Pelabuhan
Paotere menyimpan banyak sejarah. Keberadaannya mengingatkan, bahwa
kota Makassar (yang dulunya sebagai pusat kerajaan Gowa-Tallo sejak abad
ke-14) merupakan salah satu sentra perdagangan nusantara, bahkan
menjadi salah satu bandar terbesar di Asia Tenggara.
Pelabuhan rakyat Paotere ini terletak di bagian Utara Kota Makassar,
berjarak sekitar tiga kilometer dari Pantai Losari, tepatnya di
kecamatan Ujung Tanah.
Pelabuhan rakyat Paotere
adalah tempat berlabuhnya perahu layar orang Sulawesi dari berbagai
penjuru Indonesia. Banyak tipe perahu yang berlabuh, beberapa di
antaranya, seperti perahu kecil dengan layar tunggal, serta beberapa
perahu dengan layar dan mesin seperti pinisi, lambo, dan beberapa jenis
lainnya. Sangat mencengangkan melihat pemandangan tiang perahu yang
besar bersebelahan dengan masjid dan rumah-rumah di pantai, buruh
pelabuhan memuati dan membongkar muatan dan banyak perahu tradisional
bercadik lalu lalang di ufuk senja dihadapan pelabuhan. Pemandangan
lebih indah lagi bila senja mendatang dengan panorama matahari tenggelam
yang memancarkan warna-warni sebagai latar belakangnya.
Kini,
penghargaan atas peninggalan sejarah tersebut telah kusam, atau menjadi
pertanyaan apakah yang menjadi salah satu icon wisata di kota besar ini
menjadi layak untuk disanjung? melihat realitas yang nampak di dermaga
Poatere seakan terabaikan. Barbagai masalah sebagai bahan introveksi
atau pertimbangan yang mungkin bisa menyadarkan kepedulian kita semua akan penghargaan terhadap pelabuhan rakyat yang kita banggakan.
Laut sebagai daerah yang sensitif akan pencemaran seharusnya bisa dijaga agar tetap berfungsi sebagai
tempat hidup ekosistem laut didalamnya, juga sebagai tempat
bergantungnya kehidupan manusia yang memanfaatkannya. Alangkah
memperihatinkan jika laut disulap menjadi tempat pembuangan sampah.
Dermaga Paotere mencerminkan itu. Sejarah yang terukir ditempat itu
sejak ratusan tahun yang lalu , kini dihiasi dengan berbagai jenis
sampah. Tidak bisa dipungkiri, masalah sampah merupakan masalah klasik
yang ada di negara kita ini. Bukan hanya dipesisir pantai atau dermaga,
di perkotaan atau di perumahan penduduk, sampah merupakan masalah yang
mewabah dan tidak pernah ada habisnya dibahas. Apalagi telah berakibat
fatal bagi kehidupan kita sendiri. Icon wisata plabuhan rakyat Paotere
masih perlu dipertanyakan, apakah icon tersebut hanya sebatas objek
sejarah (saksi bisu sejarah) ataukah sebagai objek wisata (yang
menampilkan berbagai potensi menarik didalamnya termasuk sejarah itu
sendiri).
Disis
lain, sentuhan modern yang dilakukan pemerintah memang telah dapat
dirasakan di pelabuhan rakyat Paotere, terlihat dari fasilitas yang
telah dibangun dan dimanfaatkan masyarakat di pelabuhan tersebut.
Apalagi adanya perencanaan pemerintah menjadikan pelabuhan rakyat
Paotere sebagai pelabuhan kontainer.
Sebagai
bahan pertimbangan, hal itu bukan satu-satunya indikator kepedulian
kita untuk membangun pelabuhan itu, bahkan bisa saja menghilangkan nilai
sejarah di dalamnya secara berlahan dan tinggal nama. Persoalan
sempitnya lahan pelabuhan kontainer disikapi secara sepihak oleh PT
Pelindo dengan mencari lahan baru yang tentunya punya akses mudah ke
pelabuhan induknya. Pelabuhan yang sekarang padat dan cenderung semrawut
ini akan ditambah dengan persoalan baru, yaitu penggunaan ruang baru
untuk pelabuhan kontainer. Mestinya yang dilakukan oleh pemerintah
adalah merevitalisasi (dalam artian sebenarnya mengembalikan nilai
fungsi vital) pelabuhan Paotere sebagai pusat budaya bahari Bugis
Makassar dengan berbagai persoalan yang cendrung disepelehkan. Misalnya,
dalam melihat kondisi semakin bertambahnya kapal-kapal milik perusahaan
yang dulunya menyewa jasa kapal-kapal masyarakat untuk mengangkut
barang baik yang didatangkan atau dikirim ke daerah lain yang secara
bertahap akan melenyapkan mata pencarian kapal-kapal masyarakat yang
bergantung pada sektor jasa angkutan barang, masih minimnya dermaga yang
mengakibatkan banyak kapal yang mengantri untuk bisa bersandar, sampai
masalah kebersihan.
Aset
budaya bahari pelabuhan Paotere sebagai armada pelayaran tradisional
serta interaksi sosio-kultural dan ekonomi nelayan terancam
terpinggirkan jika perencanaan itu diwujudkan. Secara sosio-kultural
pelabuhan rakyat Paotere telah membentuk ikatan solidaritas diantara
suku-suku yang ada di wilayah ini karena bukan saja pelaut dari makassar
saja yang berlabuh disana tapi dari juga dari luar. Dilihat dari
konteks lokal pelabuhan Paotere adalah pintu gerbang bagi masyarakat
nelayan, (mengutip tulisan Yusran M Nassa : http: / groups. yahoo.com/ group/ Lingkungan/ message / 21073).
Semoga
saja, pembangunan yang dicanangkan pemerintah dalam mengembangkan
pelabuhan rakyat Paotere tidak lepas dari konsep pemberdayaan, yang
menjunjung partisipasi masyarakat dalam hal pengambilan keputusan serta
kepentingan nelayan-nelayan kecil. Apalagi melihat pelabuhan rakyat
Paotere merupakan asset sejarah yang kaya akan nilai dengan
perahu-perahu Phinisi, Lambo, dan perahu trasional lainnya. Sangat
disayangkan kalau kapal-kapal kayu tersebut diganti dengan kapal-kapal
besi.
Kepedulian
kita untuk menjaga pelabuhan rakyat Paotere menuntun peran kita sebagai
masyarakat yang tidak lepas dari akar sejarah itu sendiri. Bagaikan
daun-daun kita lahir dari akar, akan tidak wajar jika daun-daun itu
berguguran dan tidak bermanfaat lagi buat akar itu sendiri, sehingga
batang yang menunjukkan eksistensi pohon yang besar itu mati karena
tidak ada lagi makanan yang ia serap dari daun-daunnya atau
daun-daunnyanya menjadi sampah-sampah yang tidak berguna. (http://sosbud.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar