“Di antara banyak kemungkinan, ia memilih seni sebagai jalan hidup.
Di antara banyak pilihan, ia memilih pantomim sebagai seni yang ia
geluti. Selama tiga puluh tahun, ia jalani kehidupan itu dengan mantap.
Inilah kisah biasa tentang gerak-gerik kehidupan seorang pemain
pantomim."
Orang tua itu memiliki rambut bagian belakang yang panjang gimbal
hingga ke pinggang, namun botak plontos di bagian depan. “Meniru model
tokoh pendekar China,” katanya. Tubuhnya pendek dan agak kurus, meski
ototnya nampak kekar. Kulitnya sudah keriput, wajar saja sebagai pria
berusia enam puluh tahun.
Ia hampir selalu bisa ditemui di rumahnya, di jalan Brigjen Katamso
nomor 159, Yogyakarta. Sehari-hari, ia hanya duduk dan tidur di salah
satu kursi ruang tamunya. Ruang tamu itu hanya terdiri dari sebuah meja,
sebuah lemari, dan beberapa kursi. Di atas meja, hampir selalu ada
asbak yang dipenuhi abu rokok, beberapa batu pirus yang tersimpan di
wadahnya, dan beberapa carik kertas yang bertuliskan angka-angka. “Ini
angka judi, buat main judi nanti malan,” jelasnya.
Jemek Supardi nama orang tua itu. Hobinya sehari-hari memang hanya
memandangi batu pirus koleksinya, menyusun nomor judi, sambil merokok
tanpa henti. Sesekali ia juga bermain dengan anjing Pomenarian milik
anaknya, atau pergi memancing dengan teman-temannya. Hanya itu kegiatan
Jemek sehari-hari, bila ia tidak mendapat panggilan untuk tampil di
panggung.
Jemek Supardi bukan orang sembarangan. Ia kerap disebut sebagai
“Bapak Pantomim Indonesia,” karena komitmennya dalam menggeluti cabang
seni teater itu. Beberapa poster yang terpajang di tembok ruang tamunya
membuktikannya. Poster-poster tersebut adalah publikasi pertunjukkan
pantomim di masa lalu. Semua poster itu menampilkan Jemek Supardi
seorang diri. Nampak ia berpose dengan beragam gaya di tiap gambar,
lengkap dengan judul pertunjukannya. Wajahnya yang memakai make up putih tebal juga berekspresi dengan beragam mimik emosi.
Saat saya berkunjung ke rumahnya, ia menyambut saya ramah dengan
hanya mengenakan celana jeans yang robek di sana-sini. Ia selalu senang
bila ada orang yang datang mengunjunginya, apalagi bila datang untuk
belajar bermain pantomim padanya. “Sekarang ini sudah semakin sedikit
anak muda yang mau berpantomim. Entah siapa yang mau meneruskan pantomim
di masa depan,” katanya sedih.
Saya pun sedih karena tidak sanggup memenuhi harapan Jemek. Kunjungan
saya ke ruang tamunya hari itu jelas bukan ingin belajar pantomim, saya
hanya ingin mendengar dan menuliskan cerita beliau. Beruntung, Jemek
sudah cukup senang dikunjungi seorang anak muda di hari tuanya.
Sambil memandangi pirus, Jemek mulai menyalakan rokok dan menuturkan
kisahnya. Ia lahir pada 14 Maret 1953 di Pakem, Yogyakarta dengan nama
asli Supardi. Ayahnya bekerja sebagai tukang bangunan. Meski lahir di
Pakem, sang ayah sudah membeli rumah nomor 159 di jalan Brigjen Katamso.
Rumah itu menjadi tempat tinggal Supardi sejak lahir. Ya, rumah sang
ayah sama seperti yang Jemek tinggali hari ini.
Dulu, Supardi kecil adalah anak berandalan yang berulang kali tidak
naik kelas saat SD. Tujuh kali ia berpindah sekolah di SMP karena sering
merasa tidak betah. Saat SMP ini pula, Supardi memperoleh nama barunya.
“Jemek” yang berarti basah atau kotor, ia dapatkan karena kebiasaannya
berkotor-kotoran dengan berguling di lumpur. Pernah suatu kali, para
tetangga bertanya pada ibunya “Jemek dimana bu?” Sang ibu tidak paham
siapa Jemek yang dimaksud, tidak tahu bahwa anaknya punya nama baru.
Beranjak dewasa, Jemek mulai berkenalan dengan dunia seni. Semua
berawal ketika Jemek muda di tahun 1970 berjalan-jalan di Malioboro.
Dulu Jalan Malioboro dipenuhi banyak pegiat seni. “Ada banyak sekali
seniman yang sering bercengkerama di Malioboro. Mereka saling bertemu,
ngobrol, dan diskusi,” kenang Jemek. Di sanalah, Jemek mengagumi tokoh
seperti Rendra, Landung Simatupang, Emha Ainun Najib, dan orang-orang
Bengkel Teater.
Mantap memilih dunia seni, Jemek keluar dari Sekolah Menengah Seni
Rupa (setingkat SMA) di tahun 1972. Tidak lama, ia pun bergabung dengan
Teater Alam pimpinan Azwar AN di tahun 1974. Azwar sendiri berasal dari
Bengkel Teater, otomatis Teater Alam adalah salah satu “anak” dari
Bengkel Teater pimpinan Rendra.
Namun seperti halnya saat di sekolah dulu, ia merasa tidak betah
dengan lingkungan kelompok teater ini. Maka, di tahun 1976 ia hijrah ke
Teater Dinasti pimpinan Fajar Suharno.
Namun, Perjalanan Jemek sebagai seniman acap kali tidak mulus, bahkan
dia tidak sepenuhnya berhasil menjadi pemain teater. Jemek kesulitan
menghafal naskah, hal ini lantas kerap menyulitkan lawan mainnya.
Alhasil peran yang ia mainkan hanya tokoh sampingan, bahkan hanya
pekerja belakang panggung. Konon, ia pernah menjadi pemain belakang
panggung bersama Seno Gumira Ajidarma, orang yang akan menjadi cerpenis
terkemuka kelak.
Sadar akan kelemahan ini, Jemek mencari jalan lain untuk
mengekspresikan jiwa seninya. Ia tertarik dengan pantomim, salah satu
cabang dalam dunia teater. Pantomim memungkinkan Jemek untuk berekspresi
dengan gerak tubuh dan mimik wajah, tanpa naskah dialog sama sekali.
Ia pun terinspirasi saat melihat penampilan Marcel Mercau, pemain
pantomim Perancis yang pernah tampil di Yogyakarta. Maka pada tahun
1980, Jemek mantap memilih berpantomim. Di tahun 1981, ia tampil dengan
beberapa penampilan karangannya, seperti Arwah Pak Wangso, Jakarta-Jakarta, Tukang Cukur, dan sebagainya.
Selalu ada makna di tiap penampilan Jemek. Misalnya, dalam penampilan yang berjudul Halusinasi Seorang Pelukis,
Jemek menceritakan tentang istrinya, pelukis bernama Freda Mairayanti.
Seorang pelukis, diceritakan Jemek dalam pertunjukannya, memiliki
imajinasi melebihi orang normal. Pelukis bisa begitu menjiwai karya
lukisannya, bahkan benar-benar mengira lukisannya hidup dan bisa
bergerak. Itulah yang diamati Jemek pada istrinya. Ibu Freda Mairayanti
memiliki imajinasi yang begitu kuat, hingga kadang sering berhalusinasi.
Beda lagi makna yang terkandung dalam Perahu Nuh, salah satu
karyanya yang lain. Dalam lakon ini, ia menceritakan bagaimana suatu
hari dirinya digulung ombak air bah. Ia nyaris tenggelam, dan dari
kejauhan ia lihat bahtera Nabi Nuh menyelamatkan makhluk-makhluk Tuhan.
Ingin ia menggapai perahu itu, tapi tak sampai. Ingin ia ikut bersama
Nabi Nuh menyelamatkan umat, tapi tak sampai.
Di sini ia ingin menyampaikan, bahwa bagaimanapun manusia
bercita-cita, pasti selalu ada batasnya. Perahu Nuh digambarkan sebagai
cita-cita manusia yang tidak selalu bisa digapai. Jemek sendiri memaknai
karya itu sebagai hasrat pribadinya. Nabi Nuh menjadi sosok yang ia
dambakan. Ingin ia menjadi seperti tokoh itu, membantu banyak makhluk
dunia. Tapi apa daya, menjadi nabi adalah mandat yang hanya bisa
diberikan Tuhan, pikirnya.
Jemek tampil tidak hanya di panggung, ia sering berpantomim di
tempat-tempat aneh, di stasiun, di depan Rumah Sakit Jiwa (RSJ), dan
bahkan di kuburan.
Stasiun mungkin biasa, tapi kenapa di RSJ? Tanya saya suatu kali.
“Saya ingin menunjukan bahwa orang sakit jiwa tetaplah manusia. Jangan sampai dianggap hina,” katanya bijak.
Lalu kenapa di kuburan?
“Ya enak, di kuburan itu sepi,” katanya nyeleneh
Penampilan Jemek kadang merupakan sebuah aksi protes. Pada tahun
1997, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) tidak menyertakan pantomim
sebagai rangkaian agendanya. Otomatis ia tidak diundang, tidak pula
pemain pantomim lainnya. Kecewa berat, ia pun menggelar penampilannya
sendiri di Jalan Malioboro. Pertunjukan itu berjudul Pak Jemek Pamit Pensiun. Dengan tegas Jemek menunjukkan kekecewaannya dengan keberadaan pantomim yang tidak dianggap.
Ia berharap ke depannya, FKY ataupun acara budaya lainnya mau memberi
kesempatan bagi pertunjukan pantomim. “Saya ingin pemain pantomim muda
punya ruang untuk tampil. Kalau tidak, siapa yang akan melanjutkan
pantomim di masa depan?” tegasnya.
Terakhir, ada makna yang cukup menarik dari pertunjukkan Jemek yang berjudul Tukang Cukur.
Kali ini, Jemek menceritakan tentang kebosanan yang dialami seorang
pemangkas rambut. Alkisah, seorang tukang cukur jalanan bersedih karena
sepi pelanggan. Ia membuka lapak di bawah pohon, lengkap dengan
perabotan cukurnya.
Berhari-hari tidak ada orang yang datang untuk cukur. Kadangkala ada
yang datang menghampiri, tapi hanya untuk pinjam sisir. Si tukang cukur
pun terus menunggu, namun tetap tidak ada yang datang. Ternyata nasib
yang sama juga dialami temannya yang juga tukang cukur. Karena sama-sama
jenuh, akhirnya mereka berdua sepakat untuk saling mencukur satu sama
lain.
Ironis, nampaknya Jemek bernasib sama seperti tukang cukur yang sepi
pelanggan itu. Undangan untuk memintanya tampil berpantomim tidak pernah
ramai. Begitulah, ia tahu kehidupan seniman memang bukan jalan hidup
yang bergelimang harta. Termasuk teater, yang tidak sepopuler musik,
apalagi pantomim, yang hanya salah satu cabang teater.
Padahal, pantomim menjadi pilihan hidup sekaligus sarana Jemek
mencari nafkah. Sekali tampil ia dibayar lima ratus ribu hingga satu
juta. Bila ramai, Jemek dapat tampil sekali atau dua kali sebulan,
sementara di hari biasa jelas kurang dari itu. “Beberapa bulan tidak
tampil sudah biasa,” ujarnya santai.
Jemek pun sadar, ia butuh uang untuk menghidupi dirinya, istrinya,
dan anak perempuannya. “Tidak perlu munafik. Siapa yang tidak butuh
uang?” katanya ringan. Tapi tentu, profesinya sebagai pemain pantomim
tidak menjanjikan. Beruntung bagi Jemek, di sepanjang jalan Brigjen
Katamso tempatnya tinggal banyak toko peti mati. Keadaan itu
dimanfaatkan Jemek untuk mencari nafkah secara unik.
Jemek sering duduk sendirian tengah malam di depan rumahnya. Bila
beruntung, akan datang orang yang mencari peti mati, padahal toko-toko
telah tutup. Jemek pun datang menawarkan bantuan. Toko-toko yang
dimiliki tetangganya itu lantas ia ketuk satu per satu. Tetangga penjual
peti mati itu pun keluar rumah dan niaga dilakukan. Bila transaksi
berhasil, ia mendapat komisi atas jasanya.
Itulah Jemek, pantomimer yang menyambi jadi makelar peti mati demi menyambung hidup.
Enam puluh tahun umur Jemek Supardi, tiga puluh tiga tahun sudah ia
berpantomim. Ia masih tinggal di rumahnya, bersama istri dan anak
perempuannya. Semangatnya masih menggebu untuk berseni. Sehari-harinya
Jemek memang hanya duduk, memandangi batu pirus, berkutat dengan angka
judi, merokok tanpa henti, dan mempromosikan peti mati. Namun, di
benaknya selalu ada pantomim. Pak Jemek Pamit Pensiun hanyalah
judul dari salah satu pertunjukannya, tidak pernah ia serius untuk
pensiun. Pantomim tidak ia maknai secara istimewa, hanya jalan hidup
biasa yang ia sukai. “Saya sekedar suka pantomim. Karena suka dari hati,
ya saya jadikan jalan hidup,” pungkasnya mantap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar