Rabu, 21 Januari 2015

Sejarah Upacara Adat Ngaben Umat Hindu Bali

Sobat kali ini kita akan membahas tentang upacara pembakaran mayat di Bali atau lebih dikenal dengan nama Ngaben. Masyarakat Hindu di Bali mempercayai bahwa kematian bukanlah suatu yang harus ditangisi, sehingga dalam acara Ngaben biasanya sanak saudara akan bersuka cita karena jenazah akan menjalani reinkarnasi dan menemukan peristirahatan yang terakhir di Moksha (bebas dari roda kematian dan reinkarnasi). 
Sejarah Upacara Adat Ngaben Umat Hindu Bali
Ngaben merupakan ritual yang harus dilaksanakan ketika salah satu sanak-saudara meninggal, sebagai rasa penghormatan dan kasih sayang dari mereka yang ditinggalkan. Jenazah diletakkan di peti-peti mati dan akan dimasukan dalam sarcophagus, sebuah lembu atau dalam wadah berbentuk vihara yang terbuat dari kayu dan kertas. 
Kemudian seorang pendeta atau dari kasta Brahmana membacakan mantra dan doa. Lembu dibakar sampai menjadi abu. Api tersebut dipercaya bisa membebaskan roh dari tubuh dan memudahkan reinkarnasi. Abu pembakaran mayat tersebut dimasukan kedalam buah kelapa gading lalu kemudian di larungkan/dihayutkan ke laut atau sungai yang dianggap suci.
Upacara Ngaben, memang tidak serta merta langsung dilaksanakan ketika ada orang meninggal. Ini menyangkut status sosial keluarga yang ditinggalkan. Biasanya untuk kasta tinggi, Ngaben akan dilaksanakan tiga hari usai meninggalnya si jenazah. untuk sementara waktu jasad disemayamkan di rumah, sambil menunggu waktu yang baik kemudian dilakukan kremasi. 
Namun bagi mereka yang berkasta rendah, ngaben baru akan dilakukan secara massal setelah jenazah dikuburkan terlebih dahulu. Biasanya kremasi kelompok dengan warga satu kampung dan menunggu sampai biaya terkumpul. Pasalnya pelaksanaan Ngaben membutuhkan biaya yang besar. 
Biasanya, penetapan hari pelaksanaan akan dikonsultasikan oleh keluarga dengan pendeta atau dari kasta Brahmana. Sambil menunggu hari baik, biasanya pihak keluarga dan dibantu masyarakat beramai ramai melakukan Persiapan tempat mayat ( bade/keranda ) dan replica berbentuk lembu yang terbuat dari bambu, kayu, kertas warna-warni, yang nantinya untuk tempat pembakaran mayat tersebut.
Pagi harinya pelaksanaan, seluruh keluarga dan masyarakat akan berkumpul. Sementara itu mayat terlebih dahulu dibersihkan/dimandikan dan tetap dipimpin oleh seorang Pendeta atau orang dari golongan kasta Bramana. Mayat kemudian dirias dengan mengenakan pakaian baju adat Bali. Kemudian seluruh keluarga berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir dan diiringi doa agar arwah memperoleh kedamaian dan berada di tempat yang lebih baik.
Mayat tersebut diletakan di dalam “Bade/keranda” lalu di usung secara beramai-ramai, seluruh anggota keluarga dan masyarakat berbaris di depan “Bade/keranda”. Selama dalam perjalanan menuju tempat upacara tersebut, bila terdapat persimpangan atau pertigaan, Bade/keranda akan diputar putar sebanyak tiga kali, ini dipercaya agar si arwah bingung dan tidak kembali lagi ,dalam pelepasan jenazah tidak ada isak tangis, tidak baik untuk jenazah tersebut, seakan tidak rela atas kepergiannya. Arak arakan yang menghantar kepergian jenazah diiringi bunyi gamelan,kidung suci. Pada sisi depan dan belakang Bade/keranda yang di usung terdapat kain putih yang mempunyai makna sebagai jembatan penghubung bagi sang arwah untuk dapat sampai ketempat asalnya.
Keluarga yang ditinggalkan dipercaya dapat membebaskan roh/arwah jenazah dari perbuatan perbuatan yang pernah dilakukan dunia dan menghantarkannya menuju surga abadi dan kembali berenkarnasi lagi dalam wujud yang berbeda. (http://wayansdarme.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar