Rabu, 11 Maret 2015

Pelabuhan Rakyat Paotere

Pelabuhan Paotere menyimpan banyak sejarah. Keberadaannya mengingatkan, bahwa kota Makassar (yang dulunya sebagai pusat kerajaan Gowa-Tallo sejak abad ke-14) merupakan salah satu sentra perdagangan nusantara, bahkan menjadi salah satu bandar terbesar di Asia Tenggara. Pelabuhan rakyat Paotere ini terletak di bagian Utara Kota Makassar, berjarak sekitar tiga kilometer dari Pantai Losari, tepatnya di kecamatan Ujung Tanah.
Pelabuhan rakyat Paotere adalah tempat berlabuhnya perahu layar orang Sulawesi dari berbagai penjuru Indonesia. Banyak tipe perahu yang berlabuh, beberapa di antaranya, seperti perahu kecil dengan layar tunggal, serta beberapa perahu dengan layar dan mesin seperti pinisi, lambo, dan beberapa jenis lainnya. Sangat mencengangkan melihat pemandangan tiang perahu yang besar bersebelahan dengan masjid dan rumah-rumah di pantai, buruh pelabuhan memuati dan membongkar muatan dan banyak perahu tradisional bercadik lalu lalang di ufuk senja dihadapan pelabuhan. Pemandangan lebih indah lagi bila senja mendatang dengan panorama matahari tenggelam yang memancarkan warna-warni sebagai latar belakangnya.
12999580241296352105
(Sumber Gambar: KotaDaeng. Net)
1299958599258703396
(Sumber Gambar: KotaDaeng. Net)
Kini, penghargaan atas peninggalan sejarah tersebut telah kusam, atau menjadi pertanyaan apakah yang menjadi salah satu icon wisata di kota besar ini menjadi layak untuk disanjung? melihat realitas yang nampak di dermaga Poatere seakan terabaikan. Barbagai masalah sebagai bahan introveksi atau pertimbangan yang mungkin bisa menyadarkan kepedulian kita semua akan penghargaan terhadap pelabuhan rakyat yang kita banggakan.
Laut sebagai daerah yang sensitif akan pencemaran seharusnya bisa dijaga agar tetap berfungsi sebagai tempat hidup ekosistem laut didalamnya, juga sebagai tempat bergantungnya kehidupan manusia yang memanfaatkannya. Alangkah memperihatinkan jika laut disulap menjadi tempat pembuangan sampah. Dermaga Paotere mencerminkan itu. Sejarah yang terukir ditempat itu sejak ratusan tahun yang lalu , kini dihiasi dengan berbagai jenis sampah. Tidak bisa dipungkiri, masalah sampah merupakan masalah klasik yang ada di negara kita ini. Bukan hanya dipesisir pantai atau dermaga, di perkotaan atau di perumahan penduduk, sampah merupakan masalah yang mewabah dan tidak pernah ada habisnya dibahas. Apalagi telah berakibat fatal bagi kehidupan kita sendiri. Icon wisata plabuhan rakyat Paotere masih perlu dipertanyakan, apakah icon tersebut hanya sebatas objek sejarah (saksi bisu sejarah) ataukah sebagai objek wisata (yang menampilkan berbagai potensi menarik didalamnya termasuk sejarah itu sendiri).
129995967973521208
(Sumber Gambar: Koleksi Peribadi)
12999597211635673830
(Sumber Gambar: Koleksi Peribadi)
12999600741997349829
(Sumber Gambar: Koleksi Peribadi)
1299959683423153566
(Sumber Gambar: Koleksi Peribadi)
Disis lain, sentuhan modern yang dilakukan pemerintah memang telah dapat dirasakan di pelabuhan rakyat Paotere, terlihat dari fasilitas yang telah dibangun dan dimanfaatkan masyarakat di pelabuhan tersebut. Apalagi adanya perencanaan pemerintah menjadikan pelabuhan rakyat Paotere sebagai pelabuhan kontainer.
Sebagai bahan pertimbangan, hal itu bukan satu-satunya indikator kepedulian kita untuk membangun pelabuhan itu, bahkan bisa saja menghilangkan nilai sejarah di dalamnya secara berlahan dan tinggal nama. Persoalan sempitnya lahan pelabuhan kontainer disikapi secara sepihak oleh PT Pelindo dengan mencari lahan baru yang tentunya punya akses mudah ke pelabuhan induknya. Pelabuhan yang sekarang padat dan cenderung semrawut ini akan ditambah dengan persoalan baru, yaitu penggunaan ruang baru untuk pelabuhan kontainer. Mestinya yang dilakukan oleh pemerintah adalah merevitalisasi (dalam artian sebenarnya mengembalikan nilai fungsi vital) pelabuhan Paotere sebagai pusat budaya bahari Bugis Makassar dengan berbagai persoalan yang cendrung disepelehkan. Misalnya, dalam melihat kondisi semakin bertambahnya kapal-kapal milik perusahaan yang dulunya menyewa jasa kapal-kapal masyarakat untuk mengangkut barang baik yang didatangkan atau dikirim ke daerah lain yang secara bertahap akan melenyapkan mata pencarian kapal-kapal masyarakat yang bergantung pada sektor jasa angkutan barang, masih minimnya dermaga yang mengakibatkan banyak kapal yang mengantri untuk bisa bersandar, sampai masalah kebersihan.
Aset budaya bahari pelabuhan Paotere sebagai armada pelayaran tradisional serta interaksi sosio-kultural dan ekonomi nelayan terancam terpinggirkan jika perencanaan itu diwujudkan. Secara sosio-kultural pelabuhan rakyat Paotere telah membentuk ikatan solidaritas diantara suku-suku yang ada di wilayah ini karena bukan saja pelaut dari makassar saja yang berlabuh disana tapi dari juga dari luar. Dilihat dari konteks lokal pelabuhan Paotere adalah pintu gerbang bagi masyarakat nelayan, (mengutip tulisan Yusran M Nassa : http: / groups. yahoo.com/ group/ Lingkungan/ message / 21073).
Semoga saja, pembangunan yang dicanangkan pemerintah dalam mengembangkan pelabuhan rakyat Paotere tidak lepas dari konsep pemberdayaan, yang menjunjung partisipasi masyarakat dalam hal pengambilan keputusan serta kepentingan nelayan-nelayan kecil. Apalagi melihat pelabuhan rakyat Paotere merupakan asset sejarah yang kaya akan nilai dengan perahu-perahu Phinisi, Lambo, dan perahu trasional lainnya. Sangat disayangkan kalau kapal-kapal kayu tersebut diganti dengan kapal-kapal besi.
Kepedulian kita untuk menjaga pelabuhan rakyat Paotere menuntun peran kita sebagai masyarakat yang tidak lepas dari akar sejarah itu sendiri. Bagaikan daun-daun kita lahir dari akar, akan tidak wajar jika daun-daun itu berguguran dan tidak bermanfaat lagi buat akar itu sendiri, sehingga batang yang menunjukkan eksistensi pohon yang besar itu mati karena tidak ada lagi makanan yang ia serap dari daun-daunnya atau daun-daunnyanya menjadi sampah-sampah yang tidak berguna. (http://sosbud.kompasiana.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar