakar membara menjadi medan pertempuran. Para pejuang kemerdekaan Indonesia menghimpun dan menghentakkan (ngetog) kekuatan mengusir
kekuasaan penjajah. Meskipun di waktu siang tidak terlihat wujud perang
dan pertempuran, namun setiap malam para pejuang melakukan perang
gerilya. Bung Karno-Bung Hatta, pemimpin kita menjadi tawanan politik,
disingkirkan oleh pihak Belanda. Selanjutnya selain itu para pejuang
banyak yang menyembunyikan diri di wilayah pedesaan, ada yang di
gunung-gunung. Semuanya terjun menjadi pejuang bersama dengan para
pemuda dan rakyat. Banyak pemimpin, para menteri yang menyamar menjadi
penjual minuman, memikul gaplek. Bermacam-macamlah caranya,
namun bila malam tiba mereka membawa bilah-bilah bambu runcing, membunuh
serdadu Belanda. Hingga sampai tiba waktunya meletus Serangan Oemoem 1
Maret 1949 yang akhirnya Belanda mengakui kedaulatan bangsa Indonesia.
Ringkas
cerita, saat Pemerintahan Indonesia sudah dapat berdiri kembali, tidak
ada gangguan dari kaum penjajah, ibukota RI kembali ke Jakarta. Kota
Yogyakarta pulih seperti sedia kala. Sebagai pengingat dan penghargaan
terhadap Yogyakarta yang telah menjadi pusat perjuangan kemerdekaan
Indonesia, bertahun lamanya berjuang hingga sampai dengan terlaksananya
Konperensi Meja Bundar: Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, keadaan
menjadi tenang; Pemerintah RI membina peninggalan berupa monumen hidup
Universitas Gadjah Mada, didirikan 19 Desember 1949. Kampus pertamanya
diberikan pinjaman kagungan Dalem (milik beliau Sultan)
Pagelaran dan Sitihinggil Kraton Alun-alun Lor. Para pemimpin, para
pejuang yang rata-rata masih muda, pelajar yang putus sekolah sejak dari
jaman Jepang, lantas memenuhinya untuk melanjutkan sekolahnya di Gadjah
Mada. Dasar memang masih muda, dan baru saja berjuang di medan
pertempuran; para mahasiswa saat itu kuliah masih membawa pistol, dengan
guru/dosen dan guru besar mereka, tidak basan-binasan (dalam
bahasa Jawa ada tatacara bahasa yang berbeda untuk yang lebih
tua/dihormati). Namun eloknya, juga tidak terus pada semaunya sendiri.
Kedisiplinan sangat ditaati. Sehingga meskipun saat itu peralatan studi juga hanya seadanya, namun demikian banyak yang dapat menyelesaikan belajarnya itu.
Pelajaran Kewiraan
Ada
kelebihannya perguruan tinggi Gadjah Mada itu mengajarkan apa yang
disebut dengan mata kuliah Kewiraan. Mata pelajaran ini diberikan di
Fakultas HESP (Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik) yang bertempat di
Pagelaran dan Sitihinggil Kraton. Jaman itu negara kita memang masih
baru, negara kebangsaan republik Indonesia. Sebelumnya di Nusantara
telah banyak ada negara dan tata-kenegaraan, namun sejak dulu barulah
berbentuk kerajaan/kraton (monarchi), bukan republik demokrasi. Meski
demikian ilmu ketatanegaraan juga sudah ada, sebagaimana yang dipelajari
oleh Ngarso Dalem IX, pengetahuan Indologi. Gadjah Mada sesungguhnya
mengemban tugas menyiapkan tenaga-tenaga (SDM) yang harus mampu
menjalankan pemerintahan NKRI. Maka pelajaran Kewiraan yang ditangani
Prof. Mr. Hardjono merupakan persiapan bagi lahirnya para pejabat negara
yang memahami tatakenegaraan. Fakultas HESP tidak hanya
mampu meluluskan juris (ahli hukum), ekonom (ahli ekonomi), sosioloog
(ahli sosial) serta politisi (ahli politik), namun juga para ahli
tersebut diharapkan memiliki jiwa watak negarawan. Tenaga negarawan ini
sangat dibutuhkan oleh NKRI. Sedangkan pelajaran/ilmu Kewiraan sendiri
berisi mengenai etika yang harus dipegang erat oleh para negarawan.
Milikilah watak “priayi”. Memang kata ”priayi” itu seringkali mengandung
arti yang kurang baik. Misalkan pejabat negara yang kebetulan rajanya
angkara murka. Umumnya pejabat negara itu lalu juga memiliki watak
angkara. Namun sesungguhnya yang diambil peran dalam watak kepriyayian
itu terletak pada keluhuran budi. Seperti misalnya tokoh Kumbokarno,
harus dapat memisahkan bahwa watak wirya itu bukan asal setia. Yang
diabdi bukanlah pangkat atau pemberian gaji yang diberikan oleh
Pemerintah, namun mengabdi kepada negara, mengabdi kepada kebenaran,
tegaknya keadilan. Maka dari itu Kumbokarno bukanlah membela Dasamuka
(Rahwana) yang angkara murka.
Di
jaman tahun 50-an 60-an, lulusan Gadjah Mada sudah cukup banyak yang
terlihat menonjol. Kebanyakan mereka memegang jabatan di pemerintahan,
baik di pusat maupun di daerah-daerah. Banyak yang akhirnya menjadi
bupati, walikota, menjadi pejabat atau Kepala Dinas, anggota DPR, DPRD
dan sebagainya. Jaman itu KAGAMA (Keluarga Alumni UGM) sudah tersebar di
mana saja, hampir setiap propinsi di Indonesia ada KAGAMA. Itu berarti
lulusan Gadjah Mada pada jaman itu termasuk laris. Memang hingga sampai
tahun 1970-an saja, PemDa Sumatra Utara, Sumatra Barat, DKI; bila
mencari calon PNS pesan ke Yogya. Pemerintah DKI dan Pemda2 itu sering
berhubungan dengan Pemerintah DIY berhubungan dengan urusan kepegawaian
itu. Dikatakan bahwa tenaga-tenaga lulusan Yogyakarta umumnya dapat
dipercaya, serta tidak pernah menuntut minta ini minta itu. Yang dari
lulusan lain memang pandai-pandai, namun banyak menuntut; rumah dinas,
kendaraan dinas, gaji harus sekian, dan seterusnya. Berbeda halnya
dengan lulusan Yogyakarta, kebanyakan pada nrimo ing pandum (dapat memahami-memaklumi-menerima apa yang menjadi bagiannya). Itu di jaman tahun 70-an.
Pondokan
Ketika
para pejabat pemerintahan se-Indonesia be-reuni tahun 70-an-80-an, tak
henti saling mengobrol. Kebanyakan mengaku bahwa Almamater (ibu pengasuh
yang turut membimbing) hingga akhirnya kini bisa pada menjadi pejabat
tinggi itu, bukan hanya kampus Gadjah Mada belaka, namun juga yang
menjadi pondokan tempat tinggalnya dulu. Demikianlah mereka membuka
diri. Pelajar/mahasiswa dari luar daerah/luar Jawa yang tinggal mondhok/berasrama di Yogya sejak tahun 1950-an hapal dengan awal syair lagu Sepasang Mata Bola
: Hampir malam di Yogya, ketika keretaku tiba, … Itu nyanyian jaman
perjuangan dulu yang dinyanyikan para gadis yang menunggu tibanya kereta
di stasiun Tugu, menanti datangnya para pejuang dari medan pertempuran.
Oleh para mahasiswa perantau, nyanyian itu diganti kata-katanya:
kalimatnya menjadi : Hampir mati di Yogya, tunggu wesel blum tiba. ..Ibu
induk semang memahami, dan menghampiri; “Nak, tidak usah sedih, jangan
khawatir. Di sini apa yang dimakan Ibu, ya marilah kita makan bersama.
Terlambat sementara waktu itu wajar, jangan dipikirkan. Ibu menunggumu
kok belum pulang-pulang. Sampai malam ibu belum bisa tidur. Si anak kos
menjawab:”Anu kok bu. Tadi tentir dengan teman-teman.” “Tapi kamu kok
pucat. Ke sinilah Ibu keroki. “…Akhirnya (bekas) si anak kos itu menjadi menantunya.
Hal
yang demikian itu cukup banyak dijumpai di Yogyakarta pada jaman itu.
Setelah lulusan dari Yogyakarta itu pada menjadi pejabat di luar
daerah/luar Jawa, memiliki keluarga, setiap liburan menjadi wisatawan,
melancong hingga ke Yogya, sekalian menengok tempat kosnya dulu dan
jajan di warung langganannya dulu. Beserta anak-istri sekenyangnya di
situ, lantas memberikan uang bayaran berlipat dibanding dengan harga
yang harus dibayar. Penjualnya kaget. Sang mantan anak kos bilang:”Ini
sebagai pengobat rindu, juga untuk membayar saat aku masih mahasiswa
sering nggabrul (=makan nggak mbayar) makan rempeyek lima
mengaku dua.” Si penjual teringat, lalu menepuk-nepuk punggung si mantan
anak kos sembari matanya berlinang-linang karena terharu. “Wah sekarang
sudah menjadi orang terpandang. Mobilnya saja mengkilat. Terima kasih
ya nak…”
Kebanyakan anak-anak pejabat itu setelah tiba masanya kuliah, juga dikirim oleh orangtuanya untuk kuliah ke Yogya, napak tilas (meneruskan tradisi) orangtuanya. Bila perlu tidaklah mondhok
di kos, namun dibuatkan rumah sendiri, diberi pegangan kendaraan mobil,
digunakan bersama adiknya, disertai bersamanya seorang pembantu. Yang
demikian itu selanjutnya lebih banyak ditemukan. Namun ya di rumah-rumah
mewah inilah sering ditemukan praktek “kumpul kebo”, dikarenakan
tetangga sekitar pakewuh (enggan-segan) tidak turut peduli
mengawasi, karena rumah mewah itu milik pejabat atau orang kaya yang
tinggal di Jakarta atau di luar Jawa.
Apa mampu bertahan sebagai kota pendidikan?
Di
saat ini, sepertinya Bandung dan Malang akan menggusur Yogyakarta,
sebagai kota pendidikan. Malah sekarang sudah banyak perguruan-perguruan
tinggi modern tumbuh di kota-kota lain. Bila “kota pendidikan”
mengandalkan pada banyaknya tempat-tempat pendidikan, sekolahan,
kampus-kampus yang modern dengan perangkat pendidikan yang lengkap dan
maju; mungkin saja bisa jadi Yogyakarta tidak dapat mengejar, alias
dapat tertinggal. Sedangkan pada tahun 60-an Yogyakarta terkenal menjadi
kota-pendidikan, bukan karena lulusan (yang sekedar) cerdas-trampil,
namun dalam hal lulusan yang memiliki karakter. Sedangkan karakter atau
watak, memang dapat terbina oleh pendidikan yang harus diampu oleh guru
yang menurut semboyan Taman Siswa dinamakan dengan pamong (ing
ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani). Bukan
hanya sekedar cerdas dalam kemajuan ilmu-teknologi. Maka bila Yogyakarta
ingin lestari menjadi kota pendidikan sebagaimana pada jaman tahun
60-an, perlu ditanyakan, apakah masih ada pendidikan budi-pekerti luhur
yang mengukir watak negarawan terhadap para lulusan perguruan tinggi.
Apa kini masih ada pondhokan bagi anak kos yang induk-semangnya
sedemikian memperhatikan terhadap anak asuhnya itu? Jaman sekarang orang
membuka pondokan=kos bagi mahasiswa-pelajar menyediakan kamar kos
hingga sejumlah 16. Apa mampu memperhatikan anak kos sejumlah 16 dengan
baik? Menganggap anak kos bagaikan anak atau calon menantu sendiri?
Jaman sekarang pikiran kita sudah berbeda. Pikiran bisnis, tidak lagi
mengandung dan menjunjung tinggi nilai luhur pendidikan.
-o0o-
Sumber: Djaka Lodang no. 40 tahun XXXVI; Sabtu Wage, 3 Maret 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar