Jumat, 15 Agustus 2014

Rokok Kretek di Indonesia


Dalam catatan Thomas Stamford Raffles, disebutkan bahwa pada sekitar 1600, rokok telah menjadi kebutuhan hidup kaum pribumi Indonesia, khususnya Jawa. Meskipun tembakau bukan tanaman asli di Jawa. Naskah Jawa, Babad Ing Sangkala (1601-1602), menyuratkan bahwa tembakau telah masuk ke Pulau Jawa bersama wafatnyaPanembahan Senapati, pendiri Dinasti Mataram. Kala seda Panembahan syargi ing Kajenar pan anunggal warsa purwa sata, sawoyose milaning wong ngaudud (Waktu Panembahan wafat di Gedung Kuning adalah bersamaan tahunnya dengan mulai munculnya tembakau, setelah itu mulailah orang merokok). (dikutip dari Wilga, Sejarah Kretek Tempo Duluhttp://kudus-city.4t.com/sejarah/s-all.htm.)

petani cengkeh tempo doeloe

Jika dikaji asal-usul bahasanya, terminologi ”rokok” sebenarnya berasal dari bahasa Belanda ”roken” yang artinya ”to smoke” (mengeluarkan asap). Tapi, terminologi”tembakau” ternyata lebih dekat dengan bahasa Portugis ”tobaco” ketimbang dengan bahasa Belanda ”tabak”. Karena itulah sejarawan lebih sepakat menyebut Portugis sebagai pihak yang memperkenalkan tembakau ke Indonesia, sedangkan Belanda adalah yang memulai secara missal menanam tembakau di Jawa dan Sumatera.

Dalam kisah lainnya disebutkan bahwa Haji Agus Salim (Dubes RI Pertama untuk Kerajaan Inggris, yang juga Pahlawan Nasional, ditanya oleh seorang tamu dalam sebuah jamuan diplomatik di London. “What is that thing you’re smoking, Sir?” tanya seorang tamu kepada Agus Salim. Pasalnya dari bibir keluar asap putih tebal dengan aroma khas menusuk bagi mereka yang berada di sekitarnya. Dengan diplomatis Agus Salim menjawab, “is the reason for which the West conquered the world”. Waktu itu Agus Salim memang sedang menghisap rokok kretek, rokok khas Indonesia yang terkenal karena kombinasi bahan dan rasanya. Inilah sebuah jawaban diplomatis yang menjadikan tamparan para imperial Barat. (mengenai kisah rokok Agus Salim ini bisa dilihat di Mark Hanusz, Kretek; Cultural and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes, p.3.)

 Haji Agus Salim

Rokok kretek merupakan warisan budaya leluhur bangsa Indonesia. Rokok kretek adalah rokok yang menggunakan tembakau asli yang dikeringkan, dipadukan dengan saus cengkeh dan saat dihisap terdengar bunyi kretek-kretek. Rokok kretek berbeda dengan rokok yang menggunakan tembakau buatan maupun rokok berbahan menthol (rokoknya orang Barat). Jenis cerutu merupakan simbol rokok kretek yang luar biasa, semuanya alami tanpa ada campuran apapun, dan pembuatannya tidak bisa menggunakan mesin. Masih memanfaatkan tangan pengrajin. Ulasan tentang sejarah rokok kretek di Indonesia bermula dari kota Kudus, Jawa Tengah.

Berdasarkan jenisnya, rokok dibagi dua jenis. Pertama, rokok kretek non-filter, kretek jenis ini masih terbagi dari yang tingwé (kependekan dari bahasa Jawa, ngelinting déwé yang berarti melinting sendiri, untuk diartikan sebagai lintingan tangan) tanpa saus tambahan, cerutu, klobot dan lintingan mesin dengan tambahan saus cengkeh. Sedangkan yang kedua adalah kretek dengan filter berisi semacam gabus yang berfungsi menyaring nikotin dari pembakaran tembakau dan cengkeh.

Namun secara kategorikail, rokok yang dijual atau dibuat di Indonesia dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut:
Pertama adalah rokok tingwe (kependekan dari bahasa Jawa, ngelinting déwé yang berarti melinting sendiri, untuk diartikan sebagai lintingan tangan) tanpa saus tambahan, cerutu, klobot dan lintingan mesin dengan tambahan saus cengkeh. Rokok ini merupakan arketipeawal dari rokok di dunia. Tradisi melinting rokok sendiri (roll-your-own) banyak ditemukan di negara-negara Barat sampai sekarang.
Kedua, adalah rokok klembak menyan. Rokok yang muncul kali pertama di Cilacap pada 1920 ini diakui memiliki kandungan paling aneh, yakni klembak dan menyan, yang memiliki asosiasi spiritualnya dengan dunia perdukunan.
Ketigasigaret putih mesin (SPM). Dulu, rokok putih dipandang sebagai satu-satunya rokok di dunia, sampai akhirnya rokok kretek ditemukan. Rokok buatan mesin (machine-made) ini isinya menggunakan tembakau jenis Virginia, Burley, dan Oriental.
Keempat adalah rokok klobot kretek ( KLB ). Rokok ini dibuat dengan tangan dan merupakan versi orisinal dari rokok kretek produksi Indonesia. Rokok ini hanya populer di daerah pedesaan Jawa Timut dan Tengah.
Kelima adalah sigaret kretek tangan (SKT). Kategori ini merupakan rokok kretek pertama di Indonesia yang dilinting dengan tangan dan dikemas secara komersial. Diperkenalkan kali pertama oleh HM Sampoerna di Surabaya dan Mari Kangen di Solo, SKT hingga kini dipasarkan dalam versi aslinya yang tidak menggunakan filter.
Keenam adalah sigaret kretek tangan filter (SKTF). Rokok jenis ini bukanlah buatan mesin, perekatan filter dilakukan semi-otomatis yakni menggunakan mesin pelinting tangan(handrolling machines). SKTF kali pertama diperkenalkan di Kudus pada akhir 1960-an.
Ketujuh adalah sigaret kretek mesin (SKM). SKM bukan hanya berhasil memproduksi kretek filter secara otomatis namun juga sukses menemukan solusi bagi problem utama dari rokok cengkih yakni warna kecoklatan pada kertas pembungkus (efek eugenol stains), yakni melalui sistem double-wrapping yang hanya yang dimungkinkan berkat kehadiran mesin. SKM hadir kali pertama di pasar pada 1974. Pembagian kategori ini sesuai dengan yang biasa digunakan oleh pemerintah. (Lihat Mark Hanusz, Kretek; Cultural and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes, pp.13-18. )

Kisah kretek bermula dari kota Kudus. Tak jelas memang asal-usul yang akurat tentang rokok kretek. Menurut kisah yang hidup di kalangan para pekerja pabrik rokok, riwayat kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada kurun waktu sekitar akhir abad ke-19. Awalnya, penduduk asli Kudus ini merasa sakit pada bagian dada. Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh. Setelah itu, sakitnya pun reda. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok.(sebagaimana disunting oleh Sander L. Gilman and Zhou Xun Smoke: a global history of smoking, 2004)

Kala itu melinting rokok sudah menjadi kebiasaan kaum pria. Djamari melakukan modifikasi dengan mencampur cengkeh. Setelah rutin menghisap rokok ciptaannya, Djamari merasa sakitnya hilang. Ia mewartakan penemuan ini kepada kerabat dekatnya. Berita ini pun menyebar cepat. Permintaan "rokok obat" ini pun mengalir. Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh. Lantaran ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi "keretek", maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan"rokok kretek". Awalnya, kretek ini dibungkus klobot atau daun jagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10, tanpa selubung kemasan sama sekali. Rokok kretek pun kian dikenal. Konon Djamari meninggal pada 1890. Identitas dan asal-usulnya hingga kini masih samar. Hanya temuannya itu yang terus berkembang.

Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamari menjadi dagangan memikat di tanganNitisemito, perintis industri rokok di Kudus. Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito pada 1906 dan pada 1908 usahanya resmi terdaftar dengan merek "Tjap Bal Tiga". Bisa dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia.

 foto Haji Djamari 
Menurut beberapa babad legenda yang beredar di Jawa, rokok sudah dikenal sudah sejak lama. Bahkan sebelum Haji Djamari dan Nitisemito merintisnya. Tercatat dalam Kisah Roro Mendut, yang menggambarkan seorang putri dari Pati Jawa Tengah yang ingin dijadikan istri oleh Tumenggung Wiroguno, salah seorang panglima perang kepercayaan Sultan Agung. Roro Mendut menjual rokok "klobot" (rokok kretek dengan bungkus daun jangung kering) yang disukai pembeli terutama kaum laki-laki karena rokok itu direkatkan dengan ludahnya.
:)
Dikisahkan kecantikan Rara Mendut telah memukau semua orang, dari Adipati Pragolapenguasa Pati, sampai termasuk juga Tumenggung Wiraguna ("Wiroguno", dalam bahasa Jawa), panglima perang Sultan Agung dari kerajaan Mataram yang sangat berkuasa saat itu. Namun, Rara Mendut bukanlah wanita yang lemah. Dia berani menolak keinginan Tumenggung Wiraguna yang ingin memilikinya. Bahkan dia berani terang-terangan untuk menunjukkan kecintaannya kepada pemuda lain pilihannya, Pranacitra ("Pronocitro", dalam bahasa Jawa).

Tumenggung Wiraguna yang murka dan iri kemudian mengharuskan Rara Mendut untuk membayar pajak kepada kerajaan Mataram. Rara Mendut pun harus berpikir panjang untuk mendapatkan uang guna membayar pajak tersebut. Sadar akan kecantikannya dan keterpukauan semua orang terutama kaum lelaki kepadanya, akhirnya dia tiba pada sebuah cara untuk menjual rokok yang sudah pernah dihisapnya dengan harga mahal kepada siapa saja yang mau membelinya. Dikisahkan bahwa Rara Mendut dan kekasihnya Pranacitra akhirnya mati bersama demi cinta mereka. :)

Erotisme Roro Mendut ketika berjualan rokok lintingannya, dengan lem dari jilatan lidahnya, menggambarkan telah dikenalnya potensi perempuan dalam pemasaran, bahkan di zaman kerajaan Jawa abad ke-17. Di samping itu, penolakan Rara Mendut diperistri oleh Tumenggung Wiraguna yang notabene adalah seseorang yang kaya dan berkuasa, memperlihatkan adanya sifat kemandirian perempuan Nusantara yang telah ada, walaupun tidak umum, pada saat babad tersebut ditulis. Satu hal yang perlu mendapat perhatian dari kisah Roro Mendut adalah bahwa tidak semua hal dapat diperoleh dengan mengandalkan kekuasaan.
:)

 ilustrasi Roro Mendut 

Awal usaha Kretek :)

Nitisemito seorang buta huruf, putra Ibu Markanah di desa Janggalan dengan nama kecilRusdi. Ayahnya, Haji Sulaiman adalah kepala desa Janggalan. Pada usia 17 tahun, ia mengubah namanya menjadi Nitisemito. Pada usia tersebut, ia merantau ke Malang, Jawa Timur untuk bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Usaha ini berkembang sehingga ia mampu menjadi pengusaha konfeksi. Namun beberapa tahun kemudian usaha ini kandas karena terlilit hutang. Nitisemito pulang kampung dan memulai usahanya membuat minyak kelapa, berdagang kerbau namun gagal. Ia kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil berdagang tembakau. Saat itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah, pedagang rokok klobot di Kudus.

Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu pertama rokok kretek, menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan nginang pada sekitar tahun 1870. Di warungnya, yang kini menjadi toko kain Fahrida di Jalan Sunan Kudus, Mbok nasilah menyuguhkan rokok temuannya untuk para kusir yang sering mengunjungi warungnya. Kebiasaan nginang yang sering dilakukan para kusir mengakibatkan kotornya warung Mbok Nasilah, sehingga dengan menyuguhkan rokok, ia berusaha agar warungnya tidak kotor. Pada awalnya ia mencoba meracik rokok. Salah satunya dengan menambahkan cengkeh ke tembakau. Campuran ini kemudian dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering dan diikat dengan benang. Rokok ini disukai oleh para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah satu penggemarnya adalah Nitisemito yang saat itu menjadi kusir.

Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan mengembangkan usaha rokok kreteknya menjadi mata dagangan utama. Usaha ini maju pesat. Nitisemito memberi label rokoknya "Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo" (Rokok Cap Kodok makan Ular). Nama ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito).

Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah 10 tahun beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6 hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem). Di antara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis).

Sejarah mencatat Nitisemito mampu mengomandani 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari, tahun 1938. Kemudian untuk mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal Belanda. Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri. Ia kreatif memasarkan produknya, misalnya dengan menyewa pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan Jakarta

Disi lain sisi, menurut penelitian/tulisan yang berjudul Nitisemito: Pelopor Industri Rokok Kretek merupakan salah satu tulisan Biografi seorang tokoh, yang menitikberatkan pada kajian sejarah industri rokok di Indonesia khususnya di Kudus. Dengan pendekatan multi dimensional dan penggunaan metode sejarah kritis maka dihasilkan penulisan ini.

Kudus sebagaimana penelitian yang dilakukan Lance Castle terkenal dengan jiwa dagangnya, dan ada salah seorang tokoh yang punya semangat dagang menonjol yang berasal dari kawasan santri di Kudus Kulon yaitu Nitisemito. Darah pedaganag rupanya telah mengalir dalam dirinya, terutama dari kakeknya. Lingkungan sekitar menjadikannya semakin intens terlibat dalam perdagangan.

Walaupun kegagalan demi kegagalan telah menimpa diri Nitisemito, namun dengan ketekunan dan keuletan dia meraih jenjang kesuksesan dan jenjang kesuksesan itu adalah pada Industri Rokok Kretek. Dialah pelopor dalam Industri Rokok Kretek di dunia. Kepeloporannya dalam industri Rokok Kretek ini bahkan membuat Ratu Wilhelminaterkesima dan menjulukinya De Kretek Konning (Raja Kretek).

Ambruknya usaha rokok Bal Tiga :)

Hampir semua pabrik itu kini telah tutup. Bal tiga ambruk karena perselisihan di antara para ahli warisnya. Munculnya perusahaan rokok lain seperti Nojorono (1940), Djamboe Bol (1937), Djarum (1950), dan Sukun, semakin mempersempit pasar Bal Tiga ditambah dengan pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1942 di Pasifik, masuknya tentara Jepang, juga ikut memperburuk usaha Nitisemito. Banyak aset perusahaan yang disita. Pada tahun 1955, sisa kerajaan kretek Nitisemito akhirnya dibagi rata pada ahli warisnya.

Ambruknya pasaran Bal Tiga disebut sebut juga karena berdirinya rokok Minak Djinggopada tahun 1930. Pemilik rokok ini, Kho Djie Siong, adalah mantan agen Bal Tiga di Pati, Jawa Tengah. Sewaktu masih bekerja pada Nitisemito, Kho Djie Siong banyak menarik informasi rahasia racikan dan strategi dagang Bal Tiga dari M. Karmaen, kawan sekolahnya di HIS Semarang yang juga menantu Nitisemito.

Nama merek lainnya mungkin belum pernah kita dengar sebelumnya: Astrokoro, 555, danKaki Tiga. Hal ini mungkin disebabkan karena ketiganya diproduksi oleh Trio, nama perusahaan awal sebelum akhirnya berubah menjadi Nojorono.

Berbeda dengan perusahaan lain yang umumnya dikuasai oleh satu keluarga secara turun-temurun, Nojorono dikendalikan secara kolektif oleh lima keluarga sekaligus. Awalnya adalah Tjoa Kang Hay, yang pernah bekerja untuk Nitisemito, mengajak saudaranya, Tan Tjiep Siang dan Tan Kong Ping untuk mendirikan Trio. Setelah itu Kang Hay mencari partner baru di Kudus, yakni Ko Djie Siong dan Tan Djing Dhay, untuk mendirikan Nojorono.

Pada tahun 1932, Minak Djinggo, yang penjualannya melesat cepat memindahkan markasnya ke Kudus. untuk memperluas pasar, Kho Djie Siong meluncurkan produk baru, Nojorono. Setelah Minak Djinggo, muncul beberapa perusahaan rokok lain yang mampu bertahan hingga kini seperti rokok Djamboe Bol milik H.A. Ma'roef, rokok Sukun milik M. Wartono dan Djarum yang didirikan Oei Wie Gwan.

Inovasi terbesar Nojorono selama ini adalah rokok tahan air di mana ia juga memiliki hak paten atas temuannya ini. Produk ini dimungkinkan berkat penggunaan parafin dalam proses produksi rokok. Karena keunggulan water proof-nya ini, rokok produksi Nojorono sangatlah populer di kalangan pelaut dan nelayan.

Pabrik Rokok Bentoel (1931). Diawali dengan historikal pada suatu malam di Gunung Kawi, di hadapan makam Mbah DjugoOng Hok Liong mendapatkan mimpi bertemu penjual bentoel. Setelah mengkonsultasikannya dengan juru kunci makam, akhirnya Ong memutuskan untuk menggunakan Bentoel sebagai nama mereknya. Segera setelah diluncurkan di Malang, merek ini mendapat sambutan luar biasa. Entah apakah ada hubungannya dengan mimpi tadi.
Semenjak tiba di Malang pada 1910, Ong memang langsung terjun ke bisnis tembakau dan rokok. Nama perusahaannya waktu itu adalah Strootjesfabriek Ong Hok Liong. Awalnya ia bergerak di kategori klobot di bawah merek Burung. Perlahan ia melahirkan kategori lain dengan meluncurkan merek [b]Tresna, Rawit[/b], dan Spesial.

Bentoel adalah perusahaan yang kali pertama menjalankan peraturan pemerintah untuk memberikan kursi bagi pelinting yang sebelumnya hanya duduk di lantai. Pada 1974, perusahaan ini melakukan terobosan lagi dengan menjadi perusahaan kretek pertama yang mengoperasikan full-automoted rolling machines di Indonesia. Ia membelinya dari perusahaan Inggris, Molin Machines, pada 1968. Lahirlah kemudian merek Bentoel Internasional, yang kini lebih dikenal dengan nama Bentoel Biru –merek lokal pertama yang dipromosikan secara nasional.

Pabrik rokok Djambu Bol (1937). Berdiri sebelum Indonesia medeka, Pabrik Rokok Jambu Bol sempat terhenti ketika Jepang menginvasi Indonesia pada 1942. Perusahaan ini menemukan pijakannya kembali pada 1949 dengan memproduksi rokok kretek paper-wrapped, sebagai pengganti jenis klobot yang diproduksinya sejak awal.

Berbeda dengan perusahaan lain yang dimiliki oleh warga keturunan Cina, Djambu Bol adalah perusahaan pribumi terbesar di Indonesia yang pernah tercatat dalam sejarah. Pendirinya adalah seorang warga Kudus bernama Haji Roesydi Ma’roef. Berbeda pula dengan perusahaan lain, Djambu Bol berkonsentrasi hanya pada pasar luar Jawa, terutama Sumatera Utara yang mencapai 95% dari pangsa pasarnya. Sampai sekarang Djambu Bol tidak pernah menggunakan mesin melainkan lebih memilih mempertahankan tradisi rokokhand-made.

Perusahaan rokok kretek Djarum berdiri pada 25 Agustus 1950 dengan 10 pekerja. Nama aslinya adalah Djarum Gramophon. Oleh Oei Wie Gwan nama ini diubah menjadi Djarum pada 1951. Oei Wie Gwan, mantan agen rokok Minak Djinggo di Jakarta ini, mengawali bisnisnya dengan memasok rokok untuk Dinas Perbekalan Angkatan Darat. Pada tahun 1955, Djarum mulai memperluas produksi dan pemasarannya. Produksinya makin besar setelah menggunakan mesin pelinting dan pengolah tembakau pada tahun 1967.

Berbeda dengan perusahaan kretek umumnya, Djarum bukanlah perusahaan keluarga, pemilik sekarang tidak mempunyai hubungan darah sedikitpun dengan pendiri pertamanya. Wie Gwan adalah tipikal pengusaha rokok sejati yang selalu melibatkan diri dalam proses produksi, misalnya dengan mencampur sendiri tembakau dengan saus. Dua merek pertama perusahaan ini diberi nama Djarum dan Kotak Ajaib. Awalnya hanya dipasarkan di wilayah Kudus, namun setelah kedatangan Wie Gwan diekspansi ke wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Setelah sempat menjadi yang terbesar di 1967, Djarum mulai menjajal pasar luar negeri pada 1972. Langkah ini mengantarnya menjadi merek kretek paling populer di luar negeri.

Tiga merek terkenal dari Djarum berikutnya adalah Djarum Filter (1976), Djarum Super(1981), dan Djarum Cigarillos –kretek berbentuk cerutu pertama di dunia. Untuk yang terakhir ini, Djarum belajar dari Oud Kampen Cigarillo Factory di Belanda. Pada 1963, Wie Gwan meninggalkan perusahaannya kepada kedua anaknya, Budi dan Bambang.

Gudang Garam (1958). Dilihat dari tanggal berdirinya, 26 Juni 1958, Gudang Garam memang termasuk yang paling muda. Namun dari segi volume produksi, perusahaan ini masih dianggap sebagai yang teratas. Bahkan untuk kategori klobot kretek—ini yang banyak orang tidak tahu—Gudang Garam merupakan pemimpin pasar.

Gudang Garam didirikan oleh Tjoa Ing Hwie (Surya Wonowidjojo), seorang perantau kelahiran Cina 15 Agustus 1923. Setibanya di Indonesia, Ing Hwie bekerja di Cap 93, sebuah perusahaan rokok berdomisili di Jawa Timur. Setelah keluar dari Cap 93 pada 1956, Ing Hwie kemudian mendirikan perusahaan sendiri di bawah nama Inghwie.

Mirip dengan Bentoel, nama Gudang Garam juga memiliki dimensi mistis; pada suatu malam, Ing Hwie bermimpi melihat sebuah gudang yang bediri di seberang pabrik Cap 93.Sarman, karyawan setianya, mensehatinya untuk memasang gambar gudang tersebut pada kemasan rokok produksinya. “Kita harus membiarkan dua pintu terbuka, dua lagi setengah terbuka, dan satu tertutup. Jika semua pintu tertutup, kita akan merasa bahwa segalanya telah tercapai”, kata Sarman. Gudang Garam kini dipimpin oleh anak tertua Ing Hwie, Rachman Halim.

Kembali merunut masa lalu dimana rokok Minak Djinggo mengalami masa keemasan dan di ujung masa suram Bal Tiga, aroma bisnis kretek menjalar hingga ke luar Kudus. Banyak juragan dan agen rokok bermunculan. Di Magelang, Solo dan Yogyakarta, kebanyakan pabrik kretek membuat jenis rokok klembak. Rokok ini berupa oplosan tembakau, cengkeh dan kemenyan. okok yang muncul kali pertama di Cilacap pada 1920 ini diakui memiliki kandungan paling aneh, yakni klembak dan menyan, yang memiliki asosiasi spiritualnya dengan dunia perdukunan.

Namun yang perlu diketahui juga bahwa persaingan industri rokok masa lalu juga meliatkan persaingan etnis antar pengusaha rokok. Dimana mencapai puncaknya ketika pecah kerusuhan di Kudus pada 31 Oktober 1918. Pada awalnya, industri rokok di Kudus di dominasi kaum pribumi. Belajar dari kesuksesan mereka, warga keturunan Tionghoa beramai-ramai mengikuti jejak tersebut. Persaingan yang tinggi inilah yang menjadi sebab terjadinya kerusuhan. Namun ada arti lain dari peristiwa ini; akibat kerusuhan, sejumlah pengusaha pribumi berpengaruh diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman. Kemunduran perusahaan pribumi ini menyebabkan persaingan tidak berarti lagi bagi pengusaha keturunan. (untuk lebih lengkap tentang perisangan etnis ini lihat, Sigaret Kretek Tonggak Bangsa, 1000 Tahun Nusantara, 2000, Jakarta: Kompas, p.282.)

Perkembangan Industri rokok di Jawa :)

Kretek juga merambah Jawa Barat. Di daerah ini pasaran rokok kretek dirintis dengan keberadaan rokok kawung, yakni kretek dengan pembungkus daun aren. Pertama muncul di Bandung pada tahun 1905, lalu menular ke Garut dan Tasikmalaya. Rokok jenis ini meredup ketika kretek Kudus menyusup melalui Majalengka pada 1930-an, meski sempat muncul pabrik rokok kawung di Ciledug Wetan.

Sedangkan di Jawa Timur, industri rokok dimulai dari rumah tangga pada tahun 1910 yang dikenal dengan PT. HM Sampoerna. Tonggak perkembangan kretek dimulai ketika pabrik-pabrik besar menggunakan mesin pelinting. Tercatat PT. Bentoel di Malang yang berdiri pada tahun 1931 yang pertama memakai mesin pada tahun 1968, mampu menghasilkan 6000 batang rokok per menit. PT. Gudang Garam, Kediri dan PT HM Sampoerna tidak mau ketinggalan, begitu juga dengan PT Djarum, Djamboe Bol, Nojorono dan Sukun di Kudus.

Kini terdapat empat kota penting yang menggeliatkan industri kretek di Indonesia; Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang. Industri rokok di kota ini baik kelas kakap maupun kelas gurem memiliki pangsa pasar masing-masing. Semua terutapa pabrik rokok besar telah mencatatkan sejarahnya sendiri. Begitu pula dengan Haji Djamari, sang penemu kretek. Namun riwayat penemu kretek ini masih belum jelas. Dan kisahnya hidupnya hanya deketahui di kalangan pekerja pabrik rokok di Kudus.

Rokok Kretek Mempersatukan Nusantara dalam Rasa :)

Dalam ranah sosial, kretek juga memiliki dimensi komunikatif yang kental. Dalam pola hubungan sosial masyarakat Indonesia, rokok sering kali menjadi simbol dari sapaan awal antar dua orang. Ia bagaikan jabatan tangan dalam suatu perkenalan atau pertemuan antar dua orang—menawarkan rokok kepada orang lain merupakan tradisi umum dalam suatu perjumpaan, dan menolaknya kadang menyebabkan seseroang tersinggung dan terasing dari komunitasnya. Sementara bagi si pengisap, rokok mampu memberikan perasaan ekstravaganza ketika seseorang sedang hening dalam kesendiriannya.

Bisa dikatakan, sejarah kretek adalah sejarah rokok di Indonesia. Kemanapun Anda berkunjung, di tiap lapak ataupun kios, Anda bisa menemukan kretek. Kretek adalah produk yang tumbuh dari bumi Nusantara dan menyatukannya dalam satu ikatan kultural yang kental. Mark Hanusz melukiskan kondisi ini dalam bukunya yang terkenal, Kretek: The Cultural and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes:
Not only can kretek be seen as a symbol of Indonesia society and culture –a smoke that capture the soul of the nation—but it is also something that brings Indonesian people together…Indeed, onbe might even forgiven for saying that kretek is the lowest common denominator of contemporary Indonesian culture, more widespread and unifying than even the national language, Bahasa Indonesia. Kretek is the common thread which ties Indonesian people together in spite of their historical, cultural, ethnic and religious differences.

Rokok (filter) dan rokok kretek telah menjadi komoditas yang dipasarkan luas di Indonesia. Sejarah keduanya mungkin tidak datang bersamaan, namun jelas bahwa yang terakhir mendominasi yang pertama dalam hal skala industrinya. Walaupun, seperti yang akan kita lihat nanti, rokok putih sempat merajai pasar rokok di Indonesia dan perusahaan-perusahaan rokok lokal pun memiliki rokok jenis itu dalam portofolio produknya. Namun, semenjak kretek ditemukan, akselerasi industri rokok nampak terkonsentrasi penuh pada segmen ini.

Rokok adalah Produk Budaya :)

Rokok, terlepas dari kontroversinya sudah banyak mendatangkan keuntungan bagi masyarakat maupun negara. daun tembakau selain dihisap atau dikunyah (susur) ternyata juga berfungsi untuk membersihkan gebyok, melepaskan dari gigitan lintah dan membersihkan kaca mobil bila hujan. jaman dahulu biji tembakau digunakan untuk obat sakit kepala. Rokok juga menjadikan iklim kreativitas desain komunikasi visual menjadi berkembang. iklan-iklan rokok dikemas menjadi menarik dan provokatif. Kemasan dan merk rokok yang beragam dan terkadang lucu yang di dalamnya merepresentasikan nilai kreativitas dan terkandung berbagai unsur estetika, seperti: komposisi, warna, tipografi, ilustrasi, dan lainnya. desain kemasan generik yang mencontoh kemasan rokok yang sudah terkenal jamak sekali ditemui di indonesia.

Menurut Drs. Sumbo Tinarbuko, Msn. dosen desain komunikasi visual fakultas seni rupa dan program pascasarjana ISI Yogyakarta, ada hal menarik dan bernilai dari sebungkus rokok, lebih dari sekadar untuk dibakar dan dihisap asapnya. ‘’semakin sering saya memburu rokok indie diberbagai tempat, semakin saya menemukan kenikmatan terkait dengan pola pemikiran dan kreativitas desain komunikasi visual dari parapengelola industri rokok rumahan yang masih bertahan. hal lain yang bisa saya temukan adalah aspek antropologi, sosiologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat perokok serta pedagang rokok indie di daerah pinggiran.’’
Di Magelang kita mengenal dr. Oei Hong Djien, seorang kolektor lukisan dan juga seorang“grader” (pekerjaan yang menilai kualitas tembakau). dr. Oei Hong Djien adalah generasi keempat pemasok tembakau salah satu pabrik rokok terbesar di indonesia. Dia adalah kolektor penting dalam sejarah seni rupa indonesia. Konon, ia adalah kolektor besar setelah bung Karno. Di rumahnya terdapat 1.300 karya para perupa Indonesia. Di kalangan masyarakat seni indonesia, komentar-komentarnya sering dijadikan pertimbangan dalam pasar seni rupa. dr. Oei Hong Djien adalah suhu bagi para kolektor pemula, beberapa diantaranya adalah Chris Darmawan seorang arsitek, pemilik Semarang Gallery dan Deddy Irianto, pemilik Galeri Langgeng di kota Magelang. Kedua orang ini juga seorang kolektor dangrader tembakau.

Seni Kriya juga memberikan sentuhan artistiknya dalam industri rokok jaman dulu. Biasanya alat untuk merajang tembakau atau cacak terdapat ukiran-ukiran tokoh-tokoh pewayangan. Alat pemotong tembakau biasanya terbuat dari kayu jati atau nangka. Bentuk cacak didaerah satu dengan daerah lainnya tentu berbeda. Bahkan namanya juga berbeda. Di Jawa Tengah dan Jogja disebut cacak sedang di Jawa Timur disebut jangka. Parakan dan Wonosobo adalah daerah penghasil alat pemotong tembakau yang bagus. Di daerah Madura dan Lumajang alat pemotong tembakau juga terdapat ukiran-ukiran khas madura.

Saat ini rokok juga menjadi bagian dari budaya berkomunikasi masyarakat indonesia, di warung-warung kopi, di acara kenduri, di kampanye-kampanye parpol, di ruang-ruang kantor, mereka ngobrol dan menyampaikan uneg-unegnya sambil merokok. Bagi sebagian orang, merokok membuat mereka merdeka. Merokok dapat memberikan rasa ketenangan batin dan mendatangkan inspirasi dalam menunjang proses kreativitas. Setidaknya itu yang dilakukan pertama kali ketika seorang perokok dalam keadaan bad mood. Dari proses kreativitas itulah kita bisa menghidupi negara dan keluarga kita. Dan menurut sebagian besar orang (perokok), merokok itu membuat bahagia.
:)

Sekian, Terima kasih....
Saya bukanlah Perokok ataupun Pecandu Rokok. Tetapi saya pernah Merokok meskipun saya sudah berhenti Merokok (untuk saat ini) tetapi bukan berarti saya berhenti total untuk tidak merokok....
Bagi saya Rokok ataupun Merokok adalah bentuk komunikasi verbal dalam pergaulan ataupun pencair suasana... 
(dari http://id.netlog.com/irvandpoetra/blog/blogid=135510)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar