Sejarah Sampit tidak dapat dilepaskan dari sejarah Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Sementara sejarah Kotawaringin Timur sendiri dimulai dengan masuknya pengaruh kerajaan Hindu Majapahit di tahun 1365, dengan mengangkat kepala-kepala suku menjadi menteri kerajaan. Hal ini dikuatkan dengan disebutnya Kotawaringin dalam pupuh XIII Buku Nagara Kertagama karya Mpu Prapanca. Pada masa itu disebutkan, terutama pada masa keemasan Kerajaan Majapahit, yang diperintah oleh Raja Hayam Wuruk dengan mahapatihnya yang tersohor yaitu Gajah mada. Di salah satu bagian buku yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365 itu juga disebutkan, bahwa pernah dilakukan ekspedisi perjalanan nusantara di mana salah satu tempat yang mereka singgahi adalah Sampit dan Kuala Pembuang.
Sedangkan nama Kotawaringin sendiri berasal dari nama pohon beringin yang banyak tumbuh di daerah ini. Pohon ini mempunyai akar yang panjang dan daun yang lebat (Yusuf dan Kassu, 1989:48). Terlepas dari itu, munculah di Kotawaringin sebuah pemukiman penduduk yang saat ini dijadikan sebagai ibukota Kabupaten, yang dinamakan Sampit. Nah, bagaimana sejarahnya hingga dinamakan Sampit? Berdasar data sejarah yang ada di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotim menyebutkan, bahwa sejarah Sampit tak lepas dari kisah kedatangan 31 orang Cina yang masuk ke Sungai mentaya dan menetap di tepian Sungai.
Di dalam sejarah yang diterbitkan oleh Bappeda Kotim, tidak disebutkan dimana letak persis lokasi pendaratan etnis Tionghoa ini. Yang jelas, kedatangan 31 orang Cina ini adalah untuk berdagang dan membuka usaha perkebunan di wilayah Kotawaringin Timur ini. Lantaran jumlah pedagang dari Cina ini berjumlah 31 itulah, atau dalam bahasa Cinanya tiga adalah Sum dan satu disebut It. Maka jika digabungkan kedua sebutan angka tersebut menjadi Samit, entah siapa yang kali pertama menyebutkan nama Samit menjadi Sampit. Yang jelas, tempat mereka datang kemudian dikenal dengan nama Sampit, yang kemudian diabadikan hingga menjadi ibu kota kabupaten hingga sekarang.
Sejarahnya, orang-orang Cina ini bukan saja berdomisili dan berusaha di wilayah Sampit saja, namun mereka juga mengembangkan usaha hingga ke wilayah Samuda, yang dikenal menjadi basis pertahanan pejuang ketika melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Etnis-etnis Tionghoa ini berbaur menjadi satu bersama warga setempat baik dengan warga etnis Dayak, maupun warga etnis lainnya yang hidup di pesisir pantai seperti daerah Samuda. Karena, saat itu, wilayah Kotawaringin sendiri sudah dikenal menjadi wadah tujuan perdagangan dari luar Sampit, sehingga sudah dikenal mempunyai multi etnik yang terdiri beberapa suku bangsa.
Keberadaan orang-orang Cina ini tentu saja selain mempengaruhi kehidupan perekonomian warga, juga mereka memberikan pengaruh terhadap arsitektur lokal Sampit sendiri. Sehingga arsitekturnya dikenal dengan sebutan arsitektur Bahari. (http://kampoengue.blogspot.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar