Jumat, 01 Mei 2015

Tienuk Riefki

PERJALANAN PANJANG SANG MAESTRO RIAS TRADISI


Ketika kita bisa mengerti hikmah di balik segala apa yang tengah kita alami, sejatinya kita akan mampu menikmati apa yang kita hadapi. Betapa pun itu mungkin akan menerbitkan lara ataupun tawa.
Menapaki dunia rias pengantin lebih kurang 40 tahun, tentu bukan sebuah perjalanan singkat. Dan hal itu tidaklah semudah seperti membalikan telapak tangan. Duka lara, tawa bahagia menjadi bumbunya. Rangkaian emosi itu menempa Tienuk Riefki hingga menjadi seperti sekarang ini. Ia sungguh mengarungi samudera pahit getir itu dengan tabah dan legowo. Mulai dari mengikuti serangkaian kursus keterampilan, kemudian magang pada Ibu Trenggono Sosronegoro, seorang empu paes Yogyakarta. Kegigihannya itupun berbuah manis, Tienuk Riefki kini dikenal sebagai seorang empu, maestro di jagat seni tata rias tradisional.
Rasa cinta pada keluarga, profesi dan warisan leluhur, bak suplemen yang terus memompa semangat Tienuk, dalam mendalami seni rias tradisional. Energi seolah tidak pernah surut. “Cinta membuat saya bekerja sepenuh hati,” ujarnya. Lantaran hal itu, ia begitu menikmati setiap detil pekerjaanya dalam merias. Seperti tidak ada beban yang dipikul. Padahal, banyak calon pengantin yang dirias Tienuk berasal dari kalangan penggede negeri ini.
Konon, Tienuk selalu merasa mencapai puncak kenikmatan dan kebahagiaan tatkala jari-jemarinya bergerak lincah mengapresiasikan buncahan rasa bahagia pengantin wanita melalui pulasan wajah yang ditorehkannya. “Saya seperti mengalami ekstase ketika tangan saya menari di atas wajah seseorang. Wajah itu bak kanvas yang siap dipoles seorang pelukis. Dan pelukis itu adalah saya, yang tengah menuangkan ekspresi gelora hati,” jelas Tienuk Riefkie.
Meskipun begitu, Tienuk tetaplah manusia biasa. Terkadang ia pun mengalami perasaan gundah ketika akan merias. Seperti yang dialaminya belum lama ini, ketika sedang merias putri Sultan Hamengkubuwono X, Gusti Raden Ajeng (GRAj) Wijareni yang kini bergelar Gustri Kanjeng Ratu Bendara, yang menikah dengan Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegara yang memiliki nama asli Ubaidillah. Usai melaksanakan tugas sebagai perias pengantin Royal Wedding Keraton Yogyakarta itu, Tienuk mengaku lega sekali.

Hal itu wajar adanya, lantaran tugas tersebut adalah tugas berat yang menyita perhatian hampir seluruh masyarakat Indonesia. “Ya, saya memang baru saja menunaikan tugas sebagai perias pengantin pernikahan putri ngarsa dalam kaping sepuluh, yakni jeng Reni. Dalam pernikahan megah itu, saya dipercaya untuk merias,” ujarnya bercerita.
Kini orang memang mengenal Tienik Riefki sebagai perias mantenan langganan para pesohor, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Ia dipilih lantaran hasil riasannya tak hanya membuat pengantin sekedar tampil cantik semata. Lebih dari itu, sentuhan tangannya mampu menjadikan mempelai wanita tampil manglingi. Mengapa hal tersebut begitu penting dalam dunia tata rias, khususnya pengantin Jawa? Konon, banyak pengantin yang bisa tampil cantik ketika usai dirias, tetapi wajahnya terlihat biasa saja, tidak berubah; manglingi, sehingga dianggap tidak memiliki kharisma seorang Ratu Sehari.
Selain piawai merias pengantin Yogya dan Solo, ia juga menguasai 16 gaya tata rias pengantin Indonesia. Di antaranya seperti tata rias Sunda Putri, Sunda Siger, Betawi, Lampung, Minang, Bali, Bugis, dan lain sebagainya. Tak heran  kalau ia  juga kerap diundang sebagai pembicara untuk mengupas berbagai tradisi pernikahan pengantin Nusantara. Untuk itu, Tienuk tidak henti-hentinya bersyukur bahwa apa yang dipelajarinya dahulu, kini bisa bermanfaat, baik pada dirinya maupun orang lain.
Bila sudah begitu, Tienuk seakan lupa akan jalan terjal yang ditempuhnya ketika dulu belajar merias. Sejak remaja ia memang berusaha mendalami tata rias dan adat istiadat pernikahan Yogya. Di daerah ini pula dirinya dilahirkan, sebagai anak sulung dari  tujuh bersaudara, tepatnya 29 Juni 1950 di daerah Sleman, pada era "Yogya Kembali".
Ayahnya adalah seorang militer, Letnan Kolonel Muchalip. Karena itu, masa kecil Tienuk dihabiskan di lingkup asrama militer, yang sekarang telah menjadi Senopati Shopping Center. Tak banyak kenangan mengenai ayahnya yang dingat Tienuk, selain perangainya yang tegas. Sebab sebagai seorang perwira, sang ayah sering berpindah-pindah tugas. Bahkan ketika ia mulai duduk di Sekolah Mengeh Pertama (SMP), ayahnya ditugaskan ke Irian. Demi kelancaran sekolah anak-anakya, atau karena tempat tugas yang dirasa terlalu jauh, Tienuk sekeluarga memutuskan tidak ikut hijrah ke Irian. Jadilah keluarga Tienuk tinggal bersama eyang di kota Yogya, tepatnya di Jalan Pathuk, yang sekarang terkenal dengan oleh-oleh khas Yogya, bakpia. (http://www.weddingku.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar