Perahu ini tidak besar namun dengan
bentuknya yang ramping dilengkapi cadik (katir) penyeimbang membuatnya
mampu meluncur cepat menerjang ombak dan angin di lautan. Perahu
ketinting memiliki bentuk mirip mahkota siger khas Lampung dengan kedua
ujung lancip melengkung unik.
Perahu ini ada yang menyebutnya sebagai
jukung lampung atau jung namun seringnya dinamai ketinting. Perahu
ketinting dengan rupa sejenis dapat pula ditemukan di beberapa daerah di
negeri ini seperti yang digunakan oleh nelayan Banjar di Kalimantan Selatan, nelayan di Madura, nelayan di Bali, dan pesisir Sumatera dari Aceh hingga Lampung.
Ketinting merupakan perahu tradisional nelayan lampung yang telah lama digunakan untuk melaut mencari ikan. Nelayan di Teluk Kiluan
tidak saja pandai memburu ikan dengan perahu lincah ini namun juga
mahir membuat perahu dengan bahan kayu lumas atau kayu tabo yang ada di
sekitar mereka. Menariknya kayu tersebut adalah bongkahan utuh yang
dilubangi dan diserut sehingga menjadi bagian lambung perahu.
Ketinting biasanya dibuat oleh keluarga
nelayan di pesisir Lampung dengan lama pembuatan hingga tiga bulan.
Ukuran panjang perahu ini sekira 11 meter dan lebar 60 centimeter,
biasanya makin panjang dan lebar perahu maka makin mahal harganya.
Rata-rata ketinting terkecil dijual 3 juta dan yang panjang mencapai 7
juta namun itu belum termasuk mesin penggerak. Dahulu perahu ini
ditenagai angin dengan tiang layar dan dayung melengkapinya namun
sekarang lebih banyak nelayan di Lampung menempelkan mesin (motor)
sebagai penggeraknya.
Batang kayu lumas atau kayu tabu setelah
ditebang akan dikeringkan selama dua bulan agar awet sebelum memasuki
proses pembentukan badan perahu. Setelah proses pengeringan selesai
barulah perahu dibentuk, dihaluskan, kemudian diberi papan sebagai
pelapisnya. Tahap akhir adalah proses pengecatan dengan warna yang
biasanya mencolok seperti hijau, kuning, merah, atau biru. Rata-rata
panjang perahu ini 8-10 meter dimana itu muat untuk mengangkut 4 sampai 6
orang.
Setelah selesai pengecatan perahu akan dilengkapi cadik penyeimbang dari bambu atau sering pula disebut katir.
Cadik bambu ini akan menjadi penangkal ombak besar dan menyeimbangkan
perahu agar tetap melaju kencang. Untuk ketinting di sekitar rawa
biasanya tidak ditempeli cadik demi memudahkannya menerobos hutan bakau
namun untuk berlayar di laut tentunya lebih aman dengan cadik
penyeimbang. Nelayan pemilik ketinting akan rajin merawat ketinting agar
awet dengan menjemurnya di bawah Matahari. Cara lain adalah dicat ulang
agar lebih awet dan tahan lama. Dengan perawatan rutin biasanya perahu
ketinting mampu bertahan dengan penggunaan aktif hingga 7 tahun.
Apabila Anda menyambangi Teluk Kiluan
untuk melihat atraksi lumba-lumba maka cara paling ideal dan berkesan
adalah dengan menggunakan ketinting ini. Biaya untuk menggunakan jasa
nelayan dengan perahu ketinting ini bergantung tawar-menawar berkisar
Rp150.000,- hingga Rp250.000,-. Saat Anda menaiki ketinting, nelayan
tentunya akan memberikan jaket pelampung dan mereka akan mengupayakan
agar dapat sedekat mungkin melaju dengan kawanan lumba-lumba.
Selepas menyaksikan lumba-lumba di Teluk
Kiluan sempatkan waktu Anda untuk melihat proses pembuatan perahu
ketinting di desa nelayan setempat. Anda dapat menemukannya di Pulau
Kiluan, Tanggamus yang masyarakatnya masih banyak membuat perahu
ketinting berkualitas dimana ada yang untuk dijual atau dibayar jasanya
atas pemesanan nelayan lain. Selain di Tanggamus, ada juga di Desa
Pekon, Kiluan Negeri yang mana perahu ketinting merupakan salah satu
produk unggulan daerah. Nelayan pembuat perahu ketinting biasanya
menjadikan pembuatan perahu tradisional ini untuk sandaran ekonomi saat
mengalami musim paceklik atau peminat wisata lumba-lumba di Teluk Kiluan
sedang sepi. (www.indonesia.travel)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar