Minggu, 17 Agustus 2014

Mengecap Manisnya Taman Museum Gula


Museum Gula di PG Gondang Baru, Klaten
Tut.. Tut.. Tut.. Suara lokomotif meraung-raung. Membelah suasana sepi di Pabrik Gula Gondang Baru Klaten. Lokomotif bercat hijau yang bertulis SCHOEMA DUCROLINDE N.V. ini tidak sedang menarik gerbong pengangkut tebu. Melainkan sedang mengangkut siswa-siswi SD yang bertamasya berkeliling pabrik. Tampak raut wajah anak-anak ini begitu ceria dan gembira. Mereka begitu menikmati wisata kereta mengelilingi Pabrik Gula.
Di dalam pabrik, beberapa mahasiswa Teknik Mesin sibuk mengamati mesin-mesin produksi gula. Kepada pemandu, mereka rajin bertanya tentang aneka jenis mesin. Mereka juga menanyai pekerja pabrik yang sedang merawat dan memperbaiki mesin. Saat itu, pabrik sedang tidak berproduksi karena bukan musim giling gula. Setiap kali mendapat informasi, para mahasiswa peneliti ini merekam dan mencatatnya dengan cermat dan teliti. Mahasiswa peneliti ini mengitari bagian-bagian pabrik seperti Stasiun Gilingan, Stasiun Ketel, Stasiun Puteran, Stasiun Pendingin, Stasiun Masakan, Stasiun Penguapan dan Stasiun Pemurnian.
Sebuah taman rumput luas yang menghijau terletak di beranda Pabrik Gula. Di sana anak-anak TK  berlari berkejar-kejaran serta berguling-gulingan. Sesekali, mereka pura-pura berkelahi, tapi seketika dilerai oleh pendampingnya. Di sisi depan taman, terdapat kolam dengan air mancur yang dikelilingi bunga dan tanaman hias. Beberapa anak dengan didampingi orang tuanya mengamati ikan-ikan yang riang berkejaran di dalam kolam.
Priiiiiit.. Priiit.. Tiba-tiba suara peluit berbunyi nyaring. Itu tanda berkumpul. Anak-anak TK langsung berkumpul ke tengah taman. Ternyata, itu adalah instruksi untuk makan siang. Anak-anak langsung menyerbu gazebo-gazebo di pinggir taman. Di sanalah makan siang dibagikan. Di bawah pohon-pohon rindang di sekitar taman, mereka begitu nikmat melahap makanan. Tampaknya mereka kecapekan setelah asyik bermain-main di kawasan Pabrik Gula.
Rombongan ratusan siswa SMP baru tiba di Gondang Baru. Keluar dari bis, siswa-siswi SMP ini langsung berjalan menuju Museum Gula Jawa Tengah. Sebuah bangunan tua berarsitektur klasik Eropa yang dikelilingi dengan taman berhiaskan lokomotif, mesin dan alat-alat pabrik gula yang kuno. Dengan ditemani pemandu, mereka berkeliling menyusuri setiap bagian museum. Siswa-siswi ini mendapat tugas mencatat benda-benda yang ada di museum lalu mendokumentasikan dalam bentuk laporan.

Mesin Stasiun Penguapan di Pabrik Gondang Baru. @iqbal_kautsar
Peta interaktif lokasi perkebunan dan pabrik gula di wilayah PTPN IX menyambut petualangan para pengunjung di Museum Gula. Di sampingnya ada denah Pabrik Gula Gondang Winangoen Klaten. Ruangan selanjutnya berisikan bibit-bibit tebu yang diawetkan bersanding dengan hama dan gulma tebu yang juga diawetkan. Sebagian besar benda-benda museum adalah peralatan lama PG Gondang Winangoen yang digunakan untuk memproduksi tebu dari mentah sampai menjadi gula. Misalnya, garpu mata, pacul, sabit, alat destilasi, sugar siker shaver, pengering ampas hingga mesin jahit untuk memproduksi karung.
Di dalam museum, bisa ditemukan juga berbagai foto dokumentasi tradisi upacara selamatan ketika akan memulai giling tebu. Misalnya, upacara selamatan temanten tebu dengan upacara pendukungnya seperti pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk. Ada juga dokumentasi penanaman sesaji yang menggunakan kepala kerbau atau sapi demi memohon keselamatan selama masa dan pascaproduksi.
Koleksi museum yang berukuran besar diletakkan di taman sekitar museum. Ada lori uap tertua tahun 1818 yang bernama Simbah, buatan Jerman. Selain itu, ada juga sebuah pedati tua, lori buatan Jerman 1901, gerbong pengangkut tebu, gerigi untuk mesin pabrik, instalasi uap, dan lain-lain. Sepasang muda-mudi tampak sedang asyik berfoto dengan obyek lori Simbah itu. Mereka terlihat begitu senang berfoto dengan jejak peninggalan pergulaan di era lampau. Senyum sang perempuan manis merekah di hadapan kamera. Ciiiis.. Jepreet..
Suasana di atas adalah penggambaran aktivitas wisata yang dilakukan pengunjung di Pabrik Gula Gondang Baru. Pabrik gula tua yang didirikan tahun 1860 ini berhasil bertransformasi tidak sekedar sebagai pabrik yang memproduksi gula. Melainkan juga sebagai destinasi pilihan bertamasya masyarakat. Di Pabrik Gula Gondang Baru, masyarakat bisa melakukan berbagai macam jenis wisata, yakni wisata sejarah, wisata edukasi, wisata arsitektur hingga wisata budaya.
Secara umum, konsep tempat wisata Pabrik Gula Gondang Baru bisa diterapkan di setiap Pabrik Gula tua di Indonesia. Setiap pabrik gula tua memiliki ciri khas bangunan-bangunan tua zaman kolonial. Pabrik gula juga memiliki peralatan-peralatan pabrik yang telah beroperasi semenjak zaman Belanda dulu. Termasuk memiliki lori pengangkut tebu yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan wisata keliling. Dari segi fisiknya, pabrik gula tua memiliki potensi besar untuk menjadi sebuah kawasan wisata.
Meski demikian, paling penting adalah pabrik gula memiliki sejarah panjang yang berhubungan erat dengan perjuangan bangsa Indonesia. Di masa penjajahan Belanda, pabrik gula bisa dianggap sebagai simbol ketertindasan rakyat yang kemudian menggerakkan rakyat berjuang melawan penjajah. Ada dimensi nasionalisme yang pekat di pabrik gula. Oleh karena itu, begitu penting ketika pabrik-pabrik gula ini ditransformasikan menjadi destinasi wisata sejarah. Generasi bangsa Indonesia pun memiliki tempat belajar untuk merawat memori sejarah bangsanya.

Jangan Melupakan Sejarah Gula
Proklamator Indonesia, Ir. Soekarno, selalu mengingatkan kita – bangsa Indonesia – dengan adagium abadinya: “Jangan melupakan sejarah!” Merawat ingatan terhadap sejarah tentu tak boleh pilih-pilih. Tak hanya sekedar sejarah yang manis, sejarah kelam bangsa Indonesia pun perlu diingat.
Jika sejarah pergulaan Indonesia sangat kental dengan aroma kolonialisme penjajah, tentu kita tak boleh melupakannya. Malah harus cermat mengingat-ingat sebagai landasan untuk mencegah agar tak terulang di masa depan. “Ambil pelajaran di masa lalu untuk dimanfaatkan di masa kini dan masa depan”, begitu orang bijak berkata.
Tanaman tebu mulai dikembangkan secara besar-besaran di Indonesia (saat itu namanya masih Hindia Belanda) ketika Gubernur Van der Bosch mencetuskan sistem Tanam Paksa pada tahun 1830. Tebu ditetapkan menjadi tanaman utama Hindia Belanda bersama kopi, tembakau, kina, karet dan kelapa sawit.
Dengan demikian, dibuatlah secara masif perkebunan tebu di Pulau Jawa dan Madura. Perkebunan tebu terbentang dari Cirebon hingga Semarang, selatan Muria hingga Juwana, daerah Mataram, Madiun, Kediri, Besuki, sepanjang Probolinggo hingga ke Malang melalui Pasuruan, dari Surabaya barat daya hingga Jombang (Notosusanto dan Poesponegoro, 2008).
Dalam Peraturan Tanah Negara (Domain Verklaring) 1870 dinyatakan bahwa seluruh tanah di seluruh Hindia Belanda khususnya Jawa dan Madura adalah milik negara atau pemerintah kolonial (Notosusanto dan Poesponegoro, 2008). Lahan perkebunan tebu dengan mudah didapatkan oleh pemerintah kolonial karena secara legalitas semua tanah dianggap milik pemerintah. Meski bagi perusahaan swasta diatur bahwa mereka harus menyewa tanah dari masyarakat, pada kenyataannya swasta berkomplot dengan pemerintah membayar tidak sesuai ketentuan. Di sini hak-hak rakyat yang memiliki tanah dirampas begitu saja oleh kolonial untuk penyediaan lahan perkebunan tebu.
Selain itu, pengerahan tenaga kerja untuk perkebunan tebu membawa kesengsaraan pedih bagi rakyat. Mereka bekerja di perkebunan-perkebunan Hindia Belanda dengan upah yang minim. Bahkan, seringkali mereka tidak diupahi karena dikorupsi oleh pejabat pemerintah dan perkebunan Hindia Belanda. Banyak pekerja dan keluarganya yang meninggal akibat tanam paksa di perkebunan tebu. Mereka kelelahan, kelaparan dan terjangkit penyakit mematikan.
Banyaknya perkebunan tebu mendorong pendirian pabrik gula yang banyak dan besar pula. Didirikanlah pabrik gula di sentra-sentra perkebunan tebu. Mesin-mesin pabrik gula berteknologi terbaru pada masanya didatangkan dari Eropa. Lori pengangkut tebu juga diimpor dari Eropa, terutama dari Jerman. Tak ketinggalan, rel-rel lori tebu banyak dibangun untuk menghubungkan perkebunan tebu dengan pabrik gula. 
Rel-rel Lori menghubungkan pabrik gula dengan perkebunan tebu di sekitar pabrik. @iqbal_kautsar
Lori tebu yang kini digunakan sebagai kereta wisata berkeliling pabrik gula. Lori SCHOEMA DUCROLINDE N.V sedang melintas
di depan pabrik gula Gondang Baru. @iqbal_kautsar
Untuk menggerakkan pabrik gula di Hindia Belanda, maka didatangkanlah tenaga-tenaga ahli terampil dari negara-negara Eropa. Adapun orang-orang pribumi direkrut menjadi buruh kasar dan pegawai rendahan. Penguasa-penguasa daerah pun dilibatkan dalam industri gula, yakni sebagai broker penyedia buruh pabrik dan perkebunan. Sekaligus, penguasa daerah ini sebagai kepanjangan tangan kolonial untuk memastikan industri gula berjalan baik di wilayahnya.
Sistem industri gula Hindia Belanda memetik hasil besarnya pada awal abad 20. Gula Hindia Belanda diekspor besar-besaran hingga menguasai pasar Eropa. Ini tidak terlepas dengan meningkatnya permintaan di negara-negara Eropa. Di sisi lain, di dalam negeri terjadi efisiensi penanaman, pemanenan dan penggilingan tebu sehingga memungkinkan produktivitas pabrik gula dan perkebunan tebu lebih baik. Pengembangan jenis tebu baru, yakni POJ 1878 pada tahun 1924 turut berperan meningkatkan produksi tebu di Hindia Belanda.
Tercatat pada tahun 1929, ada 180 pabrik gula yang beroperasi di Jawa dan Madura (Notosusanto dan Poesponegoro, 2008). Pabrik gula Hindia Belanda mampu memproduksi gula sebesar 3 juta ton dengan areal pertanaman seluas 200.000 ha. Pada masa itu, perkebunan tebu dan pabrik gula menjadi motor perekonomian Hindia Belanda, terutama di Pulau Jawa. Industri gula mendatangkan keuntungan besar pemilik pabrik dan memberikan pajak yang besar untuk pemerintah kolonial.
Meski begitu, adanya Great Depression yang terjadi di Eropa akhir 1930-an menjadikan industri gula di Jawa menurun. Menurunnya permintaan mengakibatkan produksi gula menurun. Tercatat pada 1935, di pulau Jawa hanya tinggal 45 pabrik gula yang beroperasi. Banyak juga perkebunan tebu yang tidak ditanami dan dialihfungsikan menjadi lahan lain.
Penurunan industri gula kian menjadi-jadi ketika Jepang menjajah Indonesia pada periode 1942-1945. Pabrik-pabrik gula di Jawa banyak yang berhenti berproduksi. Sebagian besar digunakan Jepang sebagai gudang senjata, amunisi dan logistik perang. Lahan tebu diganti dengan tanaman lain yang berguna bagi Jepang dalam Perang Pasifik, seperti tanaman jarak. Masyarakat Indonesia kian menderita karena kekejian penjajahan Jepang, tak terkecuali para petani tebu dan buruh pabrik gula.
 Keadaan berangsur-angsur membaik ketika Indonesia meraih kemerdekaan. Banyak pabrik-pabrik gula bangkit kembali setelah diambil alih oleh pemerintah dan swasta. Lahan-lahan perkebunan tebu pun mulai ditanami oleh masyarakat di berbagai daerah. Industri gula pun mulai bergeliat kembali menggerakkan perekonomian masyarakat.
Sayangnya dalam perkembangannya, industri gula di Pulau Jawa tidak bisa lagi sepesat dan sebesar pada era awal abad 20 dimana Indonesia (Hindia Belanda) bisa menjadi penghasil gula terbesar kedua dunia setelah Kuba. Bahkan, saat ini produksi gula dalam negeri tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Akibatnya, pemerintah harus melakukan impor gula. Penyebab penurunan ini adalah faktor teknologi, ekonomi, dan sosial budaya yang kompleks. (Muninggar, 2012)
Walaupun begitu, telah ada komitmen dan upaya meningkatkan produksi gula Indonesia. Upaya sinergis antara pemerintah, BUMN, swasta dan masyarakat telah ditingkatkan secara intensif (Susila dan Sinaga, 2005). Pemerintah Indonesia berusaha menggalakkan program swasembada gula.
Menarik mencermati sejarah panjang gula di Indonesia. Sejarah industri gula sangat erat kaitannya dengan sejarah kolonialisme penjajah. Industri gula juga menjadi refleksi bangsa yang belum mampu menggapai kemandirian gula dalam negeri hingga saat ini. Belum lagi, dalam setiap etape sejarah yang dilaluinya, industri gula memberikan cerminan keprihatinan bahkan ketertindasan untuk rakyat Indonesia, terutama para petani tebu. Sejarah pergulaan Indonesia tidak semanis rasa gula yang dimilikinya.  
Realitas buruk kehidupan masyarakat dalam industri gula Pulau Jawa terekam baik dalam novel Bumi Manusia (2005), masterpiecesalah satu sastrawan terbaik Indonesia: Pramoedya Ananta Toer. Bagaimana Pram – sapaannya – dengan apik mengambil latar lokasi perkebunan dan pabrik gula di Jawa untuk menggugah rasa nasionalisme bangsa dari situasi ketertindasan rakyat.
Salah satu latar lokasi paling utama adalah Pabrik Gula Toelangan Sidoarjo, yang hingga kini masih beroperasi di bawah manajemen PTPN X. Di pabrik ini, bisa kita saksikan kondisi kemelaratan dan ketertindasan para petani tebu dan buruh pabrik. Di sisi lain, pejabat tinggi pabrik dan kolonial Belanda hidup bermewah-mewahan. Sejarah umum pergulaan Indonesia di masa kolonial bagi rakyat Indonesia tak berbeda jauh dari substansi narasi di Novel Bumi Manusia.
Namun demikian, tetap saja ada perspektif positif yang dapat diambil dari perjalanan panjang sejarah gula di Indonesia. Notosusanto dan Poesponegoro (2008) menyatakan bahwa melalui perkebunan tebu, masyarakat Pulau Jawa mengenal upah yang diberikan dalam bentuk uang sebagai alat pembayaran yang sah. Perkebunan dan pabrik gula juga menjadi pionir tentang organisasi, kekuatan keuangan, kemajuan teknik, efisiensi dan laba yang melahirkan kemajuan pesat dalam bidang pertanian.
Mesin-mesin yang digunakan pabrik gula di era 1920-1930an merupakan teknologi paling maju di masanya. Bahkan, dari mesin-mesin itu sampai saat ini masih ada yang digunakan untuk berproduksi meski terbatas kapasitasnya. Arsitektur-arsitektur pabrik gula termasuk rumah tempat tinggal mandor dan pejabat pabrik menciptakan kesan artistik dan seni yang khas Eropa. Sisa-sisa arsitektur ini sangat bagus untuk dijadikan sebagai aset wisata di masa kini.
 Selain itu, dari perdagangan gula, beberapa kota di Pulau Jawa berkembang pesat, seperti kota pelabuhan Semarang, Surabaya dan kota-kota lainnya.  Mereka menjelma menjadi simpul-simpul ekonomi Pulau Jawa hingga kini.

Membuka Tabir Potensi Wisata Sejarah Pabrik Gula
“Manusia memerlukan simbol-simbol untuk mengenang sejarah masa lalu” – John A. Walker.
Pernyataan tersebut mengingatkan bahwa secara alamiah kita tak bisa lepas dari sejarah yang dulu kita alami. Untuk mengenang sejarah itu, kita membutuhkan sesuatu yang nyata dan simbolis. Sesuatu yang bisa dicerna oleh indera. Sesuatu hal yang bisa kita lihat, cium, dengar, sentuh, raba, pegang. Dari sesuatu yang kasat oleh indera ini, manusia akan merekam dan menyimpan ke dalam memorinya bahkan sampai hati nuraninya.
Pun, sejarah gula di Indonesia membutuhkan suatu simbol untuk bisa dikenang dan dimaknai. Tidak cukup sejarah gula dinikmati dari narasi-narasi di buku bacaan atau situs internet. Indera tidak bisa menyentuhnya secara sempurna. Oleh karena itu, sejarah gula perlu didekatkan dengan simbol-simbol utamanya, yakni pabrik gula dan realitasnya. Pabrik gula merupakan simbol dari sejarah gula paling utama. 
Dalam buku Heritage, Tourism and Society (1995) karya D.T. Herbert, sebuah sejarah dan bangunan sejarah lebih mudah dikenal dan dipahami masyarakat umum ketika dikemas dalam bentuk wisata. Wisata di sini yang dimaksud adalah wisata sejarah. Wisata sejarah diistilahkan dalam berbagai buku seperti Heritage Marketing karya Shashi Misiura atau karya D.T Herbert sebagai heritage tourism.
Seorang siswi SMP sedang mencatat koleksi Museum Gula Gondang Baru sebagai tugas kunjungan wisatanya. @iqbal_kautsar
Di banyak negara, wisata sejarah telah menjadi pilihan berwisata paling favorit bagi para wisatawan. Di Inggris, wisata sejarah yang tercermin pada kunjungan museum menempati peringkat pertama pilihan wisatawan. Dari data Treasury UK, total 2.500 museum di Inggris menerima lebih dari 100 juta kunjungan tiap tahun, lebih besar dari penonton seluruh pertandingan olah raga di Inggris. Di Amerika Serikat, museum adalah salah satu dari 5 tempat favorit warga Amerika Serikat.
Kota-kota di dunia seperti Venesia di Italia, Krakow di Polandia, Paris di Prancis, Budapest di Hongaria adalah tujuan favorit para wisatawan. Kota-kota ini memiliki bangunan-bangunan bersejarah yang berasitektur indah dan khas. Setiap tahun jutaan wisatawan dari seluruh dunia berkunjung untuk menikmati artefak sejarah peradaban ini. Berdasarkan data Onecarribean, wisatawan penikmat sejarah, warisan peradaban dan budaya mencapai 20 persen dari total wisatawan dunia. Wisata sejarah menjadi salah satu tren yang berkembang di bidang pariwisata dunia.
Lokomtif Simbah dipajang di taman museum.
Buatan 1818. @iqbal_kautsar
Di Indonesia, wisata sejarah sedang mengalami perkembangan positif. Meskipun tidak signifikan, telah terjadi peningkatan kunjungan terhadap obyek-obyek wisata sejarah yang terkenal, seperti Candi Prambanan, Candi Borobudur, Lawangsewu, dan lain-lain. Selain itu, mulai berkembang pula wisata-wisata kawasan Kota Tua, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya yang ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik dan mancanegara.
Kabar baiknya juga, semakin banyak masyarakat yang peduli terhadap warisan sejarah bangsa. Sekarang telah terbentuk komunitas-komunitas yang bergerak pada bidang sejarah. Mereka sering melakukan penelusuran dan kunjungan ke obyek-obyek sejarah yang belum dikenal. Dari komunitas-komunitas ini, obyek wisata sejarah alternatif mulai dikenal masyarakat luas. Tentunya ini adalah sesuatu yang menggembirakan karena menstimulus kepedulian dan kunjungan wisata sejarah yang lebih luas pada masyarakat.
Dalam dunia pergulaan sendiri, khususnya di Pulau Jawa, banyak dijumpai pabrik gula bekas peninggalan zaman kolonial. Pabrik-pabrik gula ini memiliki nilai dan makna kesejarahan yang tinggi. Sangat menarik untuk dikembangkan menjadi wisata sejarah. Beberapa di antaranya sudah diubah menjadi obyek wisata, seperti PG Gondang Baru (dulunya PG Gondang Winangoen), PG Tasikmadu, dll. Di Jawa Timur, PTPN X bermaksud mentransformasikan 11 Pabrik Gulanya menjadi destinasi wisata heritage.
Setidaknya, ada beberapa faktor yang mendasari pabrik gula sangat potensial untuk menjadi wisata sejarah atau wisataherritage. Faktor-faktor ini dikategorisasikan dalam dua lingkup besar, yakni internal dan eksternal.
image
Faktor internal
-          Nilai intrinsik sejarah
Pabrik gula tua didirikan pada masa kolonial Belanda pada saat era tanam paksa. Sejarah penindasan kolonial terhadap rakyat Indonesia terekam secara jelas di perkebunan tebu dan pabrik gula. Pabrik gula era kolonial ini memberi nilai dan pesan kepada generasi selanjutnya untuk selalu merawat ingatan dan mengambil makna positif dari peristiwa-peristiwa lalu di pabrik gula.
-          Estetika bangunan
Pabrik gula dengan rumah-rumah para pejabat dan pekerja didirikan dengan arsitektur klasik khas Eropa abad 19-an. Sampai saat ini banyak bangunan pabrik gula yang masih terjaga keasliannya sejak pertama kali didirikan. Jika direstorasi dan dirawat, akan menjadi suatu kawasan dengan bangunan yang indah dan khas. Pengunjung pun serasa terlempar ke masa lalu pada era zaman kolonial yang mendukung pemaknaan sejarah. Dari segi estetik, bangunan kuno ini sedap menjadi obyek fotografi dan pandangan mata.
-          Teknologi mesin
Pabrik gula mewarisi mesin-mesin dengan teknologi tercanggih pada masanya. Sampai saat ini banyak mesin yang masih digunakan untuk berproduksi. Mesin-mesin yang ada di pabrik gula masih relevan untuk dijadikan sasaran pembelajaran dan penelitian di bidang akademis, terutama dalam hal-hal mendasar. Studi bisa juga dilakukan terkait perbandingan dengan teknologi zaman sekarang.
-          Aspek sosio-budaya
Pabrik gula tidak bisa dilepaskan dengan masyarakat di sekitarnya. Dalam perjalanan industri gula yang berabad-abad, proses produksi gula telah membaur dengan tradisi masyarakat setempat. Misalnya, saat penanaman dan penggilingan tebu diadakan tradisi selamatan. Tradisi ini tentunya sangat menarik untuk mendukung pengembangan wisata sejarah pabrik gula. 
-          Kawasan yang luas
Sebuah kawasan pabrik tentunya memiliki area yang luas. Apabila bisa dikelola dengan baik, area yang luas ini bisa menjadi area publik yang sangat berguna untuk menarik pengunjung. Misalnya dibuat taman dan wahana rekreasi petualangan. Ini adalah aset berharga dari pabrik gula yang bisa dimanfaatkan untuk memberikan alternatif wisata di samping wisata sejarah.
Faktor eksternal
-          Kebutuhan berwisata
Beberapa tahun terakhir, aktivitas berwisata masyarakat Indonesia mengalami peningkatan yang bagus. Kebutuhan berwisata telah menjadi kebutuhan hiburan yang pokok di tengah semakin ruwetnya problematika hidup. Selain itu, berwisata telah menjadi gaya hidup anak muda dan keluarga muda yang mendambakan tempat-tempat asyik bersosialita. Di sisi lain, wisatawan asing semakin tertarik berkunjung ke Indonesia dari tahun ke tahun. Terlebih di 2013 digalakkan taglinebaru ‘Wonderful Indonesia’ yang diharapkan kian memikat wisatawan internasional. 
-          Preferensi wisata sejarah
Wisata sejarah adalah salah satu bidang utama dunia pariwisata yang berlangsung sejak dulu. Saat ini kecenderungannya terjadi peningkatan dalam minat wisata sejarah. Ini tidak bisa dilepaskan dengan rasa keingintahuan masyarakat yang distimulus oleh media massa. Masyarakat tertarik menelusuri dan mengungkap asal mula suatu hal. Mereka akan menelusur situs-situs tempat suatu sejarah berada.
-          Pendidikan sejarah bangsa
Perjalanan sejarah bangsa paling mudah dan mengasyikkan dipahami adalah dengan wisata sejarah. Oleh karena itu, pendidikan sejarah bangsa, terutama dalam pendidikan dasar, anak-anak sekolah dibawa ke tempat-tempat bersejarah. Namun demikian, saat ini tidak hanya anak sekolah, banyak remaja, orang dewasa dan keluarga berwisata sejarah karena memiliki kesadaran pengetahuan dan pengungkapan jatidiri bangsa. Jatidiri bangsa menjadi hal penting sebagai benteng kokoh dari arus globalisasi yang negatif.
-          Komunitas peduli sejarah
Di berbagai kota dan daerah, saat ini tumbuh komunitas-komunitas yang bergerak dalam bidang sejarah dan budaya. Mereka melakukan perjalanan dan penelusuran bersama terkait situs-situs yang masih jarang dikenal. Komunitas-komunitas ini melakukan alternatif wisata sejarah sekaligus mengemban misi peduli terhadap sejarah lokal maupun nasional. Banyak situs-situs sejarah yang menjadi terawat dan terkenal karena komunitas-komunitas ini.
-          Kehidupan ekonomi masyarakat
Meningkatnya pendapatan masyarakat mendorong meningkatnya tingkat kunjungan wisata di berbagai daerah, tak terkecuali wisata sejarah. Tidak hanya itu, pendapatan yang meningkat menjadikan masyarakat meningkatkan pengeluaran di destinasi wisata sejarah. Secara kuantitas dan kualitas, kehidupan ekonomi yang meningkat akan mendorong peningkatan masyarakat terhadap ekonomi wisata sejarah. 
Sekarang, faktor-faktor potensi di atas harus dilihat sebagai peluang besar untuk mengembangkan wisata sejarah Pabrik Gula. Peluang-peluang ini memiliki kesempatan untuk ditansformasikan menjadi sebuah bisnis jika dikemas dalam wujud yang menarik bagi masyarakat.
Menurut hemat saya, bentuk museum adalah kemasan paling cocok untuk mengembangkan wisata sejarah pabrik gula yang berbau bisnis. Mengapa museum? Bukankah museum tidak menarik bagi masyarakat Indonesia? Pandangan inilah yang tidak tepat. Sesungguhnya museum di Indonesia memiliki peluang besar untuk bisa seperti museum-museum di Inggris, Prancis dan AS. Tentu syaratnya adalah dikelola dan dipasarkan dengan bagus. Dengan segala potensinya, museum gula bisa menjadi museum yang berhasil di Indonesia.
Ada beberapa museum di Indonesia yang bisa menjadi contoh. Contoh terdekat adalah Museum Gula PG Gondang Baru, Klaten. Setiap hari museum ini cukup ramai dikunjungi oleh wisatawan keluarga dan sekolah. Ini bisa menjadi pilot project bagi pabrik gula yang ingin mengembangkan kawasan wisata sejarah pabrik gula.
Atau, House of Sampoerna. Museum milik perusahaan rokok Sampoerna memiliki karakteristik mirip dengan museum pabrik gula, yakni menyajikan alat-alat produksi dan suasana pabrik rokok. Museum House of Sampoerna menjadi salah satu destinasi wisata favorit di Surabaya. Setiap hari ratusan pengunjung mengunjungi museum ini.
Philip Kotler dan Neil G. Kotler (2008) mengatakan suatu kawasan luas yang memiliki keterkaitan sejarah dan budaya bisa dianggap sebagai sebuah museum. Museum tidak harus satu atau bangunan saja yang memiliki galeri atau benda yang dipajang di dalamnya. Suatu kota seperti Venesia bisa dianggap sebagai sebuah museum karena setiap sudutnya berhubungan sejarah dan budayanya. Atau kawasan Oxford bisa dikatakan sebagai museum, yang terdiri dari universitas, museum, gereja, taman, lingkungan perumahan scholar-nya.
Patut diperhatikan bahwa pabrik-pabrik gula memiliki kawasan yang luas. Oleh karena itu perlu dioptimalkan pemanfaatan ruangnya. Cara terbaik adalah dengan membangun taman. Taman ini merupakan padanan yang pas dan lengkap untuk menunjuang wisata museum. Dengan demikian, pengembangan wisata sejarah di Pabrik Gula sebaiknya berupa taman museum.
Dalam tataran kongkritnya, Taman Museum adalah bangunan pabrik yang disulap museum dengan dikelilingi taman-taman publik untuk rekreasi masyarakat. Taman-taman ini bisa diisi dengan benda-benda sejarah pabrik yang berukuran besar seperti lokomotif, wahana rekreasi anak dan keluarga seperti playground. Di taman ini bisa juga memiliki area lapang yang bagus digunakan untuk bersosialita para anak muda dan keluarga.
Sejatinya, Taman Museum Gula bisa mengambil konsep dan wujud seperti apa yang dimaksud oleh duo Kotler. Seperti Oxford, Taman Museum Gula meliputi kesatuan utuh di pabrik gula. Mulai dari bangunan pabrik, kantor, perumahan manajemen, perumahan pegawai, halaman, taman, perkebunan tebu di dalam kawasan, rel, lori, dan benda-benda lainnya dimasukkan dalam konsep Taman Museum Gula ini. Bagian-bagian tersebut masih memiliki keterkaitaan sejarah dan budaya dalam satu kawasan Pabrik Gula.
Halaman kawasan Pabrik Gula Gondang Baru cukup menyenangkan menjadi lokasi bermain anak-anak dan keluarga. Rombongan
TK dari Boyolali sedang bermain santai di halaman rumput Pabrik Gula. @iqbal_kautsar

Memasarkan Taman Museum Gula berbasis ‘Consumer-Centered’
Sampai era 1980-an, museum di Eropa identik dengan bangunan yang sakral. Dimana benda-benda dipajang di kaca dengan dijaga ketat para penjaga museum yang bertampang sangar dan susah tersenyum. Museum juga dianggap sebagai organisasi elitis dimana hanya pelanggan kelas atas yang bisa datang karena benda-benda mahal yang dimilikinya. Pengelolaan museum pun sekedar ‘product-centered’ dimana museum asal memasang koleksi tanpa ada upaya pemenuhan kebutuhan konsumen (Fiona McLean, 1997)
Hingga kemudian, konsepsi pengelolaan museum berubah. Dengan berkembangnya konsep ‘consumer-centered’ di dunia bisnis, museum juga mulai mengedepankan aspek pemenuhan nilai kebutuhan yang berfokus pada pelanggan. Terbukti, museum-museum berhasil berbenah dan menjadi salah satu destinasi wisata paling favorit di Eropa dan Amerika Serikat. Oleh karena itu, Taman Museum Gula patut mengadopsi konsep ‘consumer-centered’ agar bisa menarik banyak pengunjung.
Dengan konsep ‘consumer-centered’ pada Taman Museum Gula, maka sangat penting dilakukan pemasaran museum. Dalam ‘marketing’ museum, perlu diperhatikan terjadinya pertukaran transaksi dan hubungan antara Taman Museum Gula sebagai penyedia nilai wisata gula dengan wisatawan sebagai penikmat nilai wisata gula. Dari pertukaran ini, bisa dimaknai apakah apa yang akan ditawarkan oleh Taman Museum Gula berupa sejarah, arsitektur dan taman dapat memenuhi nilai yang didapat wisatawan dibandingkan pengorbanan biaya, waktu dan lain-lain dari wisatawan.
Alat-alat pabrik gula zaman dulu dipajang di dalam Museum Gula. Sarana pengetahuan bagi para pengunjung. @iqbal_kautsar
Pun, Taman Museum Gula harus bisa memenuhi nilai wisatawan ketimbang biaya, waktu, energi dan pengorbanan lainnya dari wisatawan. Jikalau gagal, maka wisatawan akan memilih destinasi lain untuk tujuan berwisatanya. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi Taman Museum Gula untuk memetakan siapa pengunjung dan apa saja kebutuhan mereka di museum. Hal ini bermanfaat agar Taman Museum Gula bisa dengan tepat memuaskan pengunjungnya.
Dalam buku Museum Marketing and Strategy (2008) karya Neil G. Kotler dan Philip Kotler, suatu museum bisa memiliki tipe-tipe konsumen, yakni pengunjung baru, pengunjung yang berkunjung lagi, anggota museum, anak sekolah, anggota komunitas, keluarga, remaja, donor, yayasan, pemerintah, swasta, sukarelawan, akademisi/peneliti, turis. Para konsumen datang ke museum untuk memenuhi kebutuhannya seperti rekreasi, mendapatkan pengetahuan, sarana interaksi sosial, belajar dan mengikuti perayaan budaya, kenikmatan estetika, serta mendapatkan pengalaman unik.

Riset pasar
Agar bisa memasarkan wisata Taman Museum Gula dengan baik, perlu dilakukan riset pemasaran untuk mengetahui jenis dan preferensi calon konsumen dan konsumen berkunjung ke Taman Museum Gula. Seperti riset yang dilakukan Smithsonian Institute (2004), dinyatakan bahwa paling banyak orang mengunjungi museum untuk melihat dan mengalami sesuatu yang nyata (60 persen), berikutnya mendapatkan informasi dan wawasan (40 persen), menghabiskan waktu dengan teman dan keluarga (35 persen), merasa kagum dan berfantasi (33 persen), merasa bangga pada tanah airnya (32 persen) dan berpikir tentang arti apa yang dilihat (20 persen).
Riset di atas dilakukan di museum-museum Smithsonian yang dikenal sebagai museum besar di AS. Dari hasil yang paling dominan ini, ternyata demikian sejalan dengan apa yang dikatakan Mihalyi Csikszentmihalyi dalam Notes on Art Museum Experiences (1991) bahwa para pengunjung tidak mengharapkan sensasi intelektual dari kunjungan ke museum. Mereka lebih mengharapkan kejutan, kekaguman dan pengalaman seperti mereka sedang lari sementara dari kenyataan yang membatasi.
Bagi Taman Museum Gula, riset pemasaran Smithsonian dan ucapan Mihalyi patut dimanfaatkan sebagai referensi data untuk menyediakan museum yang sesuai kebutuhan konsumen. Paling baik museum gula melakukan riset sendiri agar sesuai dengan konteks bisnis dan tata kelola. Sama halnya dengan perusahaan, riset adalah kunci keberhasilan dalam suatu pengelolaan museum (Neil G. Kotler dan Philip Kotler, 2008)

Jenis Wisata dan Target Konsumen
Riset digunakan untuk menentukan jenis pertunjukan apa saja yang ditawarkan museum. Taman Museum Gula bisa menganalisis riset di atas dengan mengaitkannya pada potensi yang dimilikinya untuk menawarkan jenis-jenis wisata kepada konsumen. Taman Museum Gula bisa menawarkan jenis-jenis wisata sebagai berikut:
Jenis Wisata
Tipe Konsumen
Kebutuhan Konsumen
Wisata Sejarah
Anak sekolah
Akademisi
Turis
Anggota komunitas
Anggota museum
Mendapatkan pengetahuan
Mendapatkan pengalaman unik
Rekreasi
Wisata Arsitektur
Akademisi
Turis
Anggota komunitas
Kenikmatan estetika
Rekreasi
Mendapatkan pengetahuan
Wisata Budaya
Turis
Anggota komunitas
Anggota museum
Sukarelawan
Mendapatkan pengetahuan
Mendapatkan pengalaman unik
Belajar dan mengikuti perayaan budaya
Rekreasi
Wisata Penelitian
Akademisi
Anak sekolah
Mendapatkan pengetahuan
Wisata Rekreasi Biasa
Remaja
Keluarga

Rekreasi
Sarana interaksi sosial
Kenikmatan estetika
Wisata MICE
Anggota komunitas
Turis
Anggota museum
Sukarelawan
Sarana interaksi sosial
Rekreasi
Mendapatkan pengetahuan
Kenikmatan estetika
Wisata Kuliner
Remaja
Keluarga
Anggota museum
Turis
Rekreasi
Mendapatkan pengalaman unik
Sarana interaksi sosial

Berdasarkan jenis-jenis wisata yang ditawarkan Taman Museum Gula ini dapat dikelompokkan menjadi dua aspek utama yakni wisata inti dan wisata pendukung
1.       Wisata Inti
Wisata inti berkaitan dengan unsur pokok (pabrik, rumah dinas, kantor, lori) yang dimiliki oleh Taman Museum Gula untuk para wisatawan. Taman Wisata Gula memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki wisata lain dalam hal sejarah, estetika bangunan, tradisi, maupun teknologi.  Jenis wisata yang termasuk dalam wisata inti adalah wisata sejarah, arsitektur, budaya dan penelitian ilmiah. Keempat jenis wisata ini melekat pada pabrik gula, yang sebelumnya sudah ada ditransformasi sebagai Taman Museum Gula.
2.       Wisata Pendukung
Wisata pendukung berhubungan dengan unsur untuk mendukung unsur pokok Taman Museum Gula. Wisata pendukung diciptakan dalam rangka menambah kenyamanan para wisatawan ketika berada di Taman Museum Gula. Jenis wisata yang termasuk dalam wisata pendukung adalah wisata rekreasi biasa, wisata MICE, dan wisata kuliner. Wisata rekreasi biasa berupa sarana-sarana seperti taman, kolam air yang bisa dimanfaatkan pengunjung untuk bersantai ria. Wisata MICE diakomodir dalam wujud penyediaan ruang seminar, aula pernikahan, pesta, penginapan, homestay hingga galeri pertunjukan seni dan budaya di kawasan Taman Museum Gula. Adapun wisata kuliner ditunjukkan dengan penyediaan kantin, kafe ataupun pusat oleh-oleh khas masyarakat setempat yang menjual aneka makanan dan minuman untuk keperluan wisatawan. Wisata pendukung ini sangat bermanfaat sebagai alternatif penarik kunjungan wisata ke Taman Museum Gula.

Branding
Setelah menentukan jenis wisata beserta tipe dan aktivitas konsumen, Taman Museum Gula perlu melakukan branding atau pelabelan. Branding diartikan sebagai nama, istilah, tanda, simbol atau desain atau kombinasi dari hal tersebut untuk mengidentifikasi barang dan jasa dari seorang penjual atau kelompok penjual agar bisa berbeda dari pesaingnya (Kotler and Keller, 2006)
Taman Museum Gula perlu menciptakan brand yang mampu menjelaskan strategi museum dalam berbagai kegiatan dan keputusan museum. Brand Taman Museum Gula perlu diselaraskan dengan visi-misi Pabrik Gula penyelenggara. Ini penting agar dalam aktivitasnya tidak terjadi kontradiksi yang membuat pengelolaan bisnis wisata museum atau produksi gula berantakan.
Suatu brand yang bagus bisa menciptakan brand awareness, brand mindshare dan brand loyaltybagi konsumennya (Neil G. Kotler dan Philip Kotler, 2008). Taman Museum Gula perlu menciptakan brand yang mudah diingat dan dipahami oleh pelanggannya. Konsumen akan langsung tertuju pada Taman Museum Gula ketika mendengar atau melihat brand yang dimiliki Taman Museum Gula. Misal saja brand Taman Museum Gula di PG Toelangan adalah Manisnya Wisata Toelangan. Konsumen ketika mendengar kata manis dan Toelangan akan langsung tertuju pada wisata Taman Museum Gula di PG Toelangan.
Selain itu, untuk mendukung branding perlu diciptakan semacam tagline untuk Taman Museum Gula. Tagline ini sebagai bentuk komunikasi verbal kepada konsumen agar mereka bisa mencerna pesan apa yang ingin disampaikan oleh Taman Museum Gula. Misalnya, Taman Museum Gula menciptakan tagline ”Inspirasi manis Anda untuk menjelajah masa lalu, memahami masa kini dan mengimajinasi masa depan”. Tagline ini mencoba menggelitik konsumen agar berkunjung ke Taman Museum Gula.

Promosi
Suatu tempat wisata agar dikenal luas di masyarakat memerlukan kegiatan promosi. Taman Wisata Museum juga perlu melakukan kegiatan promosi kepada publik. Dalam ilmu pemasaran, metode promosi dapat dibedakan menjadi empat metode, yakni:
1.       Advertising
Penggunaan metode advertisingbagi Taman Wisata Museum bisa dilakukan melalui alat-alat:
o   Print ads pada majalah, jurnal dan koran. Cara ini baik untuk menjangkau kalangan akademisi dan masyarakat umum yang terbiasa membaca
o   Iklan di televisi
o   Newsletter, brosur, booklets yang disebar ke masyarakat umum atau dititipkan di tempat-tempat seperti hotel, agen wisata, dll
o   Poster di sarana transportasi seperti bus
o   Iklan reklame billboard di area publik dan jalan protokol
o   Leaflet yang disebar ke amsyarakat umum
o   Buku direktori misal direktori jalan, telepon atau bahkan tempat wisata
o   Web advertising, berupa banner ads di situs-situs terkenal
Metode advertising ini bisa dikatakan paling efektif untuk menyebarluaskan info tempat wisata ke publik. Hanya saja, belum tentu yang menerima iklan berkunjung ke Taman Wisata Museum. Biaya yang dibutuhkan cukup besar untuk metode advertisingini
2.       Sales Promotion
Metode Sales Promotion ini bisa dimanfaatkan oleh Taman Museum Gula dalam wujud seperti di bawah ini.
o   Memberikan hadiah pada pembelian souvenir atau oleh-oleh di Taman Museum Gula
o   Pemberian diskon pada pembelian souvenir dan oleh-oleh
o   Tiket gratis kepada pembeli atas setiap penjualan produk tertentu di toko partner
o   Penyelenggaraan kontes/lomba bertemakan tentang Taman Museum Gula
3.       Direct Marketing
Metode direct marketing bisa dilakukan Taman Museum Gula melalui:
o   Pengiriman email langsung kepada calon pengunjung berisi penawaran wisata
o   Pembuatan dan pengelolaan situs atau blog wisata Taman Museum Gula
o   Pemanfaatan jejaring sosial seperti facebook, twitter, flickr, instagram, dll
o   Promosi langsung ke instansi-instansi pendidikan
o   Promosi dari mulut ke mulut
o   Pengiriman email secara rutin kepada pengunjung tentang event-event wisata di Taman Museum Gula
o   Mengikuti pameran-pameran wisata skala nasional dan internasional
4.       Public Relation
Kegiatan promosi dengan metode public relation dilakukan dalam bentuk
o   Kerja sama liputan wisata dengan program wisata dari stasiun-stasiun TV
o   Kerja sama liputan wisata dengan program wisata stasiun radio
o   Memperkuat brand image dalam logo dan tagline dalam setiap acara museum
o   Menjalin sponsorship dengan pihak-pihak lain
o   Menjalin kerja sama wisata dengan agen-agen wisata, hotel dan restauran
o   Membuat majalah museum tentang publikasi kegiatan dan pencitraan museum
o   Membuat laporan tahunan untuk meningkatkan citra museum
o   Melakukan kegiatan-kegiatan sosial dan budaya untuk menaikkan pamor museum

Sumber Keuangan
Suatu museum sangat membutuhkan sumber keuangan agar bisa hidup dan berkembang. Taman Museum Gula pada awal pembentukannya bisa disokong dana dari Perusahaan Gula, dalam hal ini PTPN X, pemerintah dan lembaga donor lainnya. Hanya saja dalam perkembangannya, ketika dimaksudkan untuk tujuan melakukan bisnis, Taman Museum Gula harus bisa mendanai dirinya secara mandiri. Syukur-syukur bisa mendapatkan laba yang bisa digunakan untuk pengembangan museum selanjutnya atau memberi pemasukan tambahan kepada pabrik gula.
Sumber keuangan bagi museum sebenarnya sangat terbuka dari berbagai macam saluran. Artinya keuangan museum tidak sekedar ditopang dari pendapatan tiket masuk. Jika Taman Museum Gula kreatif dalam mendesain sumber-sumber pendapatan, bisa jadi Taman Museum Gula akan mendapatkan laba. Seperti halnya, banyak museum di AS yang menjadi profit-center karena keberhasilannya mencari sumber pendapatan yang besar.
Taman Museum Gula bisa mendapatkan sumber keuangan dari:
-          Admission Fee. Tiket masuk untuk memasuki area Taman Museum Gula
-          Karcis parkir kendaraan di kawasan taman Museum Gula
-          Tiket wahana, misal naik lori keliling pabrik
-          Penjualan makanan dan minuman di toko dan kafe
-          Penjualan souvenir dan oleh-oleh khas
-          Penyediaan catering untuk pengunjung
-          Penyewaan homestay atau penginapan
-          Penyewaan auditorium Taman Museum Gula untuk pernikahan, seminar, dan lain-lain
-          Jasa Tour Guide untuk keliling museum secara intensif
-          Fee lokasi penyelenggaraan semacam event budaya
Selain langkah konvensional di atas, Taman Museum Gula bisa mengupayakan sumber pendapatan dari cara-cara lebih kreatif seperti ini:
-          Mendorong anggota museum menjadi donor dana museum. Tentunya, anggota tersebut akan mendapat fasilitas lebih istimewa dibanding menjadi anggota sebelumnya
-          Memberikan lisensi, semisal lisensi pengoperasian lori di museum lain, atau lisensi logo untuk merchandise wisata
-          Membuat kelas atau forum yang bisa dijual kepada masyarakat umum atau kalangan tertentu.
-          Menggandeng perusahaan-perusahaan untuk mengeluarkan dana CSR bagi pengembangan Taman Museum Gula

Menciptakan Konsumen yang Sustainable
Menjadi tantangan yang tak kalah pentingnya bagi Taman Museum Gula untuk bisa mempertahankan konsumen-konsumennya untuk berkunjung kembali. Pengunjung yang telah datang ke suatu museum biasanya belum tentu akan kembali ke museum yang sama. Upaya untuk mempertahankan pengunjung Taman Museum Gula sama menantangnya dengan menarik pengunjung baru. Oleh karena itu, pengelola Taman Museum Gula tidak boleh lantas puas apabila dikunjungi oleh para wisatawan. Masih ada tugas untuk mendatangkan para wisatawan itu untuk datang kembali ke Taman Museum Gula
Dari pengalaman kisah sukses museum-museum di AS yang berhasil melanggengkan hubungan antara museum dengan pengunjungnya, Taman Museum Gula bisa melakukan upaya-upaya pemasaran museum seperti berikut:
-          Saat pertama menarik pengunjung baru, diupayakan Taman Museum Gula memberi kesan yang menakjubkan pada mereka. Agar mereka memberi kesan yang bagus pada kunjungan pertama.
-          Mengajak orang untuk menjadi pengunjung berulang dengan mendesain ide dan kreativitas museum yang baru dan mengajaknya terlibat.
-          Menyediakan predikat anggota museum yang mendapat perlakuan istimewa di Taman Museum Gula
-          Mengubah pengunjung berulang menjadi anggota museum. Kemudian, mengajak anggota museum tersebut menjadi penyumbang/donor
-          Mengembangkan program sosial pada sore dan akhir pekan untuk orang tua dan remaja.
-          Mendorong anak-anak dan keluarganya berpartisipasi dengan menawarkan program dan pameran yang edukatif dan interaktif
-          Menciptakan forum-forum tentang pendidikan dan pengetahuan untuk menarik dan menjaga kehadiran orang dewasa.
-          Melakukan riset yang sistematis untuk mengidentifikasi yang tidak mau berkunjung ulang ke Taman Museum dan alasan ketidakmauan mereka
-          Mengembangkan program dan pameran berdasarkan temuan riset untuk menemukan kebutuhan dari ragam etnis dan grup budaya. 

Penutup
Begawan marketing dunia Peter F. Drucker mengatakan “Marketing is so basic that it cannot be considered a separate function. It is the whole business seen from the point of view of its final result, that is, from the customer ’ s point of view.”
Sama halnya dengan memasarkan museum, terlebih sebagai institusi yang berorientasi bisnis. Taman Museum Gula harus dikembangkan dalam perspektif yang memenuhi kebutuhan konsumen. Memasarkan museum dari sudut pandang konsumen. Dengan demikian, Taman Museum Gula tidaklah menjadi suatu konsep dan wujud bangunan yang mubazir.
Tentu saja Taman Museum Gula jangan sampai menjadi kebanyakan museum di Indonesia yang nasibnya begitu miris. Jika Taman Museum Gula bisa berkembang menjadi destinasi wisata favorit masyarakat, malah Taman Museum Gula harus bisa menjadi inspirasi museum lain melalui konsep ‘consumer-centered’ nya.  (dari http://diasporaiqbal.blogspot.com/2013/01/mengecap-manisnya-taman-museum-gula.html)

Referensi
Csikszentmihalyi , M. 1991, “ Notes on Art Museum Experiences. ” In A. Walsh (ed.), I nsights: Museums, Visitors, Attitudes, Expectations: A Focus Group Experiment . Santa Monica, Calif. : Getty Center for Education in the Arts and J. Paul Getty Museum.
Herbert, D.T. (ed.), 1995, Heritage, Tourism and Society. London: Pinter
Kotler, Neil G dan Philip Kotler, 2008, Museum Marketing and Strategy: Designing Missions, Building Audiences, Generating Revenue and Resources, San Fransisco, C.A. : John Wiley & Sons Inc.
Kotler, P. , and Keller, K. L., 2006, Marketing Management . ( 12th ed.) Upper Saddle River, N.J. : Pearson Prentice Hall
McLean, Fiona, 1997, Marketing the Museum(Heritage Care Preservation Management), New York N.Y. : Routledge
Misiura, Sashi, 2006, Herritage Marketing. Burlington, M.A. : Elsevier Ltd.
Novrasilofa, S., 2009, Museum Gula Gondang Baru di Klaten. Sebuah Makalah
Poesponegoro, M.D. dan Nugroho Notosusanto, 2008,  Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia BelandaJakarta : Balai Pustaka.       
Susila, Wayan R. dan Bonar M. Sinaga, Analisis Kebijakan Industri Gula Indonesia,dalam Jurnal Agro Ekonomi, Vol 23, No. 1, Mei 2005 : 30-35
Toer, Pramoedya A., 2005, Bumi Manusia, Jakarta : Lentera Dipantara
http://www.tribunnews.com/2012/06/16/11-pabrik-gula-jadi-wisata-heritage, “ 11 Pabrik Gula Jadi Wisata Heritage,” Sabtu, 16 Juni 2012, diakses pada 25 Januari 2013 pukul 13.07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar