SEJARAH tidak berarti apa pun jika hanya dianggap sebagai cerita yang telah lalu dan tanpa melihat relevansi dengan periode berikutnya. Mengutip sejarawan Robert B. Cribb, ”Sejarah adalah suatu proses yang berkesinambungan. Sejarah perlu dikaji sebagai dalam kerangka yang koheren dari suatu periode ke periode berikutnya.” Oleh karena itu, sejarah tidak hanya menggambarkan penggalan waktu tertentu saja, tapi lebih bisa digunakan sebagai alat untuk mengkaji periode selanjutnya.
Di tengah gembar-gembor rekonstruksi sejarah nasional yang selama ini banyak dilencengkan untuk mendukung hegemoni kekuasaan, muncul juga keinginan untuk membuat sejarah lokal. Salah satu contoh adalah munculnya keinginan dari segelintir warga Majalaya untuk membuat sejarah lokal. Diharapkan bahwa sejarah lokal tersebut tidak hanya dibuat sebagai sebuah dokumentasi yang bisa diakses oleh generasi berikutnya untuk mengetahui sejarah leluhur mereka. Akan tetapi, sejarah lokal Majalaya juga bisa dijadikan bahan referensi proses perbaikan kondisi Majalaya saat ini.
Cerita sejarah lokal Majalaya tidak bisa dilepaskan dari kegiatan ekonomi dominan setempat, yaitu industri tekstil. Perkenalan masyakarat setempat dengan kegiatan tekstil telah terjadi sejak lama dan masih berlangsung hingga saat ini. Namun dalam perjalanannya telah terjadi banyak pergeseran yang mengakibatkan kontrol terhadap industri tekstil sudah tidak berada di tangan mereka. Posisi usaha mereka sudah banyak yang tidak independen dan menjadi maklun perusahaan besar maupun menengah. Perubahan-perubahan tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan ekonomi dan politik tingkat makro. Oleh karena itu, sejarah industri tekstil Majalaya dari sisi pengusaha dan buruh serta berbagai kebijakannya menjadi penting untuk ditelusuri sebagai sebuah proses pembelajaran dan refleksi.
Sejarah industri tekstil Majalaya
Majalaya memiliki sejarah industri tekstil yang cukup panjang. Tahun 1930-an merupakan tonggak awal perkembangan industri tekstil Majalaya yang dipelopori oleh beberapa pengusaha tekstil lokal seperti Ondjo Argadinata, H. Abdulgani, dsb. Masa-masa tersebut juga diwarnai dengan mulai bermunculannya industri tenun rumahan yang masih menggunakan tustel (alat tenun bukan mesin). Penyebaran kegiatan menenun berlangsung cukup cepat karena (1) tingginya persentase rumah tangga yang tidak memiliki lahan dan melakukan pertanian marginal (2) kegiatan menenun merupakan tradisi lama, namun masih menjadi tipikal keterampilan perempuan kelas menengah (Hardjono, 1990 dan Pleyte, 1912 dalam Keppy, 2001). Selain itu keterlibatan buruh-buruh di pabrik-pabrik tenun pada awal tahun 1930-an memberi bekal mereka untuk membuka usaha tenun sendiri.
Saat pasar semakin terbuka mereka dengan mudah mengambil kesempatan tersebut karena modal yang diperlukan untuk membeli alat tenun masih murah dan bahan baku bisa diperoleh dari para pengusaha seperti putting out system. Pada masa-masa berikutnya industri tenun rumahan semakin menjamur di mana-mana. Hampir setiap penduduk Majalaya memiliki peralatan tenun dan membuka usaha tenun sendiri. Oleh penduduk yang telah berusia lanjut masa tersebut dikenang sebagai masa-masa keemasan Majalaya.
Industri tenun Majalaya mencapai puncaknya pada awal tahun 1960-an dan mampu memproduksi 40% dari total produksi kain di Indonesia. Akhir tahun 1964 Majalaya menguasai 25% dari 12.882 ATM (Alat Tenun Mesin) di Jawa Barat. Hampir seluruhnya terkonsentrasi di Desa Majalaya dan Padasuka (saat ini dimekarkan menjadi 3 desa, yaitu Desa Sukamaju, Padamulya, dan Sukamukti) (Palmer, 1972 dan Matsuo, 1970). Namun, hal ini merupakan kemajuan secara umum karena jika ditelusuri pada saat yang sama para pengusaha tenun lokal sudah mulai kehilangan pengaruhnya dan untuk mempertahankan kelangsungan produksi banyak perusahaan lokal yang beralih ke sistem maklun.
Industri tenun rumahan juga sudah mulai tergeser dan bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan produk yang dihasilkan oleh ATM. pada masa-masa berikutnya mereka beralih melakukan kegiatan usaha yang sangat marginal, seperti pembuatan kain lap, urung kasur, dsb. Sejak tahun 1970-an banyak pabrik-pabrik pribumi yang dijual terhadap pengusaha asing atau WNI nonpribumi. Penjualan pabrik ini merupakan titik akhir dari rangkaian proses pengambilalihan perusahaan pribumi oleh pengusaha asing atau WNI nonpribumi.
Di era tahun 1973-1981 Indonesia mengalami masa oil boom dan sifat industrialisasinya sangat eksklusif pada substitusi impor. Faktor-faktor yang menentukan orientasi ke dalam adalah menumpuknya permintaan konsumen yang belum terpenuhi, cepatnya pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang dimotori oleh kenaikan harga-harga komoditas dan meluasnya campur tangan pemerintah. Keberhasilan industrialisasi yang berorientasi ke dalam dihambat oleh terbatasnya pasar dalam negeri. Pada awalnya, ekspansi industri terjadi dengan cepat karena pasar dalam negeri sudah tersedia dan dibantu oleh kebijakan proteksi. Namun lambat laun mulai menyusut karena pasar dalam negeri telah terpenuhi (Manning, 1998 ; Ariff dan Hill, 1988).
Sebagai akibat kebijakan substitusi impor, posisi industri tekstil dihadapkan pada: (1) inefisiensi, (2) tingkat produktivitas yang rendah, (3) tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap bantuan luar negeri, dan (4) iklim usaha yang kurang menunjang, seperti tingkat bunga bank yang tinggi. Kondisi ini akan berakibat langsung terhadap kemampuan atau daya saing Indonesia di pasar internasional (orientasi ekspor) (Kusnadi, 1985).
Pada awal tahun 1980-an, industri tekstil Indonesia mengalami kemandekan akibat terlalu besarnya ekspansi yang dilakukan pada tahun 1970-an. Jumlah produk yang dihasilkan terlalu besar sehingga pasar domestik mengalami kelebihan pasokan. Tahun 1981-1982 merupakan titik terburuk hingga memerlukan reorganisasi dan restrukturisasi terhadap keseluruhan industri yang secara terus-menerus ditekankan di tingkat nasional. Banyak pengusaha kecil di Majalaya mengalami bangkrut. Beberapa menutup usahanya, sedangkan lainnya mengurangi produksi secara drastis, yaitu hanya menggunakan 50% dari alat tenun yang dimilikinya dan pengurangan jam kerja menjadi 1 shift (7 jam/hari) biasanya 2 shift (10 jam/hari). (Kompas, 30 September 1982 dan UPT, 1983 dalam Hardjono, 1990). Krisis ini berkaitan dengan dampak resesi dunia terhadap perekonomian Indonesia yang mengakibatkan daya beli dalam negeri semakin menurun, proteksi dari negara-negara pengimpor terutama Eropa dan Amerika Serikat, kesulitan likuiditas, dsb. (Kusnadi, 1985).
Untuk mengatasi krisis tersebut pemerintah memperkenalkan sertifikat sistem ekspor dan fasilitas kredit bank (Wibisono, 1987 dalam Hardjono, 1987). Berkaitan dengan peninjauan kembali kebijakan substitusi impor, pemerintah mendorong produksi untuk orientasi ekspor. Sebelumnya pabrik-pabrik besar memproduksi kain kualitas menengah yang jangkauannya untuk konsumen domestik. Padahal secara teknis mereka dapat memproduksi kain yang berkualitas lebih baik.
Dengan terbukanya kesempatan ekspor mereka diharapkan dapat memproduksi kain yang berkualitas tinggi untuk pasar ekspor sehingga dapat mengurangi kompetisi di pasar domestik (Ariff dan Hill, 1988; Hardjono, 1990). Upaya pemerintah yang lain adalah melakukan program ”bapak angkat”. Program ini tidak berjalan karena sejak awal telah muncul keluhan-keluhan dari ”bapak angkat” mengenai rendahnya kualitas kain yang diproduksi ”anak angkat”. Sementara itu, ”anak angkat” juga mengeluhkan rendahnya keuntungan yang diperoleh.
Akan tetapi pada praktiknya, program ini tidak berbeda jauh dengan sistem maklun (sistem subkontrak). Akhirnya produsen-produsen kecil sudah tidak tertarik lagi dengan program ini. Akhir tahun 1985, secara umum industri tekstil Majalaya mulai berada dalam posisi yang lebih baik daripada awal tahun 1980-an. Mereka mulai meraih keuntungan dari kemunculan pabrik-pabrik besar di berbagai daerah, seperti Kotamadya Bandung dan kecamatan-kecamatan di Dayeuhkolot, Cimahi, serta Ujungberung.
Mayoritas produsen Majalaya mulai merasakan perluasan pasar ini (Hardjono, 1990). Namun ini juga berarti kontrol terhadap keberlangsungan industri tekstil Majalaya menjadi semakin jauh dari tangan para pengusaha lokal karena sangat bergantung pada order dari industri-industri besar tersebut. Sementara risiko yang harus ditanggung cukup tinggi karena mereka harus berurusan langsung dengan para buruhnya. Segala macam tuntutan buruh tidak ditujukan pada pemberi order, tapi pada penerima order yang jika diperhatikan dalam keseluruhan rantai produksi yang ada mereka juga dikategorikan sebagai buruh.
Sejak akhir tahun 1990-an hingga sekarang kondisi industri tekstil di Majalaya menjadi semakin menurun, terutama pada industri skala menengah ke bawah yang banyak dimiliki oleh para pengusaha lokal. Terlebih lagi ketika terjadi kebakaran pasar Tanah Abang bulan Februari lalu. Kejadian tersebut sangat memukul kegiatan pemasaran mereka karena Tanah Abang merupakan jalur pemasaran utama bagi produk-produk tekstil lokal Majalaya.
Berdasarkan penuturan buruh-buruh di Majalaya saat ini mereka menghadapi kesulitan yang sangat besar karena beberapa pabrik besar sudah mulai melakukan pengurangan jam kerja (pengurangan produksi) dan PHK terutama pada buruh kontrak. Bahkan, beberapa pabrik-pabrik kecil sudah mulai menutup usahanya karena tidak mampu menanggung biaya produksi yang semakin besar akibat kenaikan BBM dan TDL. Kebangkrutan pabrik-pabrik ini juga merupakan bencana bagi buruh-buruhnya juga kegiatan ekonomi lainnya yang didukung atau secara tidak langsung mendukung kelangsungan industri, seperti warung, penyewaan kamar (kost), sarana transportasi (angkutan umum, kereta kuda, dsb.).
Buruh-buruh yang mengalami korban PHK di Majalaya mengalami kesulitan yang cukup besar terutama bagi buruh yang telah berkeluarga. Sebagian besar dari mereka terdorong ke sektor informal. Dari uang pesangon yang diperoleh mereka mencoba berbagai kegiatan usaha seperti menjadi pedagang keliling, tukang kredit, membuka warung, dsb. Kegiatan-kegiatan tersebut menjadi salah satu cara bertahan hidup mereka hingga mereka memperoleh pekerjaan kembali.
Bagi penduduk setempat terutama generasi tua, kondisi saat ini menjadi semakin sulit karena mereka sudah kehilangan penopangnya yaitu sektor pertanian yang beberapa periode sebelumnya dapat dijadikan alternatif ketika industri tekstil sedang mengalami penurunan. Saat ini areal pertanian sudah tidak menjadi alternatif mata pencaharian penduduk, selain karena areal pertanian yang semakin sempit (tergeser oleh areal industri) dan juga beralihnya orientasi pekerjaan penduduk (terutama penduduk muda).
Penurunan industri tekstil di Majalaya ini harus segera mendapat perhatian dari pemerintah tidak hanya dalam upaya membangkitkan industri tekstil, tapi juga dalam hal pengawasan implementasi UU Ketenagakerjaan. Mengapa kedua hal itu harus diperhatikan karena (1) Industri tekstil Majalaya terutama pengusaha lokal sedang di ambang kebangkrutan dan akan mengancam kelangsungan hidup buruh-buruhnya; (2) Banyaknya perusahaan yang masih stabil mencoba memanfaatkan kesempatan ini dengan mem-PHK buruh tetapnya dengan alasan bangkrut kemudian mempekerjakan buruh-buruh kontrak. Meskipun status buruh kontrak juga berarti hilangnya jaminan sosial dan rentannya status pekerjaan mereka, tapi tidak menyurutkan keinginan para pencari kerja.
Gerakan perburuhan
Perkembangan industri tekstil Majalaya juga tidak dapat dilepaskan dari gerakan perburuhan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, politik di tingkat makro. Pada tahun 1982-1997 gerakan perburuhan di Indonesia diwarnai dengan keterlibatan militer dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang terus meluas. Saat itu pemerintah lebih memerhatikan pengawasan terhadap buruh daripada upaya perlindungan buruh (Manning, 1998). Hal ini tampak dari banyaknya pelanggaran pengusaha terhadap hak-hak normatif buruh, seperti UMR, cuti melahirkan, cuti haid, uang pesangon. Padahal penetapan peraturan perlindungan buruh telah ditetapkan sejak awal 1970-an.
Ratifikasi konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi dan Konvensi ILO No. 98 tentang hak untuk berorganisasi dan berunding bersama pada tahun 1998. Kemudian disahkannya UU No. 21/2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh oleh pemerintah tahun 2000 juga mewarnai aktivitas perburuhan di Majalaya. Pada masa ini bermunculan berbagai serikat buruh baik yang mandiri maupun yang terdaftar di Disnaker. Mereka berusaha untuk memperoleh anggota sebanyak-banyaknya.
Nuansa kompetisi di antara mereka sangat kental dan semakin memecah kekuatan serikat buruh. Padahal, persoalan yang dihadapi sangat membutuhkan soliditas di antara serikat buruh. Salah satu cara untuk menarik anggota adalah dengan mengajukan berbagai tuntutan pada perusahaan yang seringkali menjadi bumerang bagi buruhnya. Tidak sedikit aktivis serikat buruh atau buruh yang di PHK karena mengajukan tuntutan bahkan ketika akan membentuk serikat buruh di tingkat pabrik. Hal ini menjadi indikasi bahwa kebebasan berserikat belum sepenuhnya berjalan. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Majalaya juga daerah konsentrasi industri lainnya.
Pekerja lokal vs pendatang
Belakangan ini penduduk Majalaya semakin merasakan sempitnya peluang kerja yang ada karena mereka harus bersaing dengan para pendatang yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Bandung, dsb. Hal ini juga pernah menjadi pemicu konflik antara penduduk setempat dan pabrik serta penduduk lokal dan pendatang. Permasalahan ini harus segera dicarikan solusinya agar tidak menimbulkan konflik yang lebih besar di kemudian hari.
Berdasarkan penuturan beberapa penduduk Majalaya baik yang generasi tua maupun muda sebelum tahun 1990-an mereka merasakan kemudahan dalam mencari pekerjaan karena banyak pabrik yang berdiri sementara tenaga kerja masih terbatas. Mereka dapat dengan mudah berganti-ganti pekerjaan. Saat itu persyaratan kerja tidak seketat sekarang meskipun pendidikan rendah dan kemampuan seadanya mereka tetap dapat diterima bekerja.
Namun saat ini preferensinya berubah, syarat pendidikan minimal SMP bahkan perusahaan-perusahaan besar mensyaratkan SMA, memiliki tinggi badan tertentu, dsb. Perubahan ini membatasi kesempatan bekerja bagi penduduk lokal yang rata-rata berpendidikan rendah. Mereka hanya bisa menempati perusahaan-perusahaan kecil yang upahnya masih jauh di bawah ketentuan upah minimum dan tidak memiliki jaminan sosial apa pun.
Terdapat beberapa perbedaan kebijakan antara perusahaan ”besar” dan ”kecil” terutama menyangkut tingkat upah, implementasi UU Ketenagakerjaan dan preferensi buruh. Perusahaan kecil biasanya tidak memberlakukan UU Ketenagakerjaan, standar upahnya minim, tidak memiliki jaminan sosial yang jelas. Sebagai timbal baliknya mereka tidak menentukan batasan usia dan pendidikan tertentu bagi buruhnya dan jam kerja lebih longgar.
Sedangkan perusahaan besar mengacu pada UU Ketenagakerjaan, memiliki standar penerimaan buruh (proses seleksi), jam kerja ketat dengan sistem shift. Perusahaan besar banyak mempekerjakan pendatang karena selain memenuhi persyaratan tersebut juga ada stereotip tertentu mengenai buruh pendatang yaitu tidak banyak menuntut dan rajin bekerja. Apakah ini berarti bahwa penduduk setempat banyak menuntut dan tidak rajin? Saya tidak tahu pasti mengenai hal tersebut.
Namun yang jelas perbedaan kebijakan antara perusahaan kecil dan perusahaan besar ini menyebabkan perbedaan kondisi buruhnya. Artinya kebijakan yang berlaku juga harus sangat memerhatikan keragaman karakteristik industri dan buruhnya. Karakteristik buruh yang berbeda di masing-masing skala usaha sangat penting diperhatikan oleh para organisatoris gerakan buruh dan pemerintah untuk lebih memerhatikan jaminan sosial dan upaya perlindungannya. Apalagi, sebagian besar penduduk Majalaya telah menjadi bagian industri dan menjadi salah satu penopang laju ekonomi nasional yang berbasis industri tekstil. (dari http://majalayaku.wordpress.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar