Menurut banyak pengamat dan ahli sejarah, permainan kartu, dadi koprok, rolet, dan sejenisnya yang kebanyakannya kemudian dikategorikan sebagai permainan yang sarat unsure perjudian dibawa oleh orang-orang Tionghoa yang masuk ke Nusantara sejak berabad-abad yang lampau. Tidak aneh jika kemudian permainan yang cukup mengasyikkan ini marak di bumi Jawa. Pada masa lalu hal demikian ini akan sangat mudah ditemukan di seputaran pabrik gula yang hampir selalu mengadakan pasar malam menjelang giling tebu. Dapat juga ditemukan di tempat-tempat orang hajatan. Umumnya orang-orang hajatan menyediakan tempat untuk kegiatan permainan (judi) tersebut. Hajatan atau perhelatan tanpa hal demikian di masa lalu dianggap sebagai tidak meriah, tidak gayeng, dan bahkan tidak bergengsi.
Hal demikian bahkan sampai menimbulkan memunculkan anggapan bahwa seorang laki-laki yang tidak bisa bermain kartu atau judi dianggap bukan laki-laki sejati alias tidak jantan. Laki-laki yang tidak pernah menyentuh kartu dianggap anak mama, manja, kolokan, bahkan banci. Hal demikian mungkin mirip dengan anggapan di masa yang lebih kemudian di mana laki-laki yang tidak merokok dianggap banci. Pun juga ada anggapan bahwa laki-laki yang tidak pernah mencicip minuman keras dianggap banci.
Permainan apa pun bentuknya selalu menimbulkan keasyikan, kesenangan, atau kegembiraan. Hal-hal semacam itu jika tidak dikendalikan selalu saja dengan mudah menimbulkan rasa ketagihan, nyandu. Bahkan juga menjadi semacam hobi.
Tampaknya manusia memang tidak bisa jauh-jauh dari urusan permainan. Bahkan juga urusan spekulasi yang pada titik-titik tertentu sifatnya sama dengan judi atau gambling. Ketegangan bergambling mungkin menjadi hal yang membuat orang menjadi kecanduan. Faktor ketegangan yang memicu adrenalin menjadi hal yang mungkin dibutuhkan sepanjang hidup manusia. Tidak mengherankan jika permainan apa pun lebih-lebih yang memiliki anasir ketegangan hampir selalu disukai sepanjang masa.
Permainan kartu dalam berbagai ragamnya hingga kini juga tetap digemari. Baik secara terang-terangan maupun tertutup permainan semacam ini tampaknya terus diselenggarakan. Entah berunsur judi atau tidak, permainan ini tetap digemari.
Berikut ini adalah foto dari sekelompok orang (Jawa) yang tengah asyik bermain kartu. Anehnya, komposisi dari objek foto itu kelihatan kurang nyambung. Pasalnya di samping sekelompok orang yang asyik bermain kartu itu terdapat seorang pria yang tengah ”serius” mengecat (menggarap) kerajinan topeng. Tampak sekali bahwa foto ini memang diatur oleh fotografernya. Kemungkinan besar foto ini dibuat di dalam studio.
Lepas dari itu semua foto ini menunjukkan gambaran laki-laki Jawa yang tengah bermain kartu. Selain itu juga menggambarkan bagaimana profil pria Jawa masa itu yang hampir selalu mengenakan ikat kepala (iket/destar), hampir selalu bertelanjang dada, berkain jarit, dan mengenakan sabuk besar yang sering juga berfungsi ganda sebagai dompet (tempat menyimpan uang). Meskipun demikian baju yang disebut surjan kala itu juga lazim dikenakan (khususnya untuk wilayah kerajaan Yogyakarta).
Foto yang ditampilkan ini merupakan hasil bidikanTembipada Pameran Foto Dokumentasi yang diselenggarakan Bentara Budaya Yogyakarta, 17-28 Januari 2012. Foto yang dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta tersebut diambilkan dari ”Souvenir Album Midden Java” yang diterbitkan oleh N.V. nhn. Buning, Djocjakarta. Foto-foto dalam album tersebut diperkirakan dicetak di Haarlem tahun 1920.
Perhatikan ekspresi keasyikan orang-orang yang tengah bermain kartu tersebut. Barangkali Anda sendiri pernah mengalaminya, pernah melihatnya, atau mungkin sama sekali tidak pernah tahu akan hal yang demikian. (http://arsip.tembi.net)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar