Mendengar nama ronggeng, maka terbayang suatu tontonan rakyat yang menampilkan gadis-gadis cantik dengan pasangan pria menari mengikuti irama khas Jawa Barat.

Oleh: Priscilla Agnes
APRIL 20, 2013
Ronggeng yang akan ditampilkan di sini adalah ronggeng yang lain, yaitu ronggeng gunung, suatu tari rakyat yang hidup dan berkembang di daerah Ciamis bagian selatan. Ini bukan berarti di daerah lain tidak ada kesenian rakyat, sejenis. Di daerah lain dikenal dengan nama berbeda, misalnya ketuk tilu, banjet, ronggeng topeng dan sebagainya.
Banyak keterangan tentang asal-usul ronggeng gunung. Ada dua versi yang bersumber pada legenda yang terkenal di kalangan penduduk.
Versi pertama mengatakan bahwa ronggeng gunung timbul ketika kerajaan Galuh kacau balau karena serangan musuh. Raja terpaksa mengungsi ke tempat yang aman dari kejaran musuh. Raden Sawung Galing datang sebagai penyelamat dan atas jasanya Raden Sawung-galing dinikahkan dengan Putri Galuh.
Ketika Raden Sawung Galing memegang tampuk pemerintahan, dihidupkan kembali kesenian ronggeng gunung sebagai hiburan resmi di istana. Penarinya diseleksi ketat oleh raja dan harus betul-betul mempunyai kemampuan menari, menyanyi dan berparas cantik. Dengan demikian ketika itu ronggeng mempunyai status terpandang di lingkungan masyarakat.
Versi kedua berkisah tentang seorang putri yang ditinggal mati oleh kekasihnya. Siang dan malam sang putri meratapi terus kematian orang yang dicintainya. Selagi sang putri menangisi jenazah kekasihnya yang sudah mulai membusuk, datanglah beberapa pemuda menghampiri sang putri dengan maksud menghibur.
Pemuda-pemuda tersebut menari sambil menutup hidung karena bau busuk mayat. Sang putri pun akhirnya ikut menari dan menyanyi dengan nada melankolis. Adegan-adegan tersebut banyak yang menjadi dasar dalam gerakan-gerakan pada pementasan ronggeng gunung saat ini.
Memasuki periode tahun 1940 sampai tahun 1945, banyak terjadi pergeseran nilai dari sebelumnya. Pergeseran nilai tersebut meresap pula dalam kesenian ronggeng gunung, misalnya dalam cara menghormat yang semula dengan merapatkan tangan di dada berganti dengan cara bersalaman.
Bahkan akhirnya cara bersalaman ini banyak disalahgunakan, dimana penari laki-laki atau orang-orang tertentu bukan hanya bersalaman melainkan bertindak lebih jauh seperti mencium dan sebagainya. Kadang-kadang penari dapat dibawa ke tempat sepi. Karena tidak sesuai dengan adat-istiadat, maka pada tahun 1948 kesenian ronggeng gunung dilarang dipertunjukkan untuk umum.
Baru pada tahun 1950 kesenian ronggeng gunung dihidupkan kembali dengan beberapa pembaruan, baik dalam tarian maupun dalam pengorganisasian sehingga kemungkinan timbulnya hal-hal negatif dapat dihindarkan.
Persebaran Ronggeng Gunung
Desa-desa di Ciamis selatan yang memiliki kesenian ronggeng gunung adalah desa Panyutran, Ciparakan, Burujul dan menyebar ke arah selatan, yaitu di Kawedanaan Pangandaran sampai ke Kecamatan Cijulang. Dalam beberapa generasi ronggeng gunung mampu mempertahankan ciri-ciri khas yang dimiliki.
Namun demikian ditemukan pula tarian dalam bentuk yang hampir sama di daerah lain seperti banjet di Krawang, dombret di Subang. Perbedaan masih tetap nyata. Jika banjet dan dombret sudah banyak mempergunakan lagu-lagu populer, ronggeng gunung tetap mempergunakan lagu-lagu yang bersifat buhun (lama). Dombret dan banjet sudah banyak dipengaruhi oleh budaya dari luar Sunda, seperti Jawa, Bugis Makasar, Lampung dan juga Madura melalui pergaulan antara para nelayan.
Seperti tari-tari lain sejenisnya, ronggeng gunung juga merupakan tari hiburan dan pakaian yang dikenakan sesuai dengan tradisi setempat. Segi lain yang menarik dari pertunjukan ini adalah pada saat pertunjukan berlangsung, yaitu dengan sering tampilnya para penonton untuk menemani penari ronggeng menari. Seringkah tingkah “penari penonton” ini membuat geli orang-orang yang menyaksikan, sehingga suasana pun berubah menjadi riuh dan bergembira.
Suasana yang ditampilkan tersebut menunjukkan ciri khas suatu kesenian rakyat, yaitu akrab dimana penari dan penonton berbaur tanpa batas yang jelas.
Pada masa pemberontakan DI/TII berkecamuk di Jawa Barat, kesenian ronggeng gunung hampir-hampir lenyap karena seringnya terjadi gangguan terhadap pertunjukan yang sedang berlangsung. Setelah gerombolan DI/TII ditumpas, pertunjukan ronggeng gunung yang sangat digemari oleh masyarakat itu pun muncul kembali.
Alat Penerangan
Umumnya kesenian ronggeng dipanggil untuk kepentingan suatu perayaan, misalnya pesta perkawinan, khitanan, penghormatan terhadap tamu dan sebagainya. Namun disamping itu tidak jarang pula kesenian ronggeng dipanggil untuk memenuhi pernyataan kaulnya.
Sekarang dalam berbagai acara resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah, dapat pula ronggeng dipergunakan sebagai alat penerangan yang efektif. Ronggeng gunung dapat digunakan untuk mengumpulkan penduduk. Setelah penduduk berkumpul maka kesempatan ini “dipergunakan untuk menyampaikan sesuatu yang penting diketahui oleh masyarakat. Misalnya penerangan keluarga berencana, penyuluhan pertanian dan sebagainya.
Orang-orang yang tergabung dalam kelompok kesenian ronggeng gunung ini biasanya terdiri dari enam sampai sepuluh orang. Namun demikian dapat pula tukar menukar atau meminjam pemain dari kelompok lain. Biasanya peminjaman pemain terjadi untuk memperoleh pesinden lalugu, yaitu wanita yang sudah berumur agak lanjut tetapi mempunyai kemampuan yang sangat mengagumkan dalam hal tarik suara. Dia bertugas membawakan lagu-lagu tertentu yang tidak dapat dibawakan oleh pesinden biasa.
Pementasan ronggeng gunung ini memakan waktu cukup lama, kadang-kadang baru selesai menjelang subuh. Oleh karena itu pada setiap pementasan harus disediakan tempat istirahat sehingga penampilan mereka tetap baik.
Sebelum pertunjukan dimulai juga diadakan sesajen untuk persembahan kepada para leluhur dan roh yang ada di sekitar tempat tersebut, agar menjaga keselamatan para nayaga dan juga ronggeng. Bentuk sesajen ini terdiri dari kue-kue kering tujuh macam dan tujuh warna, pisang emas, sebuah cermin, sisir dan sering pula ditemukan rokok sebagai pelengkap sesaji.
Menjadi ronggeng pada jaman dulu memang tidak semudah sekarang. Beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain bentuk badan bagus, dapat melakukan puasa 40 hari yang setiap berbuka puasa hanya diperkenankan makan pisang raja dua buah, latihan nafas untuk memperbaiki suara, fisik dan juga rohani yang dibimbing oleh ahlinya. Dan yang umum berlaku, seorang ronggeng harus tidak terikat perkawinan. Oleh karena itu seorang penari ronggeng harus seorang gadis atau janda.
Pementasan ronggeng gunung biasanya dilakukan agak malam dan berakhir dini hari. Untuk mencegah pandangan negatif terhadap jenis tari yang hampir punah ini diterapkan peraturan-peraturan yang melarang penari dan pengibing melakukan kontak (sentuhan) langsung.
Beberapa adegan yang dapat menjurus kepada perbuatan negatif seperti mencium atau memegang penari, dilarang sama sekali. Peraturan ini merupakan suatu cara untuk menghilangkan pandangan dan anggapan masyarakat bahwa ronggeng identik dengan wanita yang senang menggoda laki-laki.
Adegan lain yang masih bertahan hingga sekarang adalah selingan yang mempertunjukkan perkelahian, yang semula merupakan adegan memperebutkan penari ronggeng. Dalam pertunjukkan ini biasanya tampil pesilat-pesilat. Dengan demikian selingan ini menjadi ajang mengukur keterampilan dalam menguasai seni bela diri, tanpa meninggalkan aturan permainan.
Pementasan ronggeng gunung hingga saat ini tetap merupakan kesenian yang digemari oleh penduduk. Apabila kesenian rakyat ini ditampilkan, dapat dipastikan tempat yang sebelumnya sunyi sepi akan berubah menjadi ramai, seakan-akan suatu pasar malam. Meskipun pementasan dilakukan agak malam penonton telah datang sejak sore saat matahari mulai tenggelam. Pendek kata desa yang sunyi sepi akan berubah menjadi meriah dan menggembirakan.
Bila ayam jantan telah berkokok tanda menjelang pagi, barulah satu persatu mereka mengundurkan diri dari tempat keramaian. Mereka telah menikmati kegembiraan semalam suntuk. Umumnya kesan mendalam akan merasuk ke hati sanubarinya. Setelah bekerja keras sepanjang hari mereka pantas memperoleh hiburan yang mampu meningkatkan gairah hidup. Dengan demikian keseimbangan hidup pun terjaga. (http://www.wacana.co/)