Di tengah rimba belantara Kalimantan Tengah, hidup berbagai
macam satwa dengan ukuran yang sangat besar. Banyak keajaiban dan peninggalan
alam yang mempunyai kenangan dan ceritanya sangat dihayati oleh masyarakat
sekitarnya. Di perairan sungai Seruyan konon terdapat batu bersusun seperti
bukit kecil di tengah sungai dan agak ke hilirnya ada batu yang seperti sengaja
disisihkan ke pinggir sungai dengan rapi atau dipapar sehingga hanya cukup
untuk lewat kapal kecil atau klotok dan juga di ujungnya ada batu seperti bubu
(tampirai, alat penangkap ikan) yang disebut takalak karena saking besarnya.
Menurut legenda masyarakat memang benar dahulu jenis satwa memiliki ukuran sangat besar dan masing-masing binatang itu ingin mempunyai daerah wilayah kekuasaan tertentu, tempat jenisnya hidup dan berkembang biak. Adalah orang hutan yang menguasai rimba belantara dan buaya yang menguasai perairan dan sungai.
Pada suatu hari orang hutan yang mempunyai anak, ingin turun ke air untuk minum karena kehausan, sebab sudah beberapa waktu tidak ada hujan turun hingga di hutan airnya kering. Setiba di sungai minumlah mereka bertiga, induk orang hutan, orang hutan jantan ayahnya dan anaknya sepuas hati.
Karena tempat mereka bertiga minum cukup dalam dan banyak ikan berkumpul, sehingga timbullah keinginan mereka mengambil ikan meskipun mereka tahu di situ adalah wilayah kekuasaan buaya. Maka turunlah kedua orang hutan tersebut ke air menangkap ikan. Mengingat anaknya yang kecil belum bisa berenang dan membantu, maka didudukkannyalah anaknya di atas batu di tepi sungai.
Karena asyiknya menangkap ikan dan sambil memakannya, setelah merasa kenyang dan tangkapan banyak barulah naik ke atas. Ketika melihat di atas batu anaknya yang menunggu sambil bermain tidak ada, sementara untuk naik sendiri ke atas tebing tidak mungkin, tahulah mereka bahwa anaknya pasti diambil dan ditelan oleh buaya.
Mereka berdua pun segera mencari buaya dengan menyelam ke dalam air namun tetap tidak bertemu, lalu mereka berdua mengangkat batu-batu di dasar sungai dan menumpuknya. Karena mereka berpikir buaya bersembunyi di balik batu, tetapi nyatanya tidak ketemu juga meski batuan sudah habis terangkat bertumpuk tinggi di permukaan air.
Mereka berdua hampir putus asa karena tidak menemukan buaya, namun sang orang hutan jantan segera mendapat akal agar dapat menemukan sang buaya.
Maka disuruhnyalah orang hutan betina ke hulu menutup sungai tetapi dibuka sedikit dan dipasangi takalak, sementara sang orang hutan jantan berlari cepat ke hilir selanjutnya dari hilir sang orang hutan jantan mengangkat menyisihkan batu ke pinggir sungai sambil terus maju ke arah hulu.
Betul seperti apa yang direncanakan sang orang hutan jantan, rupanya sang buaya berada di tengahnya bersembunyi, karena sang orang hutan jantan terus maju ke hulu, sementara tempat bersembunyi tidak ada karena batu-batu habis diangkat ke tepi.
Sang buaya pun terus mundur ke hulu dengan cepat karena berharap bisa lolos dan meski di hulu ada orang hutan betina yang menjaga sang buaya yakin mampu mengatasi dan mengalahkannya.
Perhitungan sang buaya salah, ternyata di hulu telah dibendung dan telah dipasang takalak agar bila sang buaya menerobos maka akan terperangkap masuk.
Sementara jarak semakin dekat dengan sang orang hutan jantan tapi bila terus ke hulu melewati takalak akan terperangkap. Sang buaya memilih jalan satu-satunya yaitu menghadapi sang orang hutan jantan sembari mengharap keberuntungan bisa mengalahkannya.
Akhirnya sang buaya menampakkan diri dengan mengangakan mulut memperlihatkan giginya yang tajam dan runcing langsung menyerang sang orang hutan jantan. Dengan tubuh yang kekar dan tegap begitu sang buaya menerkamnya, penuh percaya diri sang orang hutan jantan menangkap kedua moncong buaya dan terjadilah pergumulan beberapa saat di air.
Sang buaya kewalahan karena punggungnya diduduki sang orang hutan jantan sementara ekornya dijepit menggunakan kaki, maka dengan sekuat tenaga sang orang hutan jantan membuka lebar-lebar mulut buaya hingga robek sampai ke perutnya, terlihatlah anaknya pingsan dengan ada luka kena taring buaya, lalu sang orang hutan betina mengambil anaknya.
Sejurus kemudian sang orang hutan jantan sambil menumpahkan amarahnya, menarik lidah buaya sembari mengutuknya tidak akan ada lagi buaya punya lidah dan sebagai peringatan bahwa buaya tidak boleh memangsa orang hutan. Lidah buaya itu kemudian dibuangnya ke atas tebing sungai (daratan), itulah asal muasal tanaman lidah buaya yang tumbuh hingga sekarang ini.
Sampai sekarang Batu Papar Takalak masih ada, setiap orang yang mudik ke hulu sungai Seruyan melewati air akan melihat batu tersusun di pinggir kanan sungai dan sedikit ke hulunya ada tumpukan batu agak membukit di tengah sungai.
Apabila musim kemarau maka setiap perahu atau klotok yang mudik akan kesulitan melewati Batu Papar Takalak bahkan kadang perahunya yang diangkat. Tempatnya di riam Gading, hilir desa Panyumpa, termasuk wilayah kecamatan Seruyan Tengah kabupaten Seruyan.
(sumber: TuaGila kaskus Reg. Leader Kal Teng)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar