Tenggarong adalah ibu kota Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur, Indonesia. Pada mulanya, kota Tenggarong
merupakan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara bernama Tepian Pandan. Namun,
oleh Sultan Kutai, Aji Muhammad Muslihuddin (Aji Imbut), nama Tepian Pandan
diubah menjadi Tangga Arung yang berarti rumah raja. Kemudian dalam
perkembangannya, Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong sampai
saat ini. Di daerah ini telah berkembang sebuah cerita legenda yang sangat
populer yaitu Asal-Mula Erau. Cerita legenda ini mengambil latar belakang
cerita di masa Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura (abad ke-13 M.) yang
berdiri di Tepian Batu atau Kutai Lama. Cerita legenda ini terpusat pada kisah
seorang laki-laki bernama Aji Batara Agung Dewa Sakti, seorang dari keturunan Dewa
yang memiliki wajah sangat tampan, sehat dan cerdas. Ia tumbuh dan berkembang
di lingkungan suku-bangsa Tenggarong Kutai. Sebagai keturunan Dewa, ia tidak
boleh diperlakukan seperti halnya seorang anak manusia biasa. Oleh karena itu,
sejak kecil ia dirawat dan dibesarkan dengan baik dan hati-hati oleh keluarga
Petinggi Dusun Jaitan Layar. Pada waktu-waktu tertentu, keluarga Petinggi Dusun
Jaitan Layar harus mengadakan upacara adat untuk Aji Batara Dewa Sakti yang
dikenal dengan Erau[1].
Alkisah, di lereng sebuah gunung di daerah Kalimantan
Timur terdapat sebuah dusun bernama Jaitan Layar. Di dusun itu tinggal seorang
Petinggi bersama istrinya. Meski sudah menikah puluhan tahun, mereka belum
dikaruniai seorang anak pun. Namun demikian, suami-istri itu tak pernah putus
asa. Mereka senantiasa pergi bertapa, menjauhi kerabat dan rakyatnya untuk
memohon pada Dewata agar diberi keturunan.
Pada suatu malam, ketika mereka sedang tertidur
nyenyak, tiba-tiba dikejutkan oleh suara gemuruh di halaman rumahnya. Malam
yang semula gelap gulita tiba-tiba berubah menjadi terang benderang, kejadian
itu membuat mereka sangat heran. “Pak, coba lihat apa yang terjadi di luar,”
kata sang istri.
Dengan memberanikan diri Petinggi Dusun Jaitan Layar
keluar dari rumahnya. Ia sangat terkejut melihat sebuah batu raga mas berada di
halaman rumahnya. Di dalamnya terbaring seorang bayi laki-laki yang masih merah
berselimutkan kain berwarna emas. Tangan kanan bayi itu menggenggam sebutir
telur ayam dan tangan kirinya memegang sebilah keris emas.
Petinggi Dusun itu semakin terkejut ketika tiba-tiba
di hadapannya berdiri tujuh dewa. Satu dari tujuh dewa itu berkata, “Berterima
kasihlah kamu, karena doamu telah dikabulkan oleh para Dewa.”
Kemudian Dewa itu berpesan kepada Petinggi Jaitan
Layar, ”Ketahuilah bayi ini keturunan para Dewa di Kahyangan. Oleh karena itu
kamu tidak boleh menyia-nyiakannya. Cara merawatnya berbeda dengan merawat anak
manusia. Bayi ini tidak boleh diletakkan sembarangan di atas tikar, akan tetapi
selama empat puluh hari empat puluh malam harus dipangku secara bergantian oleh
kaum kerabat sang Petinggi. Jika kamu ingin memandikan bayi ini, jangan
menggunakan air biasa, tetapi harus dengan air yang diberi bunga-bungaan.”
Dewa itu juga berpesan kepada sang Petinggi, “Jika
bayi ini sudah besar tidak boleh menginjak tanah sebelum diadakan Erau. Pada
upacara Tijak Tanah (Menginjak Tanah), kaki anak ini harus diinjakkan pada
kepala manusia yang masih hidup dan kepala manusia yang sudah mati. Selain itu,
kaki anak ini juga harus diinjakkan pada kepala kerbau yang masih hidup dan
kepala kerbau yang sudah mati. Begitu pula jika anakmu hendak mandi di sungai
untuk pertama kali, hendaknya kau harus mengadakan Erau Mandi ke Tepian
sebagaimana pada upacara Tijak Tanah.”
Bukan main senangnya Petinggi Jaitan Layar mendapatkan
anak keturunan para Dewa. “Terima kasih Dewa. Semua perintah Dewa akan hamba
laksanakan,” kata sang Petinggi sambil menyembah.
Saat itu pula, tiba-tiba ketujuh Dewa tersebut
menghilang dari hadapan sang Petinggi. Bayi itu pun segera dibawa oleh sang
Petinggi masuk ke dalam rumah. Lalu, sang Petinggi menceritakan kejadian yang
baru saja ia alami kepada istrinya. Bukan main senangnya istri sang Petinggi
mendengar cerita suaminya, apalagi setelah ia melihat bayi itu. Ia bagaikan
bulan purnama, wajahnya tampan tiada banding, tubuhnya sehat dan segar, siapa
pun memandangnya akan bangkit kasih sayang terhadapnya.
Beberapa saat kemudian bayi itu tiba-tiba menangis.
Sepertinya bayi itu sedang kelaparan. Sang Petinggi pun menjadi bingung, karena
payudara istrinya tidak dapat mengeluarkan air susu. Apa lagi yang bisa
diharapkan dari seorang perempuan tua seperti istrinya untuk menyusui seorang
anak. Akhirnya, sang Petinggi membakar dupa dan setanggi. Lalu, sambil menghambur
beras kuning, ia memanjatkan doa kepada para Dewa agar memberikan karunia
kepada istrinya berupa air susu yang harum baunya. Tak lama setelah berdoa,
terdengarlah suara dari Kahyangan, “Hai Nyai Jaitan Layar, usap-usaplah
payudaramu dengan tangan berulang-ulang sampai terpancar air susu darinya”.
Mendengar perintah itu, istri Petinggi Jaitan Layar
segera mengusap-usap payudaranya sebelah kanan sebanyak tiga kali. Tiba-tiba,
mencuratlah dengan derasnya air susu dari payudaranya yang sangat harum baunya
seperti bau ambar dan kasturi. Bayi itupun mulai menyusu pada istri Petinggi.
Kedua suami-istri itu sangat bahagia melihat bayi keturunan Dewa itu telah
mendapatkan air susu.
Setiap hari, sang Petinggi dan istrinya merawat anak
mereka dengan baik. Sesuai perintah Dewa, mereka senantiasa memandikan bayi itu
dengan air yang diberi bunga-bungaan. Tiga hari tiga malam kemudian, putuslah
tali pusar bayi itu. Seluruh penduduk dusun Jaitan Layar bergembira. Mereka
merayakannya dengan menembakkan Meriam Sapu Jagat sebanyak tujuh kali. Empat
puluh hari empat puluh malam bayi itu dipangku penduduk secara bergantian dan
berhati-hati. Sesuai petunjuk Dewa dalam mimpi Petinggi, bayi laki-laki itu
diberi nama Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Waktu terus berlalu. Kini Aji Batara Agung Dewa Sakti
telah berumur lima tahun. Anak seusia Aji tentu sangat ingin bermain di luar
rumah bersama teman-teman sebayanya. Ia juga ingin mandi di sungai seperti
anak-anak lain. Ia sudah sangat bosan dan jenuh dikurung di dalam rumah.
Sang Petinggi teringat dengan pesan Dewa ketika
menerima anak itu. Maka ia dan istrinya bersama seluruh penduduk Dusun Jaitan
Layar mempersiapkan Erau. Dalam pesta Erau itu digelar upacara Tijak Tanah dan
Mandi ke Tepian. Upacara Erau berlangsung sangat meriah selama empat puluh hari
empat puluh malam. Sesuai petunjuk Dewa, Petinggi menyembeli bermacam-macam
binatang dan beberapa orang untuk diinjak kepalanya oleh Aji Batara Agung pada
upacara Tijak Tanah.
Dalam upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian, Aji
Batara Agung diarak dan kemudian kakinya dipijakkan pada kepala-kepala binatang
dan manusia yang telah diselimuti kain kuning. Kemudian Aji Batara Agung
diselimuti dengan kain kuning, lalu diarak ke tepian sungai. Di tepi sungai, Aji
Batara Agung dimandikan, kakinya dipijakkan pada besi dan batu. Semua penduduk
Jaitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria, baik orang tua
maupun orang muda. Setelah selesai upacara mandi, maka khalayak mengarak
kembali Aji Batara Agung ke rumah orang tuanya, lalu memberinya pakaian
kebesaran. Setelah itu mereka mengarak kembali Aji Batara Agung ke halaman
dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu gamelan Gajah Perwata dan
bunyi meriam Sapu Jagat.
Sesaat kemudian, tiba-tiba dentuman suara guntur yang
sangat dahsyat menggoncang bumi disertai dengan hujan panas turun merintik.
Kejadian itu tidak berlangsung lama. Cahaya cerah kembali menerangi alam, awan
di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk yang sedang mengadakan
upacara di bumi. Penduduk Jaitan Layar kemudian menghamparkan permadani dan
kasur agung, lalu membaringkan Aji Batara Agung di atasnya. Gigi Aji Batara
Agung pun diasah kemudian diberi makan sirih.
Selesai upacara tersebut, pesta Erau pun dimulai. Berbagai
makanan dan minuman disediakan untuk penduduk. Bermacam-macam permainan
dipertunjukkan. Laki-laki dan perempuan menari silih berganti. Juga tidak
ketinggalan diadakan adu binatang. Keramaian ini berlangsung selama tujuh hari
tujuh malam dengan tidak putus-putusnya.
Setelah pesta Erau selesai, semua bekas balai-balai
yang digunakan dalam pesta ini dibagi-bagikan oleh Petinggi kepada penduduk
yang melarat. Demikian pula, semua hiasan-hiasan rumah oleh istri Petinggi
diberikan kepada penduduk.
Para undangan dari berbagai negeri dan dusun,
berpamitan kepada Petinggi dan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka memuji-muji
Aji Batara Agung dengan berkata, "Tiada siapa pun yang dapat menyamainya,
baik rupanya yang tampan maupun sikapnya yang berwibawa. Patutlah dia anak dari
batara Dewa-Dewa di khayangan." Setelah berpamitan, para undangan kembali
ke negeri dan dusunnya masing-masing untuk mencari nafkah sehari-sehari.
Sementara itu, Aji Batara Agung Dewa Sakti makin hari
makin dewasa. Ia tumbuh menjadi remaja yang gagah, tampan, cerdas dan
berwibawa. Ia kelak akan menjadi Raja pertama dari kerajaan Kutai Kartanegara.
Setelah mencapai usia dewasa, tibalah saatnya Aji Batara Agung Dewa Sakti
diangkat menjadi raja Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura yang pertama
(1300-1325). Saat ia diangkat menjadi raja, Erau kembali diadakan dengan
meriah. Sebagai raja pertama, maka Aji Batara Agung Dewa Sakti dianggap sebagai
nenek moyang raja-raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura.
Setelah menjadi raja, Aji Batara Agun Dewa Sakti
menikah dengan seorang putri yang cantik jelita bernama Putri Karang Melenu.
Konon ceritanya, Putri Karang Melenu juga merupakan titisan Dewa dari
Kahyangan. Awalnya, ia adalah ulat kecil yang ditemukan oleh seorang Petinggi
Hulu Dusun di daerah kampung Melanti dekat Aliran Sungai Mahakam. Pada suatu
hari, ketika Petinggi Hulu Dusun sedang membelah kayu bakar, tiba-tiba ia
dikejutkan oleh seekor ulat kecil. Ulat kecil itu melingkar di belahan kayu dan memandangnya
dengan mata yang sayu, seakan minta dikasihani. Dengan lembut sang Petinggi
mengambil ulat itu untuk dipelihara.
Waktu terus berlalu. Ulat kecil itu tumbuh semakin
besar. Lama-kelamaan binatang itu berubah menjadi seekor naga yang besar.
Meskipun besar dan menyeramkan, naga itu jinak dan tak pernah keluar dari
rumah. Pada suatu malam Petinggi bermimpi bertemu seorang putri yang cantik
jelita. Dalam mimpinya, sang Putri berkata, “Ayah dan Bunda tidak usah takut
kepada ananda, meski tubuh ananda besar dan menakutkan. Izinkanlah ananda untuk
pergi dari sini. Buatkanlah ananda sebuah tangga untuk merayap ke bawah”.
Ketika terbangun, sang Petinggi menceritakan mimpinya kepada Istrinya, Babu
Jaruma.
Keesokan harinya, sang Petinggi pun sibuk membuat
tangga dari kayu lampong. Anak tangganya terbuat dari bambu yang diikat dengan
akar lembiding. Selesai membuat tangga, tiba-tiba Petinggi mendengar suara sang
Putri yang menemuinya dalam mimpi. “Bila ananda telah turun ke tanah, ananda
minta Ayahanda dan Bunda menigkuti ananda ke mana saja ananda merayap. Ananda
juga minta agar Ayahanda membakar wijen hitam serta menaburi ananda dengan
beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan menyelam, ananda mohon
Ayahanda dan Bunda mengiringi buihku.” Sang Naga pun kemudian menuruni tangga,
lalu merayap meninggalkan rumah. Sang Petinggi dan istrinya mengikuti naga itu
sesuai dengan petunjuk sang Putri.
Ketika sang Naga sampai di sungai, ia berenang tujuh
kali berturut-turut ke hulu dan tujuh kali ke hilir. Kemudian dia berenang ke
Tepian Batu. Petinggi dan istrinya mengikuti sang Naga dengan perahu. Di Tepian
Batu, sang Naga berenang ke kiri tiga kali dan ke kanan tiga kali kemudian
menyelam. Pada saat menyelam, tiba-tiba terjadilah peristiwa yang sangat
dahsyat. Air sungai pun bergolak. Angin topan bertiup dengan kencang. Hujan
deras turun disertai guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang ditumpangi
Petinggi dan istrinya terombang-ambing oleh gelombang air sungai. Dengan susah
payah Petinggi berusaha mengayuh perahunya ke tepi.
Tak lama peristiwa itu berlangsung, tiba-tiba cuaca
kembali terang. Petinggi dan istrinya heran. Ke mana perginya sang Naga?
Tiba-tiba mereka melihat suatu pemandangan yang menakjubkan. Air Sungai Mahakam
dipenuhi dengan buih. Warna-warni sinar pelangi menerpa buih hingga bercahaya
kemilau. Petinggi dan istrinya mendekat. Mereka terkejut karena ditumpukan buih
itu terdapat sebuah gong besar dan di dalamnya ada sebuah benda. Entahlah,
benda apa itu? Petinggi dan istrinya semakin penasaran. Petinggi bergegas
mengayuh perahunya ke arah benda itu. “Lihat Pak! Sepertinya benda itu seorang
bayi,” seru istri Petinggi sambil menunjuk ke arah gong itu. Ternyata benar,
benda di dalam gong itu adalah seorang bayi perempuan. Kemudian mereka pun
mengambil gong berisi bayi itu dan membawanya pulang.
Sang Petinggi dan istrinya merawat bayi itu dengan
baik seperti anak kandungnya sendiri. Mereka sangat senang sekali mendapatkan
anak dari Kahyangan. Setelah genap tiga hari, putuslah tali pusar bayi itu.
Sesuai perintah Dewa di dalam mimpi Petinggi, bayi perempuan itu diberi nama
Putri Karang Melenu.
Waktu terus berjalan, Putri Karang Melanu tumbuh
menjadi seorang gadis yang cantik jelita, baik budi, dan pintar. Setelah
dewasa, Dewata pun mempertemukannya dengan Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Keduanya lalu menikah. Sang Putri pun menjadi permaisuri Raja Kutai Kartanegara
Ing Marta Dipura I dan melahirkan seorang putra bernama Aji Batara Agung Paduka
Nira.
Demikianlah kisah perjalanan hidup Raja Aji Batara
Agung Dewa Sakti dengan permaisurinya Putri Karang Melanu mulai kecil hingga
akhirnya mereka menikah. Sejak Aji Batara Agung Dewa Sakti menjadi Raja Kutai
Kartanegara, Erau diadakan pada setiap pergantian atau penobatan raja-raja
Kutai Kartanegara. Untuk mengenang kembali peristiwa kehadiran Putri Karang
Melanu, diadakan pula upacara Mengulur Naga. Upacara ini merupakan puncak acara
pada Erau yang hampir setiap tahunnya diselenggarakan oleh masyarakat Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur. Selain Mengulur Naga, masyarakat Kutai Kartanegara
mengenang Putri Karang Melanu dengan membangun sebuah gedung pertunjukkan pada
tahun 2003 yang diberi nama Putri Karang Melanu.
Pada masa kerajaan Kutai Kartanegara, Erau
diselenggarakan oleh kerabat istana dengan mengundang pemuka masyarakat yang setia
kepada raja. Waktu penyelenggaraan Festival Erau tergantung pada kemampuan
kerajaan, minimal tujuh hari delapan malam dan maksimal empat puluh hari empat
puluh malam. Namun, sejak masa kerajaan Kutai Kartanegara berakhir tahun 1960,
pelaksanaan Erau sempat mandek selama beberapa tahun. Baru pada tahun 1971,
Erau (yang kemudian populer dengan sebutan Festival Erau) ini kembali
dilaksanakan atas prakarsa Bupati Kutai, Achmad Dahlan, dengan merangkaikan
perayaan hari jadi Kota Tenggarong. Sejak itulah, Festival Erau menjadi agenda
rutin pemerintah Kutai Kartanegara dalam rangka memperingati hari jadi Kota
Tenggarong. Oleh karena itu, setiap perayaan hari jadi Kota Tenggarong selalu
dirangkaikan dengan Festival Erau dan berbagai festival lainnya. Pada tanggal
28 September 2003, perayaan hari jadi Kota Tenggarong ke-221 dirangkaian dengan
penyelenggaraan Festival Erau dan Zapin International Festival.
Dalam Festival Erau, berbagai macam seni dan olahraga
tradisional yang mereka tampilkan, di antaranya Menjamu Benua, Merangin Malam,
Mendirikan Tiang Ayu, Upacara Penabalan, Pelas (Pagelaran Kesenian Keraton
Kutai Kartanegara), Seluak Mudik, Mengulur Naga, dan diakhiri dengan Belibur.
Selain itu, dalam festival itu juga ditampilkan berbagai kesenian Dayak seperti
Papaer Maper, Kuangkay, Mumutn, Ngayau, Lemakan Balei, Uman Undad, Pasek Truit,
Erau Anak (Penhos). Tak ketinggalan pula keseniaan daerah pesisir (kesenian
Melayu) seperti Tarsul dan Badendang. Untuk lebih meramaikan Festival Erau,
biasanya diadakan penyalaan kembang api raksasa di Pulau Kumala pada malam
hari. Ratusan ribu orang menyaksikan indahnya warna-warni menghiasi langit dari
tepian Sungai Mahakam.
Saat ini, penyelenggaraan Festival Erau oleh
masyarakat Tenggarong tidak sekedar untuk melestarikan nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia, akan tetapi juga untuk memperkenalkan potensi wisata Kutai
Kartanegara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bupati Kutai Kartanegera,
Syaukani, Festival Erau merupakan wujud rasa syukur masyarakat Kutai
Kartanegara dan pemerintah daerah dalam melakukan kegiatan pembangunan.
Pelaksanaan Erau diharapkan dapat menjadi upaya positif untuk menjual dan
memperkenalkan potensi wisata Kutai Kartanegara. Festival Erau selalu
dinanti-nanti oleh masyarakat Kutai Kartanegara setiap tahun, karena memang
sudah masuk dalam kalender wisata nasional. Festival Erau ini merupakan sebuah
peristiwa yang telah menjadi kebanggaan masyarakat Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur, Indonesia. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar