Minggu, 05 April 2015

Gerak Hidup Jemek Supardi, Bapak Pantomim Indonesia

“Di antara banyak kemungkinan, ia memilih seni sebagai jalan hidup. Di antara banyak pilihan, ia memilih pantomim sebagai seni yang ia geluti. Selama tiga puluh tahun, ia jalani kehidupan itu dengan mantap. Inilah kisah biasa tentang gerak-gerik kehidupan seorang pemain pantomim."
Orang tua itu memiliki rambut bagian belakang yang panjang gimbal hingga ke pinggang, namun botak plontos di bagian depan. “Meniru model tokoh pendekar China,” katanya. Tubuhnya pendek dan agak kurus, meski ototnya nampak kekar. Kulitnya sudah keriput, wajar saja sebagai pria berusia enam puluh tahun.
Jemek Supardi, Bapak Pantomim Indonesia
Ia hampir selalu bisa ditemui di rumahnya, di jalan Brigjen Katamso nomor 159, Yogyakarta. Sehari-hari, ia hanya duduk dan tidur di salah satu kursi ruang tamunya. Ruang tamu itu hanya terdiri dari sebuah meja, sebuah lemari, dan beberapa kursi. Di atas meja, hampir selalu ada asbak yang dipenuhi abu rokok, beberapa batu pirus yang tersimpan di wadahnya, dan beberapa carik kertas yang bertuliskan angka-angka. “Ini angka judi, buat main judi nanti malan,” jelasnya.
Jemek Supardi nama orang tua itu. Hobinya sehari-hari memang hanya memandangi batu pirus koleksinya, menyusun nomor judi, sambil merokok tanpa henti. Sesekali ia juga bermain dengan anjing Pomenarian milik anaknya, atau pergi memancing dengan teman-temannya. Hanya itu kegiatan Jemek sehari-hari, bila ia tidak mendapat panggilan untuk tampil di panggung.
Jemek Supardi bukan orang sembarangan. Ia kerap disebut sebagai “Bapak Pantomim Indonesia,” karena komitmennya dalam menggeluti cabang seni teater itu. Beberapa poster yang terpajang di tembok ruang tamunya membuktikannya. Poster-poster tersebut adalah publikasi pertunjukkan pantomim di masa lalu. Semua poster itu menampilkan Jemek Supardi seorang diri. Nampak ia berpose dengan beragam gaya di tiap gambar, lengkap dengan judul pertunjukannya. Wajahnya yang memakai make up putih tebal juga berekspresi dengan beragam mimik emosi.
Saat saya berkunjung ke rumahnya, ia menyambut saya ramah dengan hanya mengenakan celana jeans yang robek di sana-sini. Ia selalu senang bila ada orang yang datang mengunjunginya, apalagi bila datang untuk belajar bermain pantomim padanya. “Sekarang ini sudah semakin sedikit anak muda yang mau berpantomim. Entah siapa yang mau meneruskan pantomim di masa depan,” katanya sedih.
Saya pun sedih karena tidak sanggup memenuhi harapan Jemek. Kunjungan saya ke ruang tamunya hari itu jelas bukan ingin belajar pantomim, saya hanya ingin mendengar dan menuliskan cerita beliau. Beruntung, Jemek sudah cukup senang dikunjungi seorang anak muda di hari tuanya.
Sambil memandangi pirus, Jemek mulai menyalakan rokok dan menuturkan kisahnya. Ia lahir pada 14 Maret 1953 di Pakem, Yogyakarta dengan nama asli Supardi. Ayahnya bekerja sebagai tukang bangunan. Meski lahir di Pakem, sang ayah sudah membeli rumah nomor 159 di jalan Brigjen Katamso. Rumah itu menjadi tempat tinggal Supardi sejak lahir. Ya, rumah sang ayah sama seperti yang Jemek tinggali hari ini.
Dulu, Supardi kecil adalah anak berandalan yang berulang kali tidak naik kelas saat SD. Tujuh kali ia berpindah sekolah di SMP karena sering merasa tidak betah. Saat SMP ini pula, Supardi memperoleh nama barunya. “Jemek” yang berarti basah atau kotor, ia dapatkan karena kebiasaannya berkotor-kotoran dengan berguling di lumpur. Pernah suatu kali, para tetangga bertanya pada ibunya “Jemek dimana bu?” Sang ibu tidak paham siapa Jemek yang dimaksud, tidak tahu bahwa anaknya punya nama baru.
Jalan Malioboro di masa lampau, konon adalah markas bagi para seniman.
Beranjak dewasa, Jemek mulai berkenalan dengan dunia seni. Semua berawal ketika Jemek muda di tahun 1970 berjalan-jalan di Malioboro. Dulu Jalan Malioboro dipenuhi banyak pegiat seni. “Ada banyak sekali seniman yang sering bercengkerama di Malioboro. Mereka saling bertemu, ngobrol, dan diskusi,” kenang Jemek. Di sanalah, Jemek mengagumi tokoh seperti Rendra, Landung Simatupang, Emha Ainun Najib, dan orang-orang Bengkel Teater.
Mantap memilih dunia seni, Jemek keluar dari Sekolah Menengah Seni Rupa (setingkat SMA) di tahun 1972. Tidak lama, ia pun bergabung dengan Teater Alam pimpinan Azwar AN di tahun 1974. Azwar sendiri berasal dari Bengkel Teater, otomatis Teater Alam adalah salah satu “anak” dari Bengkel Teater pimpinan Rendra.
Namun seperti halnya saat di sekolah dulu, ia merasa tidak betah dengan lingkungan kelompok teater ini. Maka, di tahun 1976 ia hijrah ke Teater Dinasti pimpinan Fajar Suharno.
Namun, Perjalanan Jemek sebagai seniman acap kali tidak mulus, bahkan dia tidak sepenuhnya berhasil menjadi pemain teater. Jemek kesulitan menghafal naskah, hal ini lantas kerap menyulitkan lawan mainnya. Alhasil peran yang ia mainkan hanya tokoh sampingan, bahkan hanya pekerja belakang panggung. Konon, ia pernah menjadi pemain belakang panggung bersama Seno Gumira Ajidarma, orang yang akan menjadi cerpenis terkemuka kelak.
Sadar akan kelemahan ini, Jemek mencari jalan lain untuk mengekspresikan jiwa seninya. Ia tertarik dengan pantomim, salah satu cabang dalam dunia teater. Pantomim memungkinkan Jemek untuk berekspresi dengan gerak tubuh dan mimik wajah, tanpa naskah dialog sama sekali.
Jemek pun memilih untuk bermain pantomim…
Ia pun terinspirasi saat melihat penampilan Marcel Mercau, pemain pantomim Perancis yang pernah tampil di Yogyakarta. Maka pada tahun 1980, Jemek mantap memilih berpantomim. Di tahun 1981, ia tampil dengan beberapa penampilan karangannya, seperti Arwah Pak Wangso, Jakarta-Jakarta, Tukang Cukur, dan sebagainya.
Jemek Supardi bermain pantomim
Selalu ada makna di tiap penampilan Jemek. Misalnya, dalam penampilan yang berjudul Halusinasi Seorang Pelukis, Jemek menceritakan tentang istrinya, pelukis bernama Freda Mairayanti. Seorang pelukis, diceritakan Jemek dalam pertunjukannya, memiliki imajinasi melebihi orang normal. Pelukis bisa begitu menjiwai karya lukisannya, bahkan benar-benar mengira lukisannya hidup dan bisa bergerak. Itulah yang diamati Jemek pada istrinya. Ibu Freda Mairayanti memiliki imajinasi yang begitu kuat, hingga kadang sering berhalusinasi.
Salah satu pertunjukkan Jemek, berjudul “Jemek (bingung) mau mudik” adalah kritiknya atas fenomena mudik yang mengalami pergeseran makna. Penampilan tersebut ia lakukan di Titik Nol Kilometer Yogyakarta (antara.com)
Beda lagi makna yang terkandung dalam Perahu Nuh, salah satu karyanya yang lain. Dalam lakon ini, ia menceritakan bagaimana suatu hari dirinya digulung ombak air bah. Ia nyaris tenggelam, dan dari kejauhan ia lihat bahtera Nabi Nuh menyelamatkan makhluk-makhluk Tuhan. Ingin ia menggapai perahu itu, tapi tak sampai. Ingin ia ikut bersama Nabi Nuh menyelamatkan umat, tapi tak sampai.
Di sini ia ingin menyampaikan, bahwa bagaimanapun manusia bercita-cita, pasti selalu ada batasnya. Perahu Nuh digambarkan sebagai cita-cita manusia yang tidak selalu bisa digapai. Jemek sendiri memaknai karya itu sebagai hasrat pribadinya. Nabi Nuh menjadi sosok yang ia dambakan. Ingin ia menjadi seperti tokoh itu, membantu banyak makhluk dunia. Tapi apa daya, menjadi nabi adalah mandat yang hanya bisa diberikan Tuhan, pikirnya.
Tidak hanya di panggung, Jemek suka tampil di jalanan
Jemek tampil tidak hanya di panggung, ia sering berpantomim di tempat-tempat aneh, di stasiun, di depan Rumah Sakit Jiwa (RSJ), dan bahkan di kuburan.
Stasiun mungkin biasa, tapi kenapa di RSJ? Tanya saya suatu kali.
“Saya ingin menunjukan bahwa orang sakit jiwa tetaplah manusia. Jangan sampai dianggap hina,” katanya bijak.
Lalu kenapa di kuburan?
“Ya enak, di kuburan itu sepi,” katanya nyeleneh
Di sungai pun Jemek tampil
Penampilan Jemek kadang merupakan sebuah aksi protes. Pada tahun 1997, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) tidak menyertakan pantomim sebagai rangkaian agendanya. Otomatis ia tidak diundang, tidak pula pemain pantomim lainnya. Kecewa berat, ia pun menggelar penampilannya sendiri di Jalan Malioboro. Pertunjukan itu berjudul Pak Jemek Pamit Pensiun. Dengan tegas Jemek menunjukkan kekecewaannya dengan keberadaan pantomim yang tidak dianggap.
Ia berharap ke depannya, FKY ataupun acara budaya lainnya mau memberi kesempatan bagi pertunjukan pantomim. “Saya ingin pemain pantomim muda punya ruang untuk tampil. Kalau tidak, siapa yang akan melanjutkan pantomim di masa depan?” tegasnya.
Terakhir, ada makna yang cukup menarik dari pertunjukkan Jemek yang berjudul Tukang Cukur. Kali ini, Jemek menceritakan tentang kebosanan yang dialami seorang pemangkas rambut. Alkisah, seorang tukang cukur jalanan bersedih karena sepi pelanggan. Ia membuka lapak di bawah pohon, lengkap dengan perabotan cukurnya.
Berhari-hari tidak ada orang yang datang untuk cukur. Kadangkala ada yang datang menghampiri, tapi hanya untuk pinjam sisir. Si tukang cukur pun terus menunggu, namun tetap tidak ada yang datang. Ternyata nasib yang sama juga dialami temannya yang juga tukang cukur. Karena sama-sama jenuh, akhirnya mereka berdua sepakat untuk saling mencukur satu sama lain.
Ironis, nampaknya Jemek bernasib sama seperti tukang cukur yang sepi pelanggan itu. Undangan untuk memintanya tampil berpantomim tidak pernah ramai. Begitulah, ia tahu kehidupan seniman memang bukan jalan hidup yang bergelimang harta. Termasuk teater, yang tidak sepopuler musik, apalagi pantomim, yang hanya salah satu cabang teater.
Padahal, pantomim menjadi pilihan hidup sekaligus sarana Jemek mencari nafkah. Sekali tampil ia dibayar lima ratus ribu hingga satu juta. Bila ramai, Jemek dapat tampil sekali atau dua kali sebulan, sementara di hari biasa jelas kurang dari itu. “Beberapa bulan tidak tampil sudah biasa,” ujarnya santai.
Jarang sekali Jemek mendapat tawaran tampil, padahal ia punya istri dan seorang anak yang harus dihidupi…
Jemek pun sadar, ia butuh uang untuk menghidupi dirinya, istrinya, dan anak perempuannya. “Tidak perlu munafik. Siapa yang tidak butuh uang?” katanya ringan. Tapi tentu, profesinya sebagai pemain pantomim tidak menjanjikan. Beruntung bagi Jemek, di sepanjang jalan Brigjen Katamso tempatnya tinggal banyak toko peti mati. Keadaan itu dimanfaatkan Jemek untuk mencari nafkah secara unik.
Jemek sering duduk sendirian tengah malam di depan rumahnya. Bila beruntung, akan datang orang yang mencari peti mati, padahal toko-toko telah tutup. Jemek pun datang menawarkan bantuan. Toko-toko yang dimiliki tetangganya itu lantas ia ketuk satu per satu. Tetangga penjual peti mati itu pun keluar rumah dan niaga dilakukan. Bila transaksi berhasil, ia mendapat komisi atas jasanya.
Itulah Jemek, pantomimer yang menyambi jadi makelar peti mati demi menyambung hidup.
Enam puluh tahun umur Jemek Supardi, tiga puluh tiga tahun sudah ia berpantomim. Ia masih tinggal di rumahnya, bersama istri dan anak perempuannya. Semangatnya masih menggebu untuk berseni. Sehari-harinya Jemek memang hanya duduk, memandangi batu pirus, berkutat dengan angka judi, merokok tanpa henti, dan mempromosikan peti mati. Namun, di benaknya selalu ada pantomim. Pak Jemek Pamit Pensiun hanyalah judul dari salah satu pertunjukannya, tidak pernah ia serius untuk pensiun. Pantomim tidak ia maknai secara istimewa, hanya jalan hidup biasa yang ia sukai. “Saya sekedar suka pantomim. Karena suka dari hati, ya saya jadikan jalan hidup,” pungkasnya mantap.
Jemek tidak berniat pensiun, ia pasti akan tampil lagi, tunggu saja di jalanan Yogyakarta…. (http://www.isigood.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar