Pada abad ke-20 sebelum Perang Dunia II meletus, nun jauh di Eropa sana, para pemikir besar Prancis macam Albert Camus, Sartre, Simon de Beauvoir, dan komplotannya biasa berdiskusi sambil menghabiskan kopi di Café pinggiran Sungai Seine. Adakah mereka sadar bahwa kopi yang mereka minum diperas dari negara terjajah macam Indonesia.
Kopi adalah bagian dari gaya hidup. Bagi orang-orang Eropa; semisal Inggris dan Prancis, kopi dianggap sebagai sarana yang menunjang diskusi ruang publik. Bagi mereka, kopi mengakomodir terjadinya diskusi berbau politik, bahkan tak jarang kental dengan unsur akademis. Bagi kita; negara dunia ketiga, di masa dua abad silam, kopi adalah perlambang dari kolonialisme sekaligus penindasan. Tapi, ya sudah lah, toh itu masa lalu, namun dari masa lalu itu pula kita bisa tahu bahwa Priangan merupakan salah satu daerah tertua yang pertama kali mengenal kopi di Hindi-Belanda (Indonesia). Perlu diketahui bahwa bibit kopi pertama ternyata sampai lebih dulu di Malabar. Oleh seorang Belanda, bibit tersebut dikirim ke ke Gubernur Belanda di Batavia pada 1696, namun pengiriman tersebut hilang karena di Batavia terjadi banjir. Barulah pada 1699 dilakukan pengiriman ulang. Selepas itu, keuntungan besar yang menjanjikan dari budidaya tanaman kopi mendorong VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) untuk memperluas daerah pembudidayaan kopi, maka dilakukanlah perluasan budidaya kopi ke daerah Sumatera, Bali, Sulawesi, hingga Timor.
Khusus di daerah Priangan, penanaman kopi mulai tersebar luas sekitar 1720 seiring dengan diperkenalkannya Preanger Stelsel, yaitu semacam tanam paksa kopi bagi rakyat pribumi, yang hasilnya disetorkan kepada pemerintah Belanda. Dari kondisi yang demikian, para pemimpin lokal seperti para Bupati menjadi alat yang pas untuk dimanfaatkan pemerintah Belanda. Maka, bermunculanlah berbagai gelar kebangsawanan, serta berbagai kemewahan yang ditawarkan oleh Belanda. Tentu saja ini tidak cuma-cuma; bupati yang paling banyak menyetor, mendapatkan kemewahan dan status sosial yang lebih tinggi. Efeknya, bupati terus mendorong rakyatnya menanam kopi. Simpulannya, komoditi kopi di masa lampau memiliki hubung kait dengan kondisi sosial masyarakat di Priangan.
Kota Bandung sebagai salah satu wilayah penting, pastinya turut terpengaruh dengan kebijakan Preangerstelsel-nya Belanda. Seandainya tak diberlakukan Preangerstelsel, mungkin saja hari ini kita tidak bisa melihat Gedung Balai Kota. Gedung yang merupakan salah satu gedung tertua di Kota Bandung tersebut, dibangun pada 1819 sebagai gudang kopi atau disebut sebagai Koffie Pakhuis. Saking berpengaruhnya kopi dalam kebudayaan di Priangan, hingga saat ini dikenal istilah “ngopiâ€. Bagi masyarakat Sunda, istilah ngopi bukan sekedar identik dengan minum kopi, namun juga mengacu pada menyantap hidangan camilan seperti ubi rebus, pisang goreng, kue-kue dan lain-lain. Artinya, seiring berkembangnya zaman, istilah ngopi bagi masyarakat Sunda telah mengalami perluasan makna. Ini juga memberikan kita penerangan bahwa kebiasan ngopi di kalangan masyarakat Sunda sudah terjadi sejak lama.
Istilah Preanger Planter –yang artinya pengusaha perkebunan—pun begitu popular pada awal abad ke-20 di Bandung. Hal ini juga memberi kesan betapa perkebunan kopi sangat mungkin banyak tersebar di sekitar Bandung.
Fabriek Koffie Aroma
Hingga saat ini sisa-sisa kejayaan kopi masih bisa kita temui di Bandung, khususnya di sebuah toko/pabrik kopi di Jalan Banceuy yang bernama Fabriek Koffie Aroma. Pabrik kopi ini dirintis oleh Tan Houw Sian sejak tahun 1930-an. Sebelum memiliki pabrik sendiri, di tahun 1920-an Tan Houw Sian menjadi pekerja di pabrik kopi milik Belanda. Upah dari hasil kerja seharian itu terus ditabungya sehingga ia bisa merintis pabrik kopi pada tahun 1930 dan membeli sendiri mesin pengolah kopi. Kini, pemilik Fabriek Koffie Aroma telah diwariskan ke generasi kedua, yaitu Bapak Widyapratama, anak dari Tan Houw Sian.
Kendati hampir kalah pamor oleh aneka coffeehouse yang serba mewah dan mahal, kopi Aroma tetap menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi para penikmat kopi sejati. Keunikan kopi Aroma terletak dari cara pengolahannya yang masih klasik. Sebagian besar peralatan pengolahan kopi pun masih menggunakan peralatan lama. Misalnya tungku pengolah yang telah berusia 78 tahun. Tungku tersebut merupakan tungku buatan Jerman tahun 1936 dengan merk Probat. Kayu bakar yang dipilih adalah kayu dari Pohon Karet. Kayu jenis ini tidak menimbulkan asap tebal, tidak membuat perih mata sekaligus tidak mempengaruhi aroma dan rasa kopi. Dalam Setiap harinya, Pabrik Kopi Aroma menyangrai tidak kurang dari 200 kg kopi robusta dan arabika. Dari 200 kg tersebut hanya akan menghasilkan 160 kg karena penyusutan kandungan kopi. Setelah dipilih biji yang bagus, biji kopi kembali diayak kemudian digiling dan dikemas sesuai permintaan pembeli. Harga kopi di toko ini pun relatif murah. Dengan Rp. 18.500, pembeli bisa mendapatkan 250 gram kopi robusta dengan kualitas yahud. Adapun kopi Arabika dijual dengan harga Rp. 22.500 saja per 250 gram-nya.
Salah satu sebab yang membuat kopi Aroma terasa spesial adalah biji kopi yang disangrai merupakan biji kopi yang telah disimpan selama delapan tahun !! Sungguh sangat lama memang, namun dengan waktu selama itu, kadar kafein yang terkandung dalam kopi akan semakin rendah. Rendahnya kadar kafein ini tidak akan membuat perut kembung dan tidak menimbulkan rasa kecut di tenggorokan. Lamanya proses penyimpanan disebut sebagai proses aging yang bermanfaat untuk memantapkan cita rasa kopi.
Fabriek Koffie Aroma bisa dikatakan sebagai warisan Bandoeng Tempo Doeloe yang masih tersisa. Selain memiliki cita rasa yang khas, Fabriek Koffie Aroma juga menawarkan nuansa jadul yang cukup kental, terlihat dari bangunan Art Deco yang masih nampak serta tampilan di bagian depan toko. Pada bagian depan, sebelum memasuki ruang pengolahan, terdapat ruang kaca yang dipagari mesin pemecah biji kopi dan toples gelas besar tempat kopi serta timbangan. Dari pintu ke bagian utama bangunan yang terbuka, akan terlihat tiga buah sepeda kuno tergantung di dinding atas. Selain itu digantung pula beberapa poster iklan kuno yang menawarkan kopi Aroma. Nuansa jadul pun semakin terasa ketika melihat kemasan Kopi Aroma, di mana terdapat tulisan dengan ejaan lama.
Menikmati kopi secara langsung di Fabriek Koffie Aroma agaknya bisa menghadirkan sensasi yang lengkap; kopi yang mantap dipadu dengan nuansa tempo dulu. Rasa-rasanya menikmati kopi di sini tidak kalah prestisius dengan para intelektual Eropa yang doyan minum kopi sambil menikmati romantisme kota.
H.G. Budiman
(http://hgbudiman.wordpress.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar