Senin, 09 Maret 2015

Pabrik Gula Colomadu

Dalam perjalanan menuju Bandara Internasional Adi Sumarmo, yang ditempuh dari Kota Solo melalui Jalan Adi Sucipto, pada saat melintas lampu merah Colomadu terlihat bangunan bercerobong tinggi. Bangunan tersebut adalah Pabrik Gula (PG) Colomadu.
PG Colomadu terletak di Jalan Adi Sucipto No. 1 Desa Malangjiwan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi pabrik ini tepat berada di sudut tenggara perempatan (lampu merah) Colomadu.
Berdasarkan catatan historis yang ada, pada tahun 1861, Mangkunegoro IV mengajukan rencana mengenai berdirinya sebuah pabrik gula pada Residen Nieuwenhuysen. Sejak beberapa waktu sebelumnya telah dipilih tempat yang tepat di Desa Malangjiwan, karena daerah ini memiliki tanah yang baik, air yang mengalir, dan hutan. Tempat tersebut dianggap paling cocok untuk perkebunan tebu.
Setelah disetujui oleh residen, peletak batu pertama untuk PG Colomadu dilakukan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria (KGPAA) Mangkunegoro IV, penguasa Pura Mangkunegaran (1853-1881), pada 8 Desember 1861. Pengelolaan PG Colomadu sehari-hari berada di tangan seorang, seorang ahli dari Eropa. Petama kali pabrik bekerja dengan menggunakan mesin uap. Mesin-mesin tersebut dipesan dari Eropa. Mangkunegara IV kala itu mendapatkan pinjaman dari Pemerintah Hindia Belanda dan dibantu oleh Be Biau Coan, seorang mayor dari kaum Tionghoa di Semarang, untuk mendirikan PG Colomadu.
Pada tahun 1863, PG Colomadu sudah mulai berproduksi dari hasil panen tahun yang pertama. Pada tahun 1863, tahun panen yang pertama dari lahan perkebunan tebu seluas 95 hektar bisa menghasilkan 3.700 kuintal gula. Kemudian, pada tahun panen berikutnya hasil produksi gulanya pun meningkat. Keuntungan yang diperoleh dari PG Colomadu tentunya sangat membantu penghasilan Pura Mangkunegaran selain sumber pendapatan tradisional dari pajak tanah.

Akan tetapi, beberapa beberapa tahun setelah Mangkunegoro IV wafat, usahanya untuk membentuk dasar-dasar ekonomi kerajaan mengalami guncangan yang hebat. Kesalahan manajemen keuangan dari Mangkunegoro V menjadi salah satu penyebabnya, selain adanya krisis ekonomi dunia dan hama penyakit tebu. Keadaan ini menyebabkan Pemerintah Kolonial Belanda mengambil alih segala urusan keuangan Mangkunegaran, termasuk pengelolaan perusahaan.
Setelah kepemimpinan Pura Mangkunegaran dipegang oleh Mangkunegoro VI, kinerja PG Colomadu berangsur-angsur membaik. Hal ini tidak lepas dari usaha yang dilakukan oleh Mangkunegoro VI dalam melakukan penghematan pengeluaran keuangan Pura Mangkunegaran.
Pada masa pendudukan Jepang, PG Colomadu mengalami kesulitan dalam mendapatkan tenaga kerja, maupun areal untuk ditanami tebu. Kesulitan tersebut disebabkan pada masa pendudukan Jepang banyak pabrik gula beralih fungsi. Pengalihan fungsi dilakukan Pemerintah Jepang untuk memfokuskan tanaman pangan, karena pada masa Jepang komoditas pangan yang penting adalah beras.
Pada tahun 1946, pemerintahan Swapraja Mangkunegaran dihapus. Berakhirnya pemerintahan Pura Mangkunegaran, membuat PG Colomadu diambil alih pengelolaannya oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI) atau dinasionalisasi. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1947 yang memuat tentang Peraturan Perkebunan Republik Indonesia. Adanya peraturan ini membuat pengelolaan PG Colomadu di ambil alih oleh Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI), yang kelak menjadi PT. Perkebunan Nusantara (PTPN).
Mulai tahun 1990, produksi PG Colomadu mengalami penurunan karena luas lahan tebu di daerah Colomadu mulai menyempit seiring berkembangnya Kota Solo sehingga terjadi alih fungsi lahan untuk pemukiman. Untuk mengatasi hal tersebut, PG Colomadu membuka lahan tebu di daerah Simo dan Sambi Tetapi usaha itu kurang berhasil karena lokasi penanaman yang jauh membuat PG Colomadu harus mengeluarkan biaya dan waktu yang lebih banyak. Hal itulah yang menjadi pertimbangan direksi untuk menutup PG Colomadu, padahal kondisi dan aset pabrik masik layak digunakan untuk memproduksi gula.
Kini, bangunan PG Colamadu menjadi mangkrak. Kesan kemegahan bangunan masih nampak tapi “roh” sebuah industri gula yang sempat mengalami kejayaan menghilang. Seakan menjadi teka-teki, bakal diapakan bangunan bersejarah tersebut. Apakah akan dijual kepada investor, dijadikan museum gula, atau akan dibiarkan begitu saja sambil menunggu runtuhnya bangunan tersebut, hanya mungkin “sejarah” yang akan menceriterakan kepada masyarakat.  [http://kekunaan.blogspot.com/]
Kepustakaan:
Dian Fitriana, 2011, Perkembangan Indsutri Gula Colamdu dan Perubahan Sosial Ekonomi Masayarakat Tahun 1990-1998, dalam Skripsi di Jurusan Pendidikan IPS, FKIP, Universitas Sebelas Maret Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar