Pandajajan.blogspot.com
Seorang
turis lokal tengah menikmati hidangan menu khas Minahasa di sebuah
rumah makan yang berdiri di Tinoor Tomohon. (pandajajan.blogspot.com)
Sejak dulu daerah ini terkenal dengan rumah-rumah makannya yang terletak di ruas jalan Tomohon-Manado.
Selain hidangannya lezat, satu ciri khas rumah makan ini terletak di tepi jurang Tinoor.
Kini hidangan khas Minahasa di rumah-rumah makan Tinoor sudah menjadi salah satu ikon kuliner Kota Tomohon.
Sedikitnya saat ini ada delapan rumah makan di Tinoor. Sebagian besar menawarkan kuliner khas Minahasa.
Salah satu menu yang digemari yakni sate Tinoor. Sambil menyantap makanan, di rumah makan tertentu pengunjung bisa menikmati pemandangan kota Manado.
(Pemadangan indah kota Manado diambil dari Rumah Makan Pemandangan Tinoor Tomohon/Michael Sendow)
Selain hidangannya lezat, satu ciri khas rumah makan ini terletak di tepi jurang Tinoor.
Kini hidangan khas Minahasa di rumah-rumah makan Tinoor sudah menjadi salah satu ikon kuliner Kota Tomohon.
Sedikitnya saat ini ada delapan rumah makan di Tinoor. Sebagian besar menawarkan kuliner khas Minahasa.
Salah satu menu yang digemari yakni sate Tinoor. Sambil menyantap makanan, di rumah makan tertentu pengunjung bisa menikmati pemandangan kota Manado.
(Pemadangan indah kota Manado diambil dari Rumah Makan Pemandangan Tinoor Tomohon/Michael Sendow)
Sejak jalan Manado-Tomohon belum diaspal, rumah makan Tinoor sudah eksis. Judi Turambi, peneliti sejarah Tomohon, menungkapkan, rumah makan di Tinoor berkembang dari awalnya hanya gubuk atau dalam bahasa lokal sabuah, kini berkembang menjadi rumah makan besar.
Usaha rumah makan di Tinoor awalnya dirintis oleh Kaes Evenglien Rambing, cucu Hukum Tua Bastian Rambing pada 1927.
Ketika pertama kali dirintis, tempat makan itu baru berbentuk sabuah yang terletak di jalur kiri pinggiran jalan ke arah Manado.
Roda sapi
Kebanyakan yang singgah makan di sabuah itu para pedagang dari Sonder, Remboken, dan Tomohon. Ketika itu mereka menggunakan roda sapi melintas atau pulang dari Wenang (nama Manado tempo dulu). Mereka kerap singgah di sabuah untuk menyantap menu kawok (tikus kebun), peret (kelelawar), nasi bungkus dan minum saguer (air sadapan pohon aren).
Sumber lain juga menyebut kalau pada zaman Belanda, sebelum tahun 1930, orang Tinoor sudah berjualan makanan. Lokasinya di jalan utama, diyakini jalan dimaksud jalan menuju ke Lotta dan Kali, yakni jalan tangga-tangga.
"Di jalan itu terdapat beberapa sabuah atau terung tempat mereka berjualan," kata Turambi.
Usaha rumah makan di Tinoor awalnya dirintis oleh Kaes Evenglien Rambing, cucu Hukum Tua Bastian Rambing pada 1927.
Ketika pertama kali dirintis, tempat makan itu baru berbentuk sabuah yang terletak di jalur kiri pinggiran jalan ke arah Manado.
Roda sapi
Kebanyakan yang singgah makan di sabuah itu para pedagang dari Sonder, Remboken, dan Tomohon. Ketika itu mereka menggunakan roda sapi melintas atau pulang dari Wenang (nama Manado tempo dulu). Mereka kerap singgah di sabuah untuk menyantap menu kawok (tikus kebun), peret (kelelawar), nasi bungkus dan minum saguer (air sadapan pohon aren).
Sumber lain juga menyebut kalau pada zaman Belanda, sebelum tahun 1930, orang Tinoor sudah berjualan makanan. Lokasinya di jalan utama, diyakini jalan dimaksud jalan menuju ke Lotta dan Kali, yakni jalan tangga-tangga.
"Di jalan itu terdapat beberapa sabuah atau terung tempat mereka berjualan," kata Turambi.
Sejak jalan Manado-Tomohon belum diaspal, rumah makan Tinoor sudah eksis. Judi Turambi, peneliti sejarah Tomohon, menungkapkan, rumah makan di Tinoor berkembang dari awalnya hanya gubuk atau dalam bahasa lokal sabuah, kini berkembang menjadi rumah makan besar.
Usaha rumah makan di Tinoor awalnya dirintis oleh Kaes Evenglien Rambing, cucu Hukum Tua Bastian Rambing pada 1927.
Ketika pertama kali dirintis, tempat makan itu baru berbentuk sabuah yang terletak di jalur kiri pinggiran jalan ke arah Manado.
Roda sapi
Kebanyakan yang singgah makan di sabuah itu para pedagang dari Sonder, Remboken, dan Tomohon. Ketika itu mereka menggunakan roda sapi melintas atau pulang dari Wenang (nama Manado tempo dulu). Mereka kerap singgah di sabuah untuk menyantap menu kawok (tikus kebun), peret (kelelawar), nasi bungkus dan minum saguer (air sadapan pohon aren).
Sumber lain juga menyebut kalau pada zaman Belanda, sebelum tahun 1930, orang Tinoor sudah berjualan makanan. Lokasinya di jalan utama, diyakini jalan dimaksud jalan menuju ke Lotta dan Kali, yakni jalan tangga-tangga.
"Di jalan itu terdapat beberapa sabuah atau terung tempat mereka berjualan," kata Turambi.
Usaha rumah makan di Tinoor awalnya dirintis oleh Kaes Evenglien Rambing, cucu Hukum Tua Bastian Rambing pada 1927.
Ketika pertama kali dirintis, tempat makan itu baru berbentuk sabuah yang terletak di jalur kiri pinggiran jalan ke arah Manado.
Roda sapi
Kebanyakan yang singgah makan di sabuah itu para pedagang dari Sonder, Remboken, dan Tomohon. Ketika itu mereka menggunakan roda sapi melintas atau pulang dari Wenang (nama Manado tempo dulu). Mereka kerap singgah di sabuah untuk menyantap menu kawok (tikus kebun), peret (kelelawar), nasi bungkus dan minum saguer (air sadapan pohon aren).
Sumber lain juga menyebut kalau pada zaman Belanda, sebelum tahun 1930, orang Tinoor sudah berjualan makanan. Lokasinya di jalan utama, diyakini jalan dimaksud jalan menuju ke Lotta dan Kali, yakni jalan tangga-tangga.
"Di jalan itu terdapat beberapa sabuah atau terung tempat mereka berjualan," kata Turambi.
Beda dengan sabuah, bangunannya sudah terbuat dari papan dan beratap seng. Belakangan rumah makan berganti nama menjadi Tambulinas yang artinya "telaga suci".
Nama Tambulinas diambil karena memang letaknya berada di wilayah Tambulinas, Tinoor.
Menurut Turambi, jika buka usaha rumah makan di Tinoor, chef atau kokinya harus orang Tinoor. "Bila chef-nya bukan orang Tinoor, usaha rumah makan tersebut bakal tidak laris. Tradisi ini dipraktikkan sudah dari dulu," ungkapnya.
Selain juru masak harus orang Tinoor, kata Turambi, entah mengapa rumah makan akan laris kalau terletak di sisi jurang. RM di sisi sebaliknya jadi kurang laris.
Selanjutnya usaha kuliner makin berkembang, muncul kembali Rumah
Makan Puncak dibuka sekitar 1952. "Rumah Makan Puncak ketika itu cukup
populer.
Sering disingahi para pejabat Minahasa, Laurens Saerang bahkan Gubernur Sulut HV Worang," sebutnya.
Rumah Makan Tambulinas dan Puncak menjadi terkenal ketika itu. Tempatnya sangat strategis di jalur perlintasan kendaraan dari Minahasa ke Manado.
Nama Tambulinas diambil karena memang letaknya berada di wilayah Tambulinas, Tinoor.
Menurut Turambi, jika buka usaha rumah makan di Tinoor, chef atau kokinya harus orang Tinoor. "Bila chef-nya bukan orang Tinoor, usaha rumah makan tersebut bakal tidak laris. Tradisi ini dipraktikkan sudah dari dulu," ungkapnya.
Selain juru masak harus orang Tinoor, kata Turambi, entah mengapa rumah makan akan laris kalau terletak di sisi jurang. RM di sisi sebaliknya jadi kurang laris.
Sering disingahi para pejabat Minahasa, Laurens Saerang bahkan Gubernur Sulut HV Worang," sebutnya.
Rumah Makan Tambulinas dan Puncak menjadi terkenal ketika itu. Tempatnya sangat strategis di jalur perlintasan kendaraan dari Minahasa ke Manado.
Para sopir, dan penumpang dari Tomohon, Tondano, Sonder, Kawangkoan menjadikannya tempat singgah untuk makan.
Ketika itu jarak yang ditempuh ke Manado dianggap cukup jauh, tidak seperti sekarang saat transportasi dan infrastruktur yang baik hingga menjamin kelancaran perjalanan. Sehingga singgah di suatu tempat wajib dalam perjalanan.
Lokasi Tambulinas juga punya keuntungan lain yakni sumber air melimpah. Para supir memanfaatkannya untuk mendinginkan mobil.
Meski transportasi sudah dilayani jasa mobil, pengguna roda sapi pun masih tetap eksis. Mereka masih menjual bambu. Biasanya mereka muncul setiap Senin dan Kamis.
Catatan penelitian Turambi, sekitar 1967 Rumah Makan Syaloom berdiri, namun tak beroperasi lagi pada 1971. Belakangan Rumah Makan Tambulinas, Puncak, dan Syaloom tak lagi beroperasi.
Bekas bangunan Rumah Makan Puncak masih ada hingga sekarang, sedangkan Rumah Makan Tambulinas sudah berubah bentuk.
Satu di antara yang bertahan yakni Rumah Makan Heng Mien, kini menjadi yang terpopuler di Jalan Manado-Tomohon. Rumah makan ini dibuka pertama kali tahun 1950.
Ketika itu jarak yang ditempuh ke Manado dianggap cukup jauh, tidak seperti sekarang saat transportasi dan infrastruktur yang baik hingga menjamin kelancaran perjalanan. Sehingga singgah di suatu tempat wajib dalam perjalanan.
Lokasi Tambulinas juga punya keuntungan lain yakni sumber air melimpah. Para supir memanfaatkannya untuk mendinginkan mobil.
Meski transportasi sudah dilayani jasa mobil, pengguna roda sapi pun masih tetap eksis. Mereka masih menjual bambu. Biasanya mereka muncul setiap Senin dan Kamis.
Catatan penelitian Turambi, sekitar 1967 Rumah Makan Syaloom berdiri, namun tak beroperasi lagi pada 1971. Belakangan Rumah Makan Tambulinas, Puncak, dan Syaloom tak lagi beroperasi.
Bekas bangunan Rumah Makan Puncak masih ada hingga sekarang, sedangkan Rumah Makan Tambulinas sudah berubah bentuk.
Satu di antara yang bertahan yakni Rumah Makan Heng Mien, kini menjadi yang terpopuler di Jalan Manado-Tomohon. Rumah makan ini dibuka pertama kali tahun 1950.
Kemudian dibuka kembali di lokasi berbeda pada 1965. Sementara di lokasi yang sekarang nanti dibuka pada tahun 1995.
Sedikitnya sejumlah rumah makan tepi jurang juga dibuka semisal Rumah Makan Pemandangan pada 1960 dan Rumah Makan Tinoor Jaya pada 1978. (Tribun Manado/Ryo Noor)
Sedikitnya sejumlah rumah makan tepi jurang juga dibuka semisal Rumah Makan Pemandangan pada 1960 dan Rumah Makan Tinoor Jaya pada 1978. (Tribun Manado/Ryo Noor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar