-Deo[1] -
Ini
salah satu pernyataan yang sangat menarik tentang bisnis multilevel yang
disampaikan oleh Deo saat kami ngobrol bareng di Taman 65. Kesadaran
akan pentingnya membangun kesadaran kembali untuk meneruskan perjuangan
sebenarnya ditengah-tengah buaian jaringan kapitalis yang sesat. Namun
bagi seorang Deo, justru hal ini memberikan inspirasi dan memakai metode
mereka sebagai sebuah senjata untuk melawan dan menghancurkan kekuatan
mereka.
Awal Revolusi di Timor Leste
Untuk kasus Timor Leste,
saya ketika awal Revolusi Bunga di Portugal, saya ketika itu berumur
delapan tahun. Saya masih ingat benar sebelum revolusi bunga ada
beberapa orang mahasiswa yang kuliah di Portugal waktu itu. Sekitar
tujuh mahasiswa jauh sebelum mereka kembali ke Timor Leste mereka di
Portugal, mereka terlibat dalam satu komunitas kecil, komunitas diskusi
di Portugal namanya Casare Timor (Rumah Timor) di Portugal mereka buat
satu komunitas seperti ini. Mereka mulai diskusi dan kelompok diskusi
itu kemudian membuka, membangun hubungan yang kemudian memberi mereka
kesempatan mengenal komunitas lain seperti itu, untuk Mozambique,
Genitisao, Brazil sehingga kemudian waktu itu ada hubungan dengan tokoh
seperti Amir Kal Caberal kalau teman-teman ada yang pernah baca buku
pergerakan Afrika salah satu tokoh yang juga menentukan revolusi di
Afrika itu adalah Amir Kal Caberal, dia salah satu tokoh yang disegani
Che. Ketika Che berkunjung di dalam perjalanan dia ke Afrika salah satu
orang yang penting dia kunjungi adalah Amir Kal Caberal.
Nah! Orang-orang yang beberapa mahasiswa yang ada di Portugal tersebut
kemudian pulang dengan membawa suatu bekal, bahwa perjuangan Timor Leste
untuk melepaskan diri dari Portugal itu harus dimulai dengan merubah
cara berpikir Orang Timor Leste melihat dirinya sendiri. Portugal ketika
datang ke Timor Leste dia hanya bangga dan mengandalkan marinir,
pelaut-pelaut yang memang hebat, tetapi di bidang yang lain Portugal
sangat lambat. Yang dia kembangkan waktu itu di Timor Leste adalah
exploitasi sumber daya diatas permukaan, perkebunan. Dialah
memperkenalkan perkebunan kopi, karet dan kelapa itu kemudian melahirkan
struktur masyarakat yang kami sebut di Timor itu Asliyan atau pekerja,
apa namanya, saya tidak tahu term yang paling tepat dalam Bahasa
Indonesia tetapi seperti “pesuruh” gitu mungkin term yang paling tepat
atau pekerja kasar untuk para tuan tanah.
Nah! Siapa orang-orang
yang memimpin perkebunan-perkebunan itu, itu mereka bawa dari,
orang-orang yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah di Portugal
atau di koloni lain mereka bawa ke Timor Leste. Kemudia mereka mematok
konsolidasi lahan dan menjadikan orang-orang itu sebagai tuan tanah dan
mempekerjaan orang-orang Timor. Atau memang sih orang-orang Timor
menyerahkan lahan mereka untuk penanaman Kopi. Dan itu kemudian
melahirkan struktur bawahan dan pemilik, patron dan bawahan. Budaya itu
sangat kuat, budaya itu sangat kuat misalnya di zaman Portugis itu hanya
satu orang yang bisa, hanya satu orang yang sampai level kepala dinas
yaitu Savier, Fransicus Savier Guameron presiden Fretelin yang pertama
yang kemudian menjadi Presiden Timor Leste yang pertama, dia pada zaman
Portugis dialah yang sampai pada posisi Kepala Bea Cukai, selain dari
itu di bawah. Jadi mentalitas orang Timor leste sebagai bangsa yang
terjajah sangat kuat. Struktur itu diperkuat lagi dengan para Pastor
yang kemudian melahirkan, sebelumnya saya harus bersyukur bahwa sebagian
lain sumbangan gereja katolik untuk Timor Leste adalah membuka ruang
untuk pendidikan. Tetapi juga menurut menurut pandangan saya juga
memperkuat kekuasaan Portugal di Timor Leste. Pada tahap berikutnya
nanti akan kita lihat pertarungan itu muncul di tingkat perdebatanan
antara intelektual, kelompok intelektual yang loyal kepada ajaran agama
katolik kemudian yang berpikir secara kritis.
Munculnya Partai-Partai di Timor Leste
Kembali
ke tujuh mahasiswa tadi, ketujuh mahasiswa tadi ketika mereka datang ke
Timor Leste sudah ada partai, ada lima partai di Timor Leste; ada partai
UDT, yang ingin merdeka setelah sepuluh tahun otonomi dengan Portugal,
Apudete sama juga, otonomi dengan Indonesia sepeluh tahun baru menuju
referendum untuk menentukan pilihan. Jadi Apudete bukan integrasi ke
Indonesia. Berita yang dibangun ketika zaman pendudukan Indonesia adalah
Apudete partai pro-integrasi itu salah. Di dalam manifesto partai
Apudete adalah menyatakan bahwa otonomi dengan Indonesia sepuluh tahun
kemudian dia lakukan referendum tetap dengan Indonesia atau merdeka,
jadi sepeti itu. Kemudian Fretelin yang waktu itu. ASDT bukan sebagai
suatu front. Awalnya Fretelin dibentuk oleh para pendiri J. Ramos Horta,
Savier itu salah tokoh-tokoh pendiri ASDT (assosiasi democratik Timor
Leste) jadi asosiasi demokratik untuk pembebasan Timor Leste, yang
kemudian berubah menjadi front pembebasan Fretelin. Nah!, kemudian ada
dua partai kecil, ada partai untuk keluarga para raja, partai yang
sangat sedikit feodal kotak, kemudian partai buruh yang mungkin diilhami
oleh tokoh buruh dari Australia waktu itu berkunjung ke Timor Leste,
tapi dia sama sekali tidak mempunyai model partai buruh seperti
negara-negara apa namanya Eropa Timur sangat berbeda, menjadi
penghimpunnya sangat kecil. Nah, ketujuh mahasiswa tersebut kemudian
menjadi mesin partai ASDT yang kemudian mereka merubah bahwa hanya
dengan partai tidak mungkin mendapat dukungan yang besar, dengan
demikian diperlukan flatform yang lebih luas. Flatform itu kemudan
dibuat Front Pembebasan Nasional namanya Fretelin. Jadi Fretelin itu
bukan partai sekarang dirubah menjadi partai. Pada awalnya fretelin
sebagai front pembebasan nasional.
Kendala Sosial
Nah, kemudian
mereka melihat bahwa struktur feodal yang begitu kuat, struktur Ausliyan
yang tadi pekerja itu sangat kuat, itu sangat menjadi kendala sehingga
mereka kemudian menyamakan strategi bahwa konsep penyadaran
kemerdekaan itu harus dimulai dari desa. Apa yang terjadi kemudian
mereka, beberapa tokoh yang terkenal sampai saat ini pemikiran dia
sangat mempengaruhi, saya pikir juga beberapa teman-teman di Indonesia
pernah menulis tentang Mise Teresahe, Fay dan temen-teman pernah
melaporkan pada(….) khusus. Dia dan kawan-kawan dia kemudian membentuk
beberapa apa namanya e…e..e brigadir, jadi mereka membentuk
brigadir-brigadir yang kembali ke desa. Brigadir-brigadir itu detraining
untuk melakukan penyadaran. Ada brigadir tentang kesehatan ada brigadir
tentang pendidikan popular untuk alpavitisas…pemberantasn buta hurup,
pada tahun itu yang bisa membaca dan tulis sekitar belasan persen jadi
targetnya adalah meningkatkan pemberantasan buta huruf jadi mereka ada
kader itu. Kemudian kader lain adalah pengimbangan ekonomi kerakyatan,
koperasi-koperasi petani, nelayan. Nah, kemudian mereka sebagian besar
menjadi mesin yaitu transformasi masyarakat dari basis. Sayangnya proses
itu sangat pendek pertarungan dunia waktu itu sangat kuat, Amerika
dengan bloknya kemudian Rusia dengan bloknya. Itu kemudian isu
internasional itu kemudian dipakai aktor-aktor lokal. Habama mengatakan
bahwa, yang terjadi di Timor Leste itu sebetulnya ada kepentingan
eksternal mengiring proses politik Timor Leste. Kemudian berkembang isu
di Timor Leste bahwa kelompok mahasiswa ini adalah orang-orang yang mau
menanamkan komunisme di Timor Leste, Berkembang sangat pesat di kalangan
gereja. Kemudian beberapa tokoh yang dibidik secara konservatif di
Seminari-Seminari waktu itu yang mungkin juga pemahaman mereka sangat
superficial yang kemudian mengatakan bahwa itu komunisme tidak berTuhan
seperti itu jadi harus ditangkap. Isu itu kemudian berkembang lintas
negara, sehingga beberapa kali Ramos Horta dipanggil oleh Adam Malik
berdiskusi di Jakarta beberapa kali. Adam Malik mengatakan waktu itu
mengatakan bahwa Indonesia tidak punya niat yang mereka takutkan adalah
secara ekplisit dia, waktu itu dia bilang yang kami khawatirkan adalah
perkembangan Komunisme. Ramos Horta menegaskan seperti di dalam buku,
kalau pernah baca buku testimoninya Ramos Horta dia mengatakan bahwa
segala upaya terjadi di Timor Leste pada saat…, Ramos Horta mengatakan
pada pertemuan itu bahwa secara kultural komunisme tidak bisa perkembang
di Timor Leste. Pertama karena masyarakat tradisional Timor Leste
sangat…. apa namanya, kultur feodal itu sudah ada kemudian diperkuat
lagi dengan agama Katolik. Sehingga, tapi alasan itu juga
tidak,tidak,…saya pikir tidak dipercayai atau barangkali diabaikan oleh
Jakarta. Nah, sesaat saya masih ingat kalo tidak salah tanggal 5
Desember 1975, Kisingger dan Jerald Ford kalau tidak salah waktu
berkunjung ke Indonesia mereka buat pertemuan di Borobudur, Jawa Tengah
dan sehari setelah mereka kembali, tanggal 7 pasukan mendarat, menyerang
Timor Leste jadi pencaplokan dilakukan setelah pertemuan itu. Jadi
e….saya berpikir waktu itu Soeharto dengan para Jenderal di Jakarta
tidak mengambil keputusan secara…apa, berdasarkan kepentingan Indonesia
sebetulnya. Itu dibawa….terjebak didalam konflik global itu. Dan apa
yang terjadi setelah pencaplokan itu, waktu parasut apa namanya
diturunkan di Dilli, saya waktu itu sudah, pasukan payung saya sudah di
gunung, kita kebetulan berada di gunung sehingga kita tidak dapat lagi
kembali ke kota dan saya bersyukur juga, waktu itu sempat beberapa tahun
berada di hutan bersama bergerilya di hutan jadi 1975-1979 akhir saya
dan beberapa orang ditangkap di kebon. Kami ditangkap di suatu lembah.
Kekerasan di Timor Leste
Nah, bentuk kekerasan
seperti apa yang terjadi di Timor Leste. Ketika hari pertama mereka
mendarat di Dili, itu ada komunitas China di Timor Leste di Dili mereka
tidak lari ke hutan waktu itu, mereka di kota masih di kota Dili. Nah,
komunitas Cina yang berada di Dili, Agung masih ingat di depan pelabuhan
itu ada patung integrasi, siapa yang pernah ke Timor pernah lihat
patung integrasi besar di Hotel Timor, di depan Hotel Timor. Itu lokasi
pembantaian komunitas China yang mereka tangkap di sekitar pertokoan di
situ. Itu saya pikir sebelum mereka di berangkatkan mereka sudah dicuci
otakkan bahwa sebagian dari pengikut PKI Indonesia berada di Timor
Leste. Dan apa yang, kenapa saya mengatakan seperti itu, ketika beberapa
orang anak kecil yang kemudian selamat, kemudian ketika kami berada di
Jogyakarta mereka bercerita bahwa mereka mendengar ketika tentara
menangkap orang tua mereka itu yang disebutkan adalah komunis. Bunuh!
Mereka komunis. Jadi teman-teman itu memberikan, karena yang mereka tahu
kemudian waktu kuliah kenal term komunis itu baru mereka ingat bahwa
kata-kata ini yang dulu digunakan menghabisi orang tua mereka di pinggir
pantai dan salah satu diantara mereka adalah istri Nikola Lobato wakil
presiden, atau Perdana Menteri Timor Leste dia dibunuh di pelabuhan itu.
Nah, yang lain pembunuhan yang barangkali juga cukup besar untuk
komunitas China di Maubara. Di Maubara itu ada satu lagua, ada suatu
lagoon danau kecil, itu dulu sampai ada mitologi bahwa warna air yang
berubah menjadi merah itu karena kebanyakan darah. Ya, betul lokasi itu
dipakai untuk pembantaian komunitas China Maubara dan Likisa. Juga
dituduh karena mereka komunis. Itu untuk yang komunitas China.
Kemudian untuk masing-masing distrik,
masing-masing kabupaten itu selalu mempunyai kenangan, sampai hari ini
masing-masing kabupaten selalu mempunyai lokasi yang mengingatkan
kembali pada kekerasan di era pendudukan. Misalnya di Jaenaro ada
Jakarta Port, Jakarta Besar. Itu ada suatu clip di sungai, semua orang
yang dituduh valentil atau ikut pergerakkan menyumbang tenaga untuk
klandestin, itu dibawa diikat mata atau tangan, barangkali kakinya juga
diikat kemudian didorong sampai jatuh menghantam batu-batuan di bawah.
Itu sangat terkenal, sangat ditakuti oleh orang-orang Aenaro kalau
disebut, “Kamu akan dibawa ke Jakarta Board”. Di Kente misalnya kita
kenal satu desa namanya Kararas, itu desa para janda. Jadi tahun 1981
itu setelah militar Indonesia melatih para militer namanya Hansip,
beberapa hansip kemudian menggunakan persenjataan mereka dan amunisi
mereka disumbangkan kepada Valentil. Nah, kemudian jaringan itu, kerja
jaringan itu bocor dan satu desa itu kemudian menjadi janda. Itu
pembantaian terbuka di depan istri-istri mereka dan anak-anak mereka.
Kisah lain di Los Palos itu ,sekarang
Noburas, organisasi saya bekerja dengan komunitas di Tutual dan kami ada
satu desa yang digambarkan mereka buat, masyarakat dari swadaya
kemudian melukiskan kembali bagaimana kawan-kawan mereka ketika itu
dibantai. Jadi ada upacara 17 Agustus atau upacara bendera merah putih,
saya tidak tahu ada event yang benar itu apa tapi ada upacara. Setelah
upacara, pasukan tembak ada barisan masyarakat di sebeah sana, ada yang
disebelah kiri, kanan, di belakang kemudian ada pasukan tembak depan.
Orang-orang yang dianggap mendukung pergerakkan kemerdekaan disuruh
berbaris di depan dan pasukan tembak langsung menembak di depan
masyarakat. Itu membuat saya berpikir, tujuannya untuk menakuti,
menakutkan masyarakat untuk melakukan perlawanan. Hampir setiap distrik
mempunyai kenangan seperti itu. Itu yang massal, belum yang ditangkap
dibawa dari tahanan kemudian dihabisi. Itu barangkali ceritanya tidak
banyak karena tidak banyak saksi tapi kalau kita, saya kadang-kadang
tidak percaya statistik yang dibuat oleh para peneliti di beberapa buku
tentang Timor Leste, tapi bahwa pembunuhan yang terjadi di Timor Leste
cukup banyak itu faktanya adalah hampir setiap kabupaten memiliki
kenangan itu. Itu yang pertama, yang kedua efek dari peran itu sendiri,
Prajurit Indonesia yang saya tidak tahu mereka belajar metode dari mana,
setiap kali mereka misalnya masuk desa ini penghuninya sudah lari
semua, tidak hanya rumah yang dibakar, kalau jagung yang lagi tumbuh
mereka akan tebas semua. Kalau jagung di Timor Leste itu pakai
konservasi jagung di atas pohon, itu semua akan dibakar. Jadi
betul-betul seluruh sumber daya itu dihancurkan. Dan itu efeknya sangat
besar, saya masih ingat ketika tahun 1978 ibu saya sudah lebih dulu
ditangkap dan bapak saya sudah dibunuh sejak tahun 1975. Ibu saya
ditangkap ketika harus berjalan puluhan kilo untuk mencari makanan dan
ketika mereka ditangkap saya harus berjuang menjadi orang tua bagi kedua
adik-adik saya. Saya masih ingat saat itu sangat sulit mencari bahan
makanan. Pisang liar kami sebut, itu kami harus potong bagian dalamnya
yang putih, disini barangkali untuk bikin janur itu. Itukan ada seperti
benang, kami harus pakai lidi untuk membersihkan benang itu kemudian
direbus dan dimakan. Dan itu bukan hanya satu kali makan, tiap pagi
sarapan mungkin siangnya tidak dapat mungkin malamnya seperti itu terus.
Itu efek dari kondisi kekurangan makanan tersebut membuat banyak orang
meninggal karena mal nutrisi. Diare karena kita tidak tinggal di gubug,
kita harus buat gubug temporary, hari ini berada disini besok militer di
dekat kita, kita harus mundur lagi kebelakang dan kita masuk seperti
ini dibelakang harus berjalan mundur. Maksudnya, berjalan kesana, semua
orang tim yang di belakang akan seperti ini. Jadi itu untuk mengacaukan
jejak kita dan itu kadang kadang kami harus berjalan seperti itu sampai
dibelakang kombat. Kami berjalan berusaha sedemikian rupa sehingga kami
berada di belakang mereka lagi. Proses itu yang kita lakukan. Faletil
tidak punya arti sebetulnya karena waktu Portugal keluar saat itu hanya
ada tiga ribu senjata tiga ribu serdadu dan sebagian dari mereka mati di
wilayah perbatasan. Apa yang terjadi, perlawanan itu satu move, satu
sektion hanya ada tiga orang. Untuk tiga orang ini barangkali hanya ada
satu G….(maaf saya tidak tahu nama senjata) ada satu jenis senjata
otomatis atau maosef. Maosef itu senjata paling kuno dan kuat tapi
tembakannya satu-satu. Jadi kadang-kadang tiga orang itu hanya punya
satu senjata. Pelurunya yang tujuh atau enam butir. Jadi amunisi sudah
habis waktu itu tahun 1978-79 tersebut sudah habis. Jadi sebetulnya
tidak punya arti lagi. Mulai dari situ support base, lokasi-lokasi yang
dijadikan pusat mobilisasi masyarakat itu sudah mulai hancur karena
restes sudah mulai rusak, hancur karena kekurangan makanan, logistik
segala macam. Kemudian ada yang menyerah, give up!. Boleh dikatakan
tahun 80-an keadaan itu hampir lumpuh dan kemudian di tahun 1981
dilakukan suatu operasi yang namannya sapu jagat dimana tentara
memobilisir semua orang kecuali anak-anak dan perempuan, pemuda 14 tahun
ke atas saat itu semua harus ikut operasi yang disebut sapu jagat
tersebut. Bergandengan tangan untuk menyapu, setelah proses itu Jakarta
berpikir bahwa sudah selesai perjuangan di Timor Leste. Waktu itu Xanana
dan Falentil masih tersisa sekitar 60-an orang. Sedemikian rupa turun
hanya sekitar enam puluh hingga seratusan orang. Kemudian dari core
group itu melakukan reorganisasi jaringan klandestin untuk support.
Struktur komando diorganisir ulang dan kemudian memilih Xanana menjadi
Panglima Perang. Enam puluh hingga seratusan orang tersebut berjalan
kaki untuk mengorganisir kembali perjuangan dan hal itu sangat berat
sampai tahun 1983 mereka melahirkan konsep perjuangan. Front Fretilin
itu menjadi flatform yang lebih nasional menjadi CNRL kemudian di tahun
90-an dirubah menjadi CNRT untuk memberi nuansa nasionalismenya lebih
kuat. Nah, perjuangan itu kemudian tidak berhenti di armada front
bersenjata, di dalam kota, saya masih ingat waktu itu saya terlibat
dalam gerakan Klandestin tahu 1985 saat itu saya masih SMP.
Kadang-kadang kami harus buat pertemuan di pantai di Dili namainya pasir
putih sebuah tempat rekreasi. Kami duduk sambil makan, ada tiga orang
duduk merencanakan sesuatu dan yang lain ribut-ribut agar orang-orang
tidak tahu. Yang kita lakukan waktu itu menggunakan symbol-simbol gereja
katolik juga salah satunya adalah jaringan Saint-Antoni, salah satu
santo yang dipercayai oleh orang katolik untuk memberikan keselamatan.
Kerja jaringan seperti itu sehingga kemudian berkembang yang kemudian
menggunakan juga symbol-simbol tradisional Nulig. Mengajak orang di
dalam jaringan membagi misalnya jimat bahwa bila jimat tersebut dipakai
anda akan tahan peluru. Sebetulnya kalau dikasi itu akan tetap tembus
peluru juga. Dari proses itu kemudian kita galang kekuatan sampai
kemudian merasa bahwa hal itu tetap tidak efektif karena sering kali
ditangkap, kukunya diambil, dicabut terus mengalami
penyiksaan-penyiksaan seperti itu. Kemudian sebagaian mendapat
kesempatan ke Indonesia. Itu sebetulnya awal kita mengembangkan konsep
memindahkan perhatian perang dari Timor Leste ke Indonesia. Sehingga
kalau kita lihat ke belakang tahun 1986 saat itu pertama kali orang
Timor Leste meminta swaka politik disini, Fernando Lasamo dan
teman-teman minta swaka pilitik di Konsul Australia dan kemudian tahun
1988 di Jakarta. Tahun 1990 trennya saat itu kampus kita sudah kuasai
dan di beberapa kampus besar kita sudah ada core group seperti di UGM,
UI, Komunitas HMI kita masuk disitu. Jadi waktu itu strategi kita bahwa,
kalau perjuangan itu kita lakukan sendiri kita tidak akan mungkin
sampai. Kita harus menggalang kawan-kawan kita di Indonesia. Buku itu
tujuannya berbeda tetapi target musuh kita sama dan saat itulah kita
kemudian kenal Fay (Ilmar Farid), Nuke dan teman-teman lain di Jaringan
Kerja Budaya (JKB). Kalau teman-teman masih ingat awalnya reformasi,
pendudukan fakultas sastra UGM, saat itu sebetulnya semua dilakukan bahu
membahu antara activist pro-kemerdekaan dan aktivis (boleh dikatakan
awalnya bibitnya asalah teman-teman PRD sebetulnya. Setelah beberapa
hari menguasai fakultas Sastra-Filsafat UGM saat itu massa semakin
berkumpul dan semakin banyak hingga sampai pada demo pertama kali yang
dilakukan secara terbuka di UGM dan pembakaran patung Soeharto di
kampus. Mungkin beberapa teman yang hadir disini saat ini ada disana.
Jumlah teman-teman Timtim memang besar waktu itu. Kita bikin patung
besar Soeharto, ketika orang sudah siap, mereka bawa masuk patung
Soeharto dari belakang, dosen-dosen dan rektor UGM sudah hampir bicara
di depan menggunakan mike dan bicara melawan Soeharto dan kebetulan
mahasiswa bakar patung Soeharto. Jadi membawa mereka ke dalam konflik
itu. Jadi waktu itu kami berpikir waktu itu adalah strategi yang cukup
bagus, mereka tidak bisa mundur lagi dan rektor sudah memegang mike dan
mereka bicara kritik jadi kita berada di dalam satu line tanpa mereka
sadar. Dan kawan-kawan diluar negeri, expathriat di Australia kemudian
teman-teman yang lain terus memperkuat barisan diplomasi. Lompat pagar,
ada yang kemudian menetap di Inggris ada yang di Irlandia ada yang
kemudian dikerim terima beasiswa dari pemerintah ke Kanada kemudian
bikin swaka di Kanada. Pokoknya setiap kali ada fasilitas swaka disana,
bikin jaringan baru disana. Kemudian dibuat proses melobby para musisi
seperti U2 juga pernah pentas menggunakan bendera Timor Leste. Prosesnya
seperti itu, kadang-kadang apa artinya musisi itu untuk membawa issu
Timor Leste. Tapi teman-teman, waktu kami di Swiss bahwa, kita harus
menggunakan semua resources, semua peluang, semua media dan setiap
kelompok mahasiswa di Indonesia memiliki media. Media underground untuk
menangkis pemberitaan negative dari media-media mainstream tentang East
Timor yang mungkin diperoleh oleh koramil atau diperoleh dari Pangdam.
Jadi kita coba melawan menangkis dengan model seperti itu.
Sisi Lain Perjuangan
Berhubungan dengan
demonstrasi tahun 1991 pembantaian Santa Cruz, Prabowo dengan
orang-orangnya membantai pemuda yang membuat demonstasi di Santa Cruz.
Nah, seminggu kemudian kami membuat satu demonstrasi yang barangkali
setelah kasus Malari, demonstrasi anti Soeharto di Jakarta adalah
kelompok Timtim. Tahun 1991 kami buat satu demonstrasi dari depan
kedutaan PBB (di depan Sarinah) kemudian kami dikepung di hotel
Indonesia. Saya waktu itu, terus terang pertama kali datang ke Jakarta
jadi samasekali tidak tahu arah utara-timur dimana. Ketika kami dibawa
ke hotel di kebon jeruk tidak punya uang. Waktu itu hanya beberapa ribu
di kantong, kadang-kadang nasi bungkus satu harus dibagi untuk tiga
orang dan itu beberapa hari. Melakukan persiapan untuk teman-teman lain
dari propinsi lain untuk datang ke Jakarta. Kemudian kami pada suatu
saat mengumpulkan sekitar 80-an orang, kami kemudian melakukan
demonstrasi di depan kedutaan PBB dan kedutaan Australia, kemudian kami
setelah dari kedutaan Australia ke kedutaan Amerika. Nah, waktu itu kami
dikepung di hotel Indonesia. Saya berpikir hotel Indonesia adalah salah
satu kantor kedutaan, jadi saya disuruh sebagai orang yang ada di front
line itu untuk melindungi teman-teman yang memegang dokumen deklarasi
‘statement’. Tiba-tiba kami semakin dikepung dan tiba-tiba barisan
pertama, saya dan teman-teman di depan sudah dihantam ke lantai. Saya
ditekan saya tidak tahu tenaga dapat dari mana tiba-tiba saya berdiri
dan say merasa seperti ada 3 orang dibelakang saya. Tenaga ketakutan itu
membuat bisa melompat terlepas dari ketiga orang lalu masuk ke hotel
Indonesia. Padahal hotel Indonesia waktu, saya masih ingat sekitar
setinggi ini saya masih bisa lompat pagar itu. Di dalam sudah ada
teman-teman yang lebih dulu masuk, mereka lari lagi keluar berteiak,
“Oh, itu bukan embassy!”. Terpaksa kami duduk dengan ketakutan dan
kemudian kami dibawa ke Metro Jaya. Tidak ada sebetulnya terlalu seram
disitu, Cuma ketika kami masuk itu, pasal subversif yang diberikan
kepada kami. ” Anda telah melakukan suatu aksi subversive, subversive
kalian tahu PKI itu dibunuh! Mati atau seumur hidup itu pilihan kalian.
Jadi selalu interogasi itu dimulai dengan undang-undang subversif itu
pasal 304. Diinterogasi berganti-ganti, sistim mereka itu sangat
efektif. Jam tujuh sampai jam duabelas, satu orang pergi, orang lain
datang menginterogasi kita di beri beer seperti ini, kopi sampai jam
dua-tiga pagi membuat kita jadi betul-betul loyo. Ancam lagi,
“detik-detik anda tinggal sedikit, anda dengar itu namannya suara azan
sebentar lagi kalau anda tidak melakukan pengakuan anda akan kami bawa
ke bawah”. Di Polda metro Jaya itu dibawahnya ada tempat tahanan
isolasi, “prosedurnya seperti itu”, lanjutnya. Kami mencoba membohongi
dengan berbagai cara. Paling sulit bicara bohong, sulit karena kita
harus berpikir sekuensi dari cerita itu. Tadi saya cerita seperti ini
dan lalu saya harus terus mengingat sekuensi dari cerita itu
terus-menerus, kalau dia berganti saya harus konsisten terus-menerus dan
itu sangat melelahkan, sangat sangat melelahkan. Setelah itu, mereka
melihat jumlah kami sangat besar delapan puluh dua orang. Kalau itu
semua ditahan, semua ambassy di Jakarta pasti akan marah. Apa yang
mereka lakukan kemudian mereka mengeluarkan kami empat puluhan orang
kemudian yang lain mereka pertahankan. Sebulan berikutnya mereka
mengeluarkan beberapa orang lagi dan kemudian hanya tinggal tujuh orang.
Ada yang dihukum tiga tahun seperti Versido, kemudian Lasama sepuluh
tahun kemudian bersama-sama Xanana di Cipinang.
Nah, cerita ini kemudian
saya bawa ke cerita lucu tadi bergabung dengan MW. Ketika balik ke
Jogjakarta orang dari Pemda TimTim datang ke Jogja bawa dokumen untuk
Deklarasi Patuh Kepada Pancasila dan RI. Kami bikin pertemuan seperti
ini, mahasiswa tiga ratusan orang datang mereka bicara, “Kalian tidak
tahu malu terima beasiswa, terima semua fasilitas dari pemerintah,
melawan pemerintah.” Dan setelah itu mereka bilang, “Yaa semua, kita
menyadari teman-teman mahasiswa darah muda” seperti itu selalu
menyanjung kita. “Kami tahu kalian emosional, daripada kalian kehilangan
segala-galanya datang tanda tangan ini dokumen ini”. Saya suruh, saya
dibelakang saya bilang, “tolong baca dokumen itu”. Dan dokumen itu
isinya jelas untuk tunduk kepada Indonesia dan seterusnya. Saya bilang
waktu itu, “saya pergi ke Jakarta demonstrasi bukan karena kemauan orang
tapi saya sadar, saya pergi ke Jakarta melakukan demonstrasi karena
sebuah pergolakan batin saya bahwa, “Saya tidak terima teman-teman saya
dibantai seperti binatang di Santa Cruz Dili”. “Kalau anda bisa
mengembalikan dari mereka yang anda bunuh saya bisa menandatangani surat
itu malam ini juga. Jadi apalah artinya seratus ribu, waktu itu
beasiswanya seratus ribu. Memang sangat berarti sebetulnya tapi saya
bilang, “apalah artinya seratus ribu dibandingkan dengan nyawa
teman-teman saya”. Dan saya menyadari setelah say buat deklarasi itu,
teman-teman saya sangat memberi aplaus kemudian say sampai di kos mereka
masih ikuti saya. Menyuruh orang-orang mereka datang bawa saya ke
Malioboro. Lesehan makan disitu yang sudah sekian tahun saya disana
tidak pernah makan disitu karena sangat mahal, apalagi burung dara dan
setelah makan mereka bilang, “eh, tadi kamu bikin malu sekarang
dokumennya disini tanda tangan”. Saya bilang, “saya tidak akan menanda
tangani itu karena saya telah diberi penghargaan oleh teman-teman saya
dan itu beresiko untuk saya”. Dan betul setelah itu saya baru semester
kedua di UGM setelah bea-siswa saya dihentikan kalang kabut juga agar
uang semesteran seratus dua puluh ribu biaya hidup minimum untuk makan
sekitar empat pulu ribu, transport, buku semua itu membutuhkan minimum
sekitar seratus ribu. Sangat berat kehidupan seperti itu tapi terus saya
jalani kemudian kadang-kadang harus berhenti jual apalah yang bisa
dikerjakan. Nah, suatu saat teman saya datang bawa sabun, bawa tas ada
parfum dan bilang ke saya, “Hey Deo, deo, sini saya ada barang bagus
sekali”. Dia presentasi, begitu dia presentasi saya melihat, “Ini orang
yang nomer satu ini akan terus menjadi nomer satu dan bawahannya akan
terus menjadi bawahan”. Lalu, “Saya sadar bahwa ini adalah pyramid”,
dalam hati kecil saya ini modal, modal saya juga yaa. Tapi untuk
bergabung saya harus mencari empat puluh ribu, yaa,..untuk makan saja
tidak punya apalagi empat puluh ribu. (https://taman65.wordpress.com)
*)Mohon maaf bila adanya kesalahan dalam penulisan nama, tempat dan peristiwa.
[1] Ketua Haburas sebuah LSM yang bergerak dalam bidang konservasi lingkungan di Timor Leste.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar