Sabang secara historis memang dikenal karena pelabuhannya. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, Teluk Sabang telah melayani kapal-kapal besar dari benua Eropa, Afrika, dan Asia. Pemerintah kolonial Belanda melihat potensi Sabang. Tahun 1881, Belanda mendirikan Kolen Station di Teluk Sabang yang terkenal dengan pelabuhan alamnya.
Dua tahun kemudian, Belanda mendirikan Atjeh Associate oleh Factorij van de Nederlandsche Handel Maatschappij (Factory of Netherlands Trading Society) dan De Lange & Co di Batavia (Jakarta) untuk mengoperasikan pelabuhan dan stasiun batubara di Sabang. Pelabuhan itu awalnya dimaksudkan sebagai stasiun batubara untuk Angkatan Laut Belanda, tetapi kemudian juga melayani kapal dagang umum.
Sebelum Perang Dunia II, Pelabuhan Sabang sangat penting dibandingkan dengan Singapura. Karena perannya yang semakin penting, pada tahun 1896 Sabang dibuka sebagai pelabuhan bebas untuk perdagangan umum dan pelabuhan transit barang-barang, terutama hasil pertanian dari Deli yang telah menjadi daerah perkebunan tembakau sejak tahun 1863 dan hasil perkebunan berupa lada, pinang, dan kopra dari Aceh. Sabang pun mulai dikenal oleh lalu lintas perdagangan dan pelayaran dunia.
Tahun 1903, CJ Karel Van Aalst, sebagai direktur NHM yang baru, mengatur layanan dwi-mingguan antara Pelabuhan Sabang dan negeri Belanda, melibatkan Stoomvaart Maatschappij Nederland (Netherlands Steamboat Company) dan Rotterdamsche Lloyd. Dia juga mengatur suntikan modal penting bagi Sabang Maatschappij dengan NHM sebagai pemegang saham mayoritas.
Pelabuhan Sabang terus berkembang hingga akhirnya masa kejayaan merosot setelah tahun 1985. Status Sabang sebagai daerah perdagangan bebas dan pelabuhan bebas ditutup oleh Pemerintah RI melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 1985. Pencabutan status ini dengan alasan maraknya penyelundupan dan akan dibukanya Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
Sudah banyak perdebatan yang mengangkat isu agar peran Pelabuhan Sabang sebagai pintu gerbang Indonesia di kawasan barat kembali dibangkitkan. Yang terjadi sekarang, PT Pelabuhan Indonesia I telah menyerahkan aset kepada Pemerintah Provinsi Aceh melalui Badan Pengusahaan Kawasan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS). Belum jelas bagaimana nasib Pelabuhan Sabang ke depan. Sementara itu, Batam yang digadang-gadang pemerintah pusat sebagai pintu gerbang di Selat Malaka tak menunjukkan perannya.
Secara geografis, sebenarnya posisi Sabang lebih strategis dibandingkan dengan Batam. Sabang terletak di pintu bagian barat Selat Malaka yang dilintasi 50.000-60.000 kapal setiap tahun. Kondisi alam Pelabuhan Sabang juga lebih mendukung. Bagi kapal-kapal besar, syarat kedalaman laut menjadi mutlak untuk menjaga keselamatan dan laluan kapal.
Tren ke depan, kapal-kapal yang lebih besar akan banyak diproduksi. Sekarang ini saja sudah lebih dari 7.000 kapal peti kemas beroperasi di seluruh dunia.
Situasi ini menguntungkan bagi Pelabuhan Sabang. Dengan kolam pelabuhan yang dalam secara alami, Pelabuhan Sabang bisa mengambil peran sebagai pelabuhan penghubung. Pelabuhan Sabang bahkan berpotensi menjadi pintu keluar masuk barang ekspor Indonesia di bagian barat.
Dari sini kita dapat melihat bahwa potensi Sabang untuk melayani wilayah Sumatera adalah sangat besar. Karena itu, berbagai kerja sama, khususnya dengan beberapa pelabuhan utama di kawasan Selat Malaka yang sudah lebih dahulu eksis, perlu dilakukan. (http://travel.kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar