Terlahir dari orang tua Guno Wasito dan Sinah, pada 67 tahun yang lalu di desa Bagelen, Kebumen. dia anak bungsu dari 3 bersaudara.Menikah sudah tiga kali, dan dikarunia anak dari ketiga istrinya tersebut sebanyak 14 anak. Ki Timbul memang berasal dari keluarga dalang. Ibunya adalah anak seorang dalang Ki Proyo Wasito yang memiliki adik perempuan Tini; dan bu Tini melahirkan dalang tersohor Ki Hadi Sugito dari Kulon Progo. Dalam lingkungan keluarga dalang seperti itulah yang ahkirnya memupuk pertumbuhannya sedari dia masih bocah.
Walaupun Ki Timbul dibesarkan dalam lingkungan keluarga dalang tetapi dia merasa bahwa belum cukup kalau mendalang hanya berdasarkan pada warisan keluarga saja, maka diapun mengikuti sekolah dalang di Kraton Yogyakarta (Habiranda). Tetapi dia tidak smapia selesai dan hanya berjalan selama dua tahun saja, hal itu disebabkan karena tanggapan-demi tanggapan datang silih berganti. Walaupun begitu ia masih tetap menghargai peran dan fungsi literatur-literatur yang menyangkut dunia pedalangan. Bahkan di usia yang sudah senja ini sampai sekarang masih mempelajari dan membaca buku-buku literatur untuk memperkaya pengetahuan dan mengasah kemampuannya. Hal ini ia lakukan karena dia menganggap bahwa kalau hanya mengandalkan dari bakat alam saja maka lama kelamaan akan kering dan tidak berkembang, padahal perubahan dan perkembangan dalam m,asyarakat peminat wayang kulit begitu pesatnya.
Dengan mengikuti perkembangan pada masyarakat dan terus belajar dari literatur-literatur yang ada, Ki Timbul ahkirnya berani mengangkat lakon langka yang dikenal dengan lakon-lakon Banjaran. Tanpa kemauan belajar dan menguasai lakon dengan sungguh-sungguh sulit bagi dalang untuk dapat menguasai dan mengangkat lakon banjaran tersebut. Karena lakon Banjaran tersebut tidak ada dalam literatur-literatur wayang. Jarang dalang-dalang sanggup mengangkat lakon tersebut apalagi dapat mengangkat dengan baik seperti yang dilakukan oleh Ki Timbul Hadiprayitno. Lakon-lakon banjaran yang pernah diangkat oeh Ki Timbul sudah banyak diantaranya adalah Banjaran Sengkuni, Dorna, Gatotkaca, Kresna, Werkudara, maupun Karno. Dia memberikan sran kepada sesama rekan dalang kalau hendak mengangkat lakon Banjaran hendaklah menggunakan versi Mahabarata, kalau hanya menggunakan versi dalang saja maka tidak mungkin terjadi karena versi dalang perkembangngannya sudah demikian luas dan sudah sulit untuk melacaknya.
Karena seringnya melakonkan Banjaran, maka banyak pihak yang ahkirnya meminta dia melakukan ruwatan. Hal ini merupakan suatu tantangan baru bagi Ki Timbul. Walaupun ia pernah melakukan ruwatan selama beberapa kali pada awal tahun 1970-an, namun ia belum merasa sreg dan mapan, karena merasa ada sesuatu yang kurang. Untuk melengkapi hal yang ia anggap kurang dalam melakukan ruwatan dia bertapa brata di gua Langse, Parangtritis dan juga berpuasa ngebleng (tidak makan dan tidak minum) selama tiga hari tiga malam. Di dalam gua tersebut dia menyalin (“mutrani” alias “tedhak sungging”) sebuah buku Ruwatan aslinya diterangi sebuah lilin, dia menulis menggunakan pena dan tinta dari botol. Proses semedi dan laku puasa yang dia lakukan adalah sebuah upaya dari Ki Timbul untuk memperoleh sebuah mantram batin yang harus dimiliki oleh seorang dalang ruwatan.
Ketika ia meruwat anak sukerto seorang dalang memberikan wejangan kepada Bethara Kala, berupa ucapan mantram batin dan mantram lisan. Untuk mantram lisan dapat diperoleh dari buku Ruwatan hasil salinannya, tetapi untuk mantram batin harus sudah hafal dengan sendirinya dan sudah menyatu dalam diri pribadi si dalang. Lakon ruwatan merupakan lakon asli dari Jawa, bukan dari Mahabarata atau ramayana, karena lakon ruwatan tersebut merupakan hasil dari suatu pemahaman kulture religius dalam suatu ritus kejawen. Ki Timbul setiap kali diminta untuk meruwat, dia akan tetap mempersiapkan batin dengan bertapa brata, dia tidak akan peduli dengan motivasi ganda dari ruwatan tersebut, yaitu ada yang sebagian orang yang menganggap dan percaya bahwa anak sukerto wajib diruwat, sedangkan ada sebagian orang yang hanya menganggap bahwa ruwatan hanya untuk mengangkat setatus sosialnya. Dalam bertapa brata dia melakukan puasa tidak makan nasi dan garam, hanya memakan buah-buahan seadanya selama tiga hari tiga malam. Ki Timbul tetap konsisten pada prinsipnya, dan tidak goyah serta waton, karena dia menganggap melaksanakan tugas spiritual yang dibebankan padanya atas dasar kepercayaan penuh. Sebagai contoh ketika dia mendapat kontrak rekaman dalam bentuk kaset, dia tetap berpakaian jawa komplit dengan kerisnya, dan lengkap dengan blencong yang menyinari kelir. Inilah sikap yang selalu dipegang oleh Ki Timbul dalam melihat bahwa lakon-lakon yang dimainkan oleh dalang adalah suatu penggambaran dalam kehidupan dalam masyarakat, dan sepantasnya tidak dilakukan dengan sembarangan/sembrono.Dia tidak melihat bahwa lakon yang dia mainkan untuk keperluan apa, tetapi dia memandang bahwa semua lakon memiliki nilai yang sakral jadi harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Namun Ki Timbul juga menyadari bahwa sudah terjadi suatu perubahan orientasi nilai dalam era urbanisme zaman sekarang, yang ahkirnya berdampak pada kehidupan wayang. Dia tidak larut dalam perubahan zaman tersebut tetapi dia menyikapinya dengan tetap menjalankan dan melakukan lakon-lakon Banjaran dan ruwatan. Karena anggapan dari Ki Tibul sendiri mengatakan kalau para dalang tidak ada yang berani untuk menyikapi perubahan jaman tersebut, dan justru para dalang tersebut ikut larut dalam perkembangan zaman maka kemungkinan besar seni wayang yang adiluhung tersebut akan semakin ditinggalkan oleh para penggemarnya.
Akhirnya Ki Timbul dikenal sebagai dalang wayang kulit yang sanggup menggelarkan lakon-lakon serius dengan bagus, tetapi tidak menolak menggelarkan lakon-lakon carangan, dan dia juga terkenal sebagai dalang ruwatan, yang langsung berhubungan dengan keselamatan anggota masyarakat Jawa melalui medium wayang kulit.
Ki Timbul Hadiprayitno sebagai seniman mumpuni pada waktu menggelarkan wayang purwa, sebagai “Tabib” yang menyehatkan dan menyelamatkan nasib buntu anak sukerto ketika berperan sebagai dalang Kanda Buwana, sekaligus sebagai cendekiawan lokal dalam komunitas jawa yang mengerti masalah aktual serta menjadi saksi intuitif terhadap proses pergeseran budaya. (https://tanahmemerah.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar