Bagi anak rantau seperti saya, liburan adalah pulang ke rumah. Kampung halaman saya ada di Solo, tepatnya di tepi Sungai Bengawan Solo, aliran airnya layaknya nadi bagi kota ini. Pulang dan liburan di kota ini berarti akan bertemu dengan Sungai Bengawan Solo, mengakrabi pemandangan dan baunya. Tak luput juga, menyelami kehidupan masyarakat yang hidup bergantung pada sungai yang sedari dulu menjadi perhatian insani.
Penggalan lagu Gesang, seorang maestro musik Keroncong asal Solo, sudah moncer (terkenal-red) bahkan sampai ke dunia internasional gara-gara sebuah sungai. Iya, sebuah sungai. Bengawan Solo, Sungai yang mengalir sepanjang 548 kilometer ini digambarkan melalui lirik yang indah, sekaligus musikalisasi yang merdu. Sebagai salah seorang masyarakat Solo yang tinggal di tepi anak sungai Bengawan Solo, rasanya saya ingin sekali memodifikasi lirik tersebut menjadi lebih kekinian.
Bengawan Solo, airmu warna-warni. Pencemaran limbah industri membuat warna anak sungai Bengawan Solo lebih variatif, suatu hari berwarna hijau, ungu cerah, bahkan hitam pekat. Memang terkesan lebih ‘lain dari biasanya’, imajinasi sungai yang jernih, dan bisa menghidupi masyarakat sekitarnya, kini lebih berwana. Tentu hal tersebut bukan berita baik. Pencemaran limbah pabrik, tekstil, dan limbah rumah tangga tersebut tidak membuat sungai tampak indah, justru tampak tak berdaya. Ikan yang hidup di dalamnya mati, tumbuhan di sekitar daerah aliran sungai enggan tumbuh karena zat kimia yang jahat.
Kenyataan memang selalu lebih pahit daripada apa yang ada dalam pikiran. Lagu Gesang terkenal lewat lirik Bengawan Solo yang menghadirkan imajinasi sungai yang makmur, indah, dan menghidupi. Tetapi kenyataannya nanti dulu. Sungai terpanjang di Jawa ini nyatanya memiliki kualitas air yang semakin menurun dan pendangkalan yang terus-menerus.
Beberapa anak sungai Bengawan Solo seperti Kali Jenes di sekitar Pasar Kliwon, tempat tinggal saya, dan Kali Premulung (juga dikenal sebagai Kali Wingko, Serengan) lebih sering tampak kecoklatan dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Dua anak sungai tersebut sama-sama bertemu di Sungai Bengawan Solo yang mengalir di bawah jembatan Mojo, Semanggi. Menurut penelitian ahli lingkungan dari Universitas Sebelas Maret, Sulastoro, Natrium (Na), Cadmium (Cd) dan Chrom (Cr) adalah beberapa zat beracun yang ada dalam air sungai. Ketiga zat tersebut adalah hasil dari limbah tekstil, limbah rumah tangga, dan peternakan yang larut dalam aliran sungai.[ii]
Penyumbang terbesar atas ‘pewarnaan’ Sungai bengawan solo, khususnya anak sungai Kali Premulung adalah limbah industri tekstil besar yang ada di Sukoharjo yaitu PT. Danrilis dan PT. Tyfountex [iii]. Menurut temuan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Jawa Tengah, dua pabrik tekstil tersebut memang membuang limbahnya ke sungai. Teguran keras diberikan oleh BLH kepada dua perusaan tersebut pada Kamis, 26 Juni lalu[iv]. Pengolahan kembali limbah pabrik tidak dilakukan oleh masing-masing perusahaan. Pabrik PT Danrilis hanya mengolah limbah sebesar 50 persen, sisanya dibuang kesungai. Sedangkan PT. Tyfountex hanya mengolah 80 persen, sisanya adalah ‘jatah sungai’. Tak pelak, warna sungai sering berubah tergantung dengan limbah pabrik. Tentu, hal tersebut sama sekali tidak lucu. Ribuan warga bantaran kali ini harus mengungsi karena direndam banjir akibat limbah rumah tangga yang menumpuk dan sungai yang meluap.
Kali Jenes,di Semanggi, sekitar tempat tinggal saya juga demikian. Tak jarang orang mengernyitkan dahi sambil menutup hidung saat melewati anak sungai Bengawan Solo ini. Bahkan, anak-anak kecil sekitar rumah sering menyebutnya Kali Kecing (dalam bahasa Jawa, Kali Kecing berarti kali yang bau tidak sedapnya amat menyengat). Lagi-lagi industri tekstil dan batik sekitar yang berulah,serta banyak plastik sampah yang mandek di aliran sungai. Rupanya tak hanya limbah industri tekstil yang ‘meramaikan’ wajah sungai, tetapi juga keseharian orang-orang yang sering mengeluh sungai yang bau itu. Warga masih sering buang sampah ke sungai. Belum ada kesadaran kolektif untuk memelihara kebersihan got, kali, apalagi sungai. Lagu Bengawan Solo kini tak lagi penggambaran Sungai Bengawan Solo sebenarnya, mungkin sebatas angan-angan. Selagi industri tekstil masih melimpahkan limbahnya ke sungai dan masyarakat masih sering membuang buntel plastik sampah ke sungai tanpa rasa bersalah.
Tidak ada yang (mau) salah
Semua orang merasa peduli pada lingkungan…setelah ada bencana. Pascabanjir bandang terbesar kedua di Solo setelah tahun 1966 yaitu tahun 2009 kemarin, masyarakat baru sering membicarakan sungai. Tidak hanya Solo saja yang mendapatkan ‘hadiah’ Bengawan Solo yang meluap, melainkan 20 kabupaten/kota yang dialiri sungai tersebut juga demikian.
Data terakhir banjir besar karena luapan Sungai Bengawan Solo adalah banjir di Bojonegoro, salah satu kabupaten yang dialiri Bengawan solo pada 5 Desember 2012 kemarin. Sekitar 210 rumah terendam banjir, di antaranya delapan rumah rusak, satu unit rumah roboh, serta tiga hektar sawah yang ditanami padi terendam air dan lumpur. Sebanyak 13 kecamatan di Bojonegoro yang dialiri Sungai Bengawan Solo selalu terancam terkena luapan air sungai. Ketigabelas kecamatan itu di antaranya Kecamatan Ngraho, Padangan, Kasiman, Purwosari, Kalitidu, Malo, Trucuk, Dander, Kota Bojonegoro, Kapas, Balen, Kanor, dan sebagian di Baureno.[v]
Tentu tidak ada yang mau disalahkan setelah bencana banjir melanda. Pihak-pihak yang tidak mau disalahkan dan tidak merasa bersalah, dalam hal ini industri, juga belum melakukan apa-apa untuk mendukung industri yang ramah lingkungan, yang ecofriendly. Pihak lain yang (juga pasti) tidak mau disalahkan, yaitu pemerintah, mengklaim sudah banyak perhatian kepada lingkungan. Pemerintah Kota Surakarta melalui BLH mengaku sudah merencanakan adanya Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) secara mobile(dapat dipindahkan) yang akan diujicobakan ke Kali Jenes, anak sungai Bengawan Solo di sekitar Semanggi. Pengelolaan limbah melalui IPAL secaramobile ini menunggu RAPBD 2014[vi]. Lagi-lagi menunggu uang turun. Asal tahu saja, mesin IPAL baru yang ada di PT. Tyfountex, tidak digunakan oleh pabrik untuk mengolah kembali limbahnya.
Belum ada penerapan sanksi pidana bagi perusahaan besar yang mengaliri limbahnya ke Bengawan Solo, sampai saat ini BLH Solo masih memberikan tenggang waktu pemakaian IPAL di dua pabrik tekstil tersebut. Jika berbicara implementasi undang-undang secara detail, kenyataannya tidak pernah ada yang benar-benar memberikan hukuman kepada masyarakat yang membuang sampah di sungai. Justru masyarakat menjadikannya kebiasaan, tidak ada sanksi dari masyarakat dan atau malah pura-pura tidak tahu.
Belum ada kesadaran kolektif dan sinergis dari masing-masing elemen masyarakat, baik itu pemerintah,masyarakat, apalagi swasta. Entah karena apa, sungai menjadi ‘halaman belakang’ ceritera sebuah Kota, misalnya Kota Solo yang dialiri Sungai Bengawan Solo. Wacana tentang sungai tertelan dengan isu-isu yang dianggap lebih seksi seperti pembangunan-pembangunan khas modernitas (yang belum tentu lolos AMDAL). Perbaikan sungai membutuhkan kerja keras dan kerja sama semua pihak, tanpa menunggu adanya bencana. Kesadaran masyarakat akan lingkungan, bencana alam, bencana industri, dan kelangsungan hidup ekosistem masih perlu ditingkatkan. Lebih daripada itu, keberlangsungan peradaban manusia juga (seharusnya) menjadi masalah bersama.
Sungai, peradaban, dan budaya manusia
Kepada siapa kita berterima kasih kalau bukan kepada bumi yang menyediakan semuanya untuk mencukupi kebutuhan manusia. Majunya peradaban manusia sampai sekarang bukan tanpa kontribusi lingkungan. Coba tengok kembali salah satu peradaban tertua di dunia yang berkembang di tepi Sungai Kuning, di Cina pada 2000 tahun sebelum masehi. Peradaban lembah Sungai Kuning menghasilkan lingkungan yang subur makmur, menghidupi Dinasti Han yang tinggal di aliran sungai tersebut dan kemudian memunculkan dinasti-dinasti besar ratusan abad setelahnya.
Hidup manusia tergantung terhadap alamnya. Siddharta Gautama, berguru kepada alam, khususnya sungai untuk mempelajari kehidupan dan jalan spiritualnya. Siddharta bertapa di Uruvela, sebuah tempat di dekat sungai dan desa, di mana ia menggantungkan hidupnya di sana. Sungai bagi Siddharta adalah sebuah refleksi perjalanan kehidupan manusia. Sungai yang bening adalah representasi penemuan hikmah kehidupan dengan berusaha mendengarkan hati dan alam.
Namun, hancurnya peradaban manusia juga disebabkan karena perlakuannya kepada alam dan lingkungan. Peradaban Mesopotamia di tepi Sungai Tigris dan Eufrat juga karena ‘kebiasaan lupa’ manusia terhadap alamnya. Hutan-hutan yang dibabati, serta daerah aliran sungai yang ditebang mengakibatkan bencana ekologi. Minimnya evaporasi dan drainase menyebabkan alam Mesopotamia menjadi rusak.
Franz Magnis Suseno, dalam bukunya Kuasa dan Moral mengungkapkan setidaknya ada tujuh bahaya yang mengancam masa depan manusia. Pertama, penghabisan kekayaan alam dengan eksploitasi; kedua, perusakan lingkungan; pemanasan atmosfer melalui panas yang dihasilkan oleh industrialisasi; lapisan ozon di stratosfer yang hancur; padang gurun yang terus meluas; kebutuhan air tawar yang melampaui persediaan; dan hama semakin resisten[vii]. Jelas, keberlangsungan lestarinya alam juga tergantung sikap masyarakat menanggapi isu lingkungan. Kebudayaan manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi alam sekitarnya.
Contohnya, budaya Mbladu di tepi Sungai Bengawan Solo. Mbladu atau peristiwa naiknya ikan ke permukaan sungai ini dipercaya menandakan datangnya musim hujan. Kegiatan mencari ikan ini terakhir dilakukan September tahun lalu di Jembatan Mojo Semanggi yang dialiri Sungai Bengawan Solo[viii]. Mbladu kemarin membuahkan dilema bagi masyarakat yang ikut menangkap ikan. Pasalnya, banyak ikan yang mabuk karena air sungai yang sudah tercemar limbah. Duh… Menangkap ikan hanya setahun sekali, masih saja ada masalah menghampiri.
Sungai, yang dari dulu dipercaya sebagai pusat peradaban, semakin berpisah dengan kehidupan manusia. Sungai yang ideal yang seharusnya bisa memberi penghidupan seperti air bersih dan sekaligus sebagai daerah resapan air hujan, semakin hari fungsinya semakin berubah. Dahulu, manusia menggantungkan kebutuhan air lewat sungai, bisa mencari air bersih lewat sungai yang jernih. Namun berbeda dengan sekarang, manusia semakin jauh dengan sungai sebagai penyedia kebutuhan, karena industrialisasi sudah menyediakan keperluan. Akibatnya, sungai dikenal sebagai tempat membuang sampah dan menyingkirkan limbah. Padahal fungsinya lebih mulia daripada itu, menyediakan penghidupan, sebagai aliran air menuju ke laut, dan sebagai resapan. Pengembalian fungsi tersebut memerlukan kerja keras mengingat sampah makin menggenang, pendangkalan terus terjadi, dan tepian sungai semakin jarang ada pepohonan.
Kegiatan guna meningkatkan kesadaran masyarakat untuk lebih mencintai Sungai Bengawan Solo dilakukan melalui Festival Gethek Bengawan Solo. Acara dengan format menaiki perahu bambu melintasi sungai Bengawan Solo ini bertujuan menggugah kemauan masyarakat untuk perhatian terhadap kebersihan dan kelestarian suangai. Kegiatan semacam ini perlu dihargai tetapi tetap harus dikritisi. Event tahunan yang hanya berlangsung setiap setahun sekali ini perlu dievaluasi misal, karena banyaknya orang yang berkumpul di tepi sungai, bagaimana dengan pengelolaan sampahnya. Akan sama saja apabila sampah-sampah masih dibuang ke sungai. Perlu desakan dari masyarakat, lembaga sosial, dan pemerintah untuk melawan penyebab pencemaran sungai yaitu industri. Kesadaran kolektif masyarakat juga harus dibentuk dengan dimulai dari diri sendiri untuk tidak membuang sampah ke sungai. Mutlak diperlukan sebuah kerja sama yang sinergis antara masyarakat, swasta, dan pemerintah untuk melanggengkan sungai sebagai sumber kehidupan. Sebab, peradaban manusia dan alamnya juga dipertaruhkan.
Semakin tidak lucu bila saat liburan nanti, lirik lagu Bengawan Solo milik Gesang harus berubah menjadi begini:
Bengawan Solo, riwayatmu kini..
Airmu warna-warni, karena limbah industri
Musim kemarau, tak seberapa airmu….
Di musim hujan lagi, hla kok banjir melulu :(
(dari http://readersblog.mongabay.co.id/)
Catatan Akhir:
Foto disalin dari kompas.com
http://regional.kompas.com/read/2013/04/20/09483444/UPT.Bengawan.Solo.Berlakukan.Siaga.2.Banjir
[i] Judul merupakan kalimat pertama lirik lagu ciptaan Gesang berjudul “Bengawan Solo” diciptakan tahun 1940, dialihbahasakan ke dalam setidaknya 13 bahasa.
[ii] Ela Kartika,siska Proposal Lolos LKMP Dikti, Modifikasi Limbah Fly Ash sebagai Adsorben Zat Warna Tekstil Congo Red yang Ramah Lingkungan dalam Upaya Mengatasi Pencemaran Industri Batik di Surakarta, http://siskaela.blog.uns.ac.id/files/2010/04/fly-ash.pdf, diakses tanggal 28 Juli 2013
[iii] Skripsi Agus Jatmiko, Jurusan Biologi Universitas Sebelas Maret, Hubungan Kualitas Air Selokan Ngenden Desa Gumpang Kartasura Sukoharjo denganAir Sumur Penduduk sekitar,http://eprints.uns.ac.id/3403/1/59151206200912091.pdf diakses tanggal 28 Juli 2013
[iv] Sutanto,Sahid B. timlo.net, Dua Pabrik Tekstil di Sukoharjo Kena Semprit,http://www.timlo.net/baca/76279/dua-pabrik-tekstil-di-sukoharjo-kena-semprit/ diakses tanggal 28 Juli 2013
[v] Wanahadi,Aji, mongabay.co.id, Kaleidoskop Bencana Lingkungan: Degradasi Hutan Melaju, Banjir Menerjang Manusia, http://www.mongabay.co.id/2012/12/28/kalesidoskop-bencana-lingkungan-2012-degradasi-hutan-melaju-banjir-menerjang-manusia/ diakses tanggal 28 Juli 2013
[vi] Sidik,Taufik. solopos.com, Penanganan Limbah Industri BLH Solo Wacanakan IPAL Mobile,http://www.solopos.com/2013/06/29/penanganan-limbah-industri-blh-solo-wacanakan-ipal-mobile-421079 diakses tanggal 28 Juli 2013
[vii] Suseno, Franz Magnis. Kuasa & Moral, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1866, hlm 144
[viii] Wawa, Surajah . Chic.id, Mbladu Bengawan Solo, Rejeki atas Polusi, http://unik-aneh.lintas.me/go/chic-id.com/mbladu-bengawan-solo-rejeki-atas-polusi diakses tanggal 28 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar