Selasa, 19 Januari 2016

BERLAN

Nama daerah ini kembali populer setelah tiga polisi dianiaya oleh gerombolan warga bersenjata tajam ketika menggerebek sebuah rumah yang diduga keras sebagai sarang narkoba. Seorang polisi dilaporkan hilang karena melarikan diri dengan terjun ke kali manggarai dekat pintu air yang kala itu arusnya deras.
Kawasan Berlan terletak di kawasan Matraman, Jakarta Timur yang disebelah Timur berbatasan dengan jalan raya Matraman di Barat kali Manggarai. Terdapat komplek tentara disini yang juga berbaur dengan perumahan warga sipil. Sejarah kawasan ini sangatlah panjang karena sudah terkenal sejak zaman VOC. Tidak heran jika di dalam kompleks itu terdapat bangunan bersejarah.
Selanjutnya, dalam perjalanan sejarahnya, kawasan Berlan pernah menjadi komplek perumahan tentara KNIL pangkat rendahan kemudian tradisi ini diteruskan ketika Indonesia merdeka dan menjadi komplek tentara.
Berbeda dengan kebanyakan komplek perumahan militer, kompleks Berlan sejak lama terkenal sebagai kawasan yang kumuh, isinya berandalan dan sarang narkoba. Bahkan banyak perusahaan yang mencoret nama pelamar jika KTPnya KTP Berlan.
Anak-anak Berlan meneruskan tradisi tawuran dengan Kampung Irian yang kemudian bisa diredam oleh Gubernur Sutiyoso ketika itu yang membuat pembatas jalan yang tinggi di Jalan raya Matraman. Dan ditahun 1980an hingga 1990an, kawasan ini menjadi ajang tawuran pelajar. Yang kalah, lari ke komplek ini dan yang mengejar tidak berani masuk Berlan.
Memang tidak semua orang yang bukan penghuni Berlan nyaman memasuki kompleks ini. Kebanyakan mereka dipalak setidaknya di medio tahun 90an. Tidak heran jika ada cerita bahwa para gadis komplek Berlan harus merana karena diputus pacarnya yang tidak tahan terus menerus di palak ketika ngapel. Malahan ada kabar saking sangarnya kawasan itu, maka para gadis di kawasan itu nikah dengan tetangganya se komplek karena pemuda yang naksir atau yang ditaksir yang berasal dari daerah lain mundur teratur setelah tahu rumah gadis itu di Berlan.
Saya sendiri pernah mencoba masuk ke Berlan ditahun 90an dan bersopan ria menyapa sekumpulan remaja di muka jalan masuk Berlan dari kawasan Manggarai, “Permisi bang..”. Mereka menjawab dan melecehkan , “ hehe.. takut ya..” yang kemudian disambut dengan gelak tawa dan mereka bergerak menuju saya yang sudah mulai ketakutan. Gelak itu terhenti setelah saya dijemput oleh teman saya yang ternyata “raja preman” di Berlan. Sekumpulan remaja itu langsung hormat dan minta maaf ramai-ramai.
Di rumahnya yang sempit, saya disuguhkan aneka jenis narkoba dan minuman keras. Saya menolak dengan halus karena tujuan saya minta tolong karena mobil salah satu teknisi mogok dekat kali Manggarai. Teman saya itu langsung bergegas dan untung saja tepat waktu, kalau tidak mobil itu sudah dipreteli sementara sang teknisi yang menunggu mobil sudah gemetar ketakutan. Begitu teman saya datang, kerumunan remaja tanggung di kawasan yang dikenal sebagai” Berlan Bedeng” itu bubar.
Begitulah Berlan. Tentu saja tidak semua yang menghuni kawasan itu orang-orang jahat. Tetapi orang-orang baik disana tidak bisa bersuara apalagi mengubah keadaan. Walhasil, Ghetto itu tidak pernah berubah. Kekerasan dan budaya kekerabatan yang sangat kuat mendukung kejahatan didalamnya ternyata menurun dari satu generasi ke generasi.
Dan nampaknya, sudah saatnya Berlan dibenahi. (Budi Setiawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar