Dalam
perjalanan menuju Bandara Internasional Adi Sumarmo, yang ditempuh dari Kota
Solo melalui Jalan Adi Sucipto, pada saat melintas lampu merah Colomadu
terlihat bangunan bercerobong tinggi. Bangunan tersebut adalah Pabrik Gula (PG)
Colomadu.
PG
Colomadu terletak di Jalan Adi Sucipto No. 1 Desa Malangjiwan, Kecamatan
Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi pabrik ini tepat
berada di sudut tenggara perempatan (lampu merah) Colomadu.
Berdasarkan
catatan historis yang ada, pada tahun 1861, Mangkunegoro IV mengajukan rencana
mengenai berdirinya sebuah pabrik gula pada Residen Nieuwenhuysen. Sejak
beberapa waktu sebelumnya telah dipilih tempat yang tepat di Desa Malangjiwan,
karena daerah ini memiliki tanah yang baik, air yang mengalir, dan hutan.
Tempat tersebut dianggap paling cocok untuk perkebunan tebu.
Setelah
disetujui oleh residen, peletak batu pertama untuk PG Colomadu dilakukan oleh
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria (KGPAA) Mangkunegoro IV, penguasa Pura Mangkunegaran
(1853-1881), pada 8 Desember 1861. Pengelolaan PG Colomadu sehari-hari berada
di tangan seorang, seorang ahli dari Eropa. Petama kali pabrik bekerja dengan
menggunakan mesin uap. Mesin-mesin tersebut dipesan dari Eropa. Mangkunegara IV
kala itu mendapatkan pinjaman dari Pemerintah Hindia Belanda dan dibantu oleh
Be Biau Coan, seorang mayor dari kaum Tionghoa di Semarang, untuk mendirikan
PG Colomadu.
Pada
tahun 1863, PG Colomadu sudah mulai berproduksi dari hasil panen tahun yang
pertama. Pada tahun 1863, tahun panen yang pertama dari lahan perkebunan tebu
seluas 95 hektar bisa menghasilkan 3.700 kuintal gula. Kemudian, pada tahun
panen berikutnya hasil produksi gulanya pun meningkat. Keuntungan yang
diperoleh dari PG Colomadu tentunya sangat membantu penghasilan Pura Mangkunegaran selain sumber pendapatan tradisional dari pajak tanah.
Akan tetapi, beberapa beberapa tahun setelah Mangkunegoro IV wafat, usahanya untuk membentuk dasar-dasar ekonomi kerajaan mengalami guncangan yang hebat. Kesalahan manajemen keuangan dari Mangkunegoro V menjadi salah satu penyebabnya, selain adanya krisis ekonomi dunia dan hama penyakit tebu. Keadaan ini menyebabkan Pemerintah Kolonial Belanda mengambil alih segala urusan keuangan Mangkunegaran, termasuk pengelolaan perusahaan.
Setelah
kepemimpinan Pura Mangkunegaran dipegang oleh Mangkunegoro VI, kinerja PG
Colomadu berangsur-angsur membaik. Hal ini tidak lepas dari usaha yang
dilakukan oleh Mangkunegoro VI dalam melakukan penghematan pengeluaran keuangan
Pura Mangkunegaran.
Pada
masa pendudukan Jepang, PG Colomadu mengalami kesulitan dalam mendapatkan
tenaga kerja, maupun areal untuk ditanami tebu. Kesulitan tersebut disebabkan
pada masa pendudukan Jepang banyak pabrik gula beralih fungsi. Pengalihan
fungsi dilakukan Pemerintah Jepang untuk memfokuskan tanaman pangan, karena
pada masa Jepang komoditas pangan yang penting adalah beras.
Pada
tahun 1946, pemerintahan Swapraja Mangkunegaran dihapus. Berakhirnya
pemerintahan Pura Mangkunegaran, membuat PG Colomadu diambil alih
pengelolaannya oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI) atau dinasionalisasi.
Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun
1947 yang memuat tentang Peraturan Perkebunan Republik Indonesia. Adanya
peraturan ini membuat pengelolaan PG Colomadu di ambil alih oleh Perusahaan
Perkebunan Republik Indonesia (PPRI), yang kelak menjadi PT. Perkebunan
Nusantara (PTPN).
Mulai
tahun 1990, produksi PG Colomadu mengalami penurunan karena luas lahan tebu di
daerah Colomadu mulai menyempit seiring berkembangnya Kota Solo sehingga
terjadi alih fungsi lahan untuk pemukiman. Untuk mengatasi hal tersebut, PG
Colomadu membuka lahan tebu di daerah Simo dan Sambi Tetapi usaha itu kurang
berhasil karena lokasi penanaman yang jauh membuat PG Colomadu harus
mengeluarkan biaya dan waktu yang lebih banyak. Hal itulah yang menjadi
pertimbangan direksi untuk menutup PG Colomadu, padahal kondisi dan aset pabrik
masik layak digunakan untuk memproduksi gula.
Kini,
bangunan PG Colamadu menjadi mangkrak. Kesan kemegahan bangunan masih nampak
tapi “roh” sebuah industri gula yang sempat mengalami kejayaan menghilang.
Seakan menjadi teka-teki, bakal diapakan
bangunan bersejarah tersebut. Apakah akan dijual kepada investor, dijadikan
museum gula, atau akan dibiarkan begitu saja sambil menunggu runtuhnya bangunan
tersebut, hanya mungkin “sejarah” yang akan menceriterakan kepada masyarakat. [http://kekunaan.blogspot.com/]
Kepustakaan:
Dian Fitriana, 2011, Perkembangan Indsutri Gula Colamdu dan Perubahan Sosial Ekonomi Masayarakat
Tahun 1990-1998, dalam Skripsi di Jurusan Pendidikan IPS, FKIP, Universitas
Sebelas Maret Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar