Kamis, 17 Desember 2015

Hikayat Kerajaan di Pantai Banyuwangi

WISATA PANTAI: Hikayat Kerajaan di Pantai Banyuwangi

Pantai Pualu Merah, Banyuwangi, Jawa Timur. TEMPO/Rully Kesuma
 
Selain keindahan alamanya, pantai Banyuwangi menyimpan kisah kerajaan masa lampau. Menikmati wisata pantai di Banyuwangi berarti menikmati juga hikayatnya.

Seperti Kosim, penduduk Rajegwesi, Banyuwangi, Jawa Timur, mengerjakan apa yang diturunkan oleh leluhur masing-masing sebagai mata pencarian. Kebanyakan dari mereka adalah orang Jawa--biasa disebut orang Mentaraman (orang dari Kesultanan Mataram Islam). Ada cerita bahwa sebagian orang Jawa di Rajegwesi adalah keturunan para pekerja yang didatangkan tentara pendudukan Jepang dari Yogyakarta dan sekitarnya untuk membantu menancapkan kayu-kayu jati di mulut teluk buat dijadikan benteng.

Menurut sejarahnya, kawasan pesisir selatan Banyuwangi dulu termasuk wilayah Kerajaan Blambangan, yang dianggap sebagai kerajaan bercorak Hindu terakhir di Pulau Jawa. Penguasanya hingga menjelang akhir abad ke-18 merupakan keturunan dari Tawangalun (1645-1691), raja Blambangan yang paling dihormati dan dikenang oleh penduduk Banyuwangi.

Di masa Pangeran Danuningrat menjadi penguasa di bawah kendali Kerajaan Mengwi dari Bali (1736-1767), ada seorang bernama Mas Sirna. Dia adalah adik Danuningrat yang ditunjuk menjadi patih dengan gelar Wong Agung Wilis. Karena intrik di lingkungan kerajaan, Wong Agung Wilis dituduh hendak makar. Raja lalu mencopot dia dari jabatannya. Dia mengembara dan bertapa ke pesisir pantai selatan, ke gunung-gunung, ke gua-gua yang angker, dan mendirikan pasraman--tempat pengajaran agama Hindu--di lokasi yang sekarang disebut Desa Sanggar. Menurut hikayat yang diceritakan turun-temurun di kalangan penduduk Rajegwesi, dia juga melakukan perjalanan ke Alas Purwo, kawasan hutan di Semenanjung Blambangan yang dianggap angker bahkan sampai sekarang.

Di Rajegwesi, di puncak sebuah batu karang di bagian barat pantai, tak jauh dari tempat perahu nelayan yang berwarna-warni dilabuhkan berjajar-jajar, terdapat petilasan Wong Agung Wilis. Papan penunjuknya sudah berkarat dan catnya mengelopak di sana-sini, tulisannya pun tak terbaca. Penduduk mengenalnya sebagai Ki Agung Wilis atau Mbah Agung Wilis.
sumber: TEMPO.CO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar