Ciri khas jamu gendong adalah perempuan membawa bakul yang di dalamnya berisi botol jamu dengan cara digendong, sementara tangan kiri memegang ember untuk mencuci gelas setelah dipakai untuk minum jamu. Sejak masakecildulu sampai sekarang masih saja bisa ditemui penjual jamu gendong keluar masuk kampung. Bahkan di Jakarta setiap hari para perempuan penjual jamu gendong ini lalu-lalang di tengah keramaian kota atau di proyek-proyek bangunan tinggi.
Jamu gendong mempunyai sejarah yang cukup panjang di Indonesia, sebagai negara yang punya tumbuhan obat terlengkap nomor dua di dunia. Berabad-abad lalu, obat tradisional yang dibuat dari akar, daun, maupun umbi-umbian tumbuhan ini muncul pertama kali dalam tradisi keraton di Jawa. Selanjutnya jamu juga diajarkan ke masyarakat dan dipasarkan dengan cara dipikul oleh laki-laki dan digendong oleh perempuan. Belakangan, jamu pikulan kalah pamor dibandingkan dengan jamu gendongan.
Seakan-akan menantang zaman, kebanyakan mereka tetap berkain jarit dan berkebaya dalam menjual jamunya. Jumlah mereka tidak sedikit, namun nasib tidak berubah banyak. Sementara di bagian lain kota Jakarta, ada juga bakul jamu kelas pengusaha yang tak perlu lagi lalu lalang di jalanan, tak perlu berkain dan berkebaya. Mereka kini hanya perlu menghitung untung dari tiap bungkus jamu yang dijualnya hingga ke luar negeri. Mengapa nasib Ngatiyem, si penjual jamu gendong sangat jauh berbeda dengan penjual jamu kelas pengusaha?
Anda masih suka mengkonsumsi jamu gendongan? (http://masakecildulu.wordpress.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar