Ngaben merupakan ritual yang harus dilaksanakan ketika salah satu
sanak-saudara meninggal, sebagai rasa penghormatan dan kasih sayang dari
mereka yang ditinggalkan. Jenazah diletakkan di peti-peti mati dan akan
dimasukan dalam sarcophagus, sebuah lembu atau dalam wadah berbentuk
vihara yang terbuat dari kayu dan kertas.
Kemudian seorang pendeta atau dari kasta Brahmana membacakan mantra dan
doa. Lembu dibakar sampai menjadi abu. Api tersebut dipercaya bisa
membebaskan roh dari tubuh dan memudahkan reinkarnasi. Abu pembakaran
mayat tersebut dimasukan kedalam buah kelapa gading lalu kemudian di
larungkan/dihayutkan ke laut atau sungai yang dianggap suci.
Upacara Ngaben, memang tidak serta merta langsung dilaksanakan
ketika ada orang meninggal. Ini menyangkut status sosial keluarga yang
ditinggalkan. Biasanya untuk kasta tinggi, Ngaben akan dilaksanakan tiga
hari usai meninggalnya si jenazah. untuk sementara waktu jasad
disemayamkan di rumah, sambil menunggu waktu yang baik kemudian
dilakukan kremasi.
Namun bagi mereka yang berkasta rendah, ngaben baru akan dilakukan
secara massal setelah jenazah dikuburkan terlebih dahulu. Biasanya
kremasi kelompok dengan warga satu kampung dan menunggu sampai biaya
terkumpul. Pasalnya pelaksanaan Ngaben membutuhkan biaya yang besar.
Biasanya, penetapan hari pelaksanaan akan dikonsultasikan oleh keluarga
dengan pendeta atau dari kasta Brahmana. Sambil menunggu hari baik,
biasanya pihak keluarga dan dibantu masyarakat beramai ramai melakukan
Persiapan tempat mayat ( bade/keranda ) dan replica berbentuk lembu yang
terbuat dari bambu, kayu, kertas warna-warni, yang nantinya untuk
tempat pembakaran mayat tersebut.
Pagi harinya pelaksanaan, seluruh keluarga dan masyarakat akan
berkumpul. Sementara itu mayat terlebih dahulu dibersihkan/dimandikan
dan tetap dipimpin oleh seorang Pendeta atau orang dari golongan kasta
Bramana. Mayat kemudian dirias dengan mengenakan pakaian baju adat Bali.
Kemudian seluruh keluarga berkumpul untuk memberikan penghormatan
terakhir dan diiringi doa agar arwah memperoleh kedamaian dan berada di
tempat yang lebih baik.
Mayat tersebut diletakan di dalam “Bade/keranda” lalu di usung secara
beramai-ramai, seluruh anggota keluarga dan masyarakat berbaris di depan
“Bade/keranda”. Selama dalam perjalanan menuju tempat upacara tersebut,
bila terdapat persimpangan atau pertigaan, Bade/keranda akan diputar
putar sebanyak tiga kali, ini dipercaya agar si arwah bingung dan tidak
kembali lagi ,dalam pelepasan jenazah tidak ada isak tangis, tidak baik
untuk jenazah tersebut, seakan tidak rela atas kepergiannya. Arak arakan
yang menghantar kepergian jenazah diiringi bunyi gamelan,kidung suci.
Pada sisi depan dan belakang Bade/keranda yang di usung terdapat kain
putih yang mempunyai makna sebagai jembatan penghubung bagi sang arwah
untuk dapat sampai ketempat asalnya.
Keluarga yang ditinggalkan dipercaya dapat membebaskan roh/arwah jenazah
dari perbuatan perbuatan yang pernah dilakukan dunia dan
menghantarkannya menuju surga abadi dan kembali berenkarnasi lagi dalam
wujud yang berbeda. (http://wayansdarme.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar