Sabtu, 02 Mei 2015

Mencari Kepingan Sejarah Musik di Lokananta

Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Rol pita master rekaman di sebuah tembok lobi Gedung Lokananta, Solo, Jawa Tengah.
 
Lokananta. Nama tersebut mungkin tak asing bagi para penggemar musik pada era 1960 hingga 1990-an. Lokananta adalah tonggak penting sejarah perkembangan musik Indonesia. Berbagai nama musisi besar lahir melalui perusahaan rekaman pertama ini. Namun "rahim sang ibu" tampak terlupakan.

Bangunan yang sudah ditetapkan menjadi situs cagar budaya ini, berlokasi di Jalan Ahmad Yani 387, Surakarta, sekitar dua kilometer dari Stasiun Purwosari. Oetojo Soemowidjojo dan Raden Ngabehi Soegoto Soerjodipoero, pegawai RRI Surakarta mempelopori berdirinya Lokananta pada 29 Oktober 1956.

Sementara musisi legendaris yang terkenal dengan ciptaan lagu Di Bawah Sinar Bulan Purnama, Raden Maladi adalah orang yang menggagas nama Lokananta. Mantan Menteri Penerangan pada era Presiden Soekarno itu mengambil filosofi dari dunia pewayangan yang berarti gamelan milik khayangan bersuara merdu.

Saat ini, Lokananta sudah berusia 58 tahun. Usia yang bukan main-main untuk sebuah label musik Indonesia yang berada di bawah Perum Percetakan Negara Republik Indonesia. Nama-nama besar seperti Gesang, Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, dan Sam Saimun "lahir" di Lokananta.

Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Di dalam Gedung Lokananta, Solo, Jawa Tengah, tersimpan ribuan koleksi piringan hitam.
Lokananta merupakan perusahaan rekaman musik pertama di Indonesia. Sejak awal berdiri, Lokananta mempunyai dua tugas besar yaitu produksi dan duplikasi piringan hitam dan kemudian cassette audio.

Dari pinggir jalan, sebuah plang usang bertuliskan "Lokananta" menyambut kali pertama mengunjungi tempat bersejarah bagi dunia musik Indonesia. Matahari yang menyengat kepala tak menghalangi niat mengunjungi sang "ibu musik" ini.

Sekilas nampak dari luar, kompleks Lokananta ini tampak tak terurus. Daun-daun meranggas, warna tembok bangunan menguning kusam, dan bahkan plafon rusak. Di atas pintu utama, tertulis "Lokananta" dan siap mengantar saya ke dalam dunia musik di era kelahirannya.

Awal kaki melangkah masuk, mata saya dikejutkan dengan gulungan pita master rekaman dengan berbagai ukuran. Benda yang baru pertama kali saya lihat secara langsung. Sebuah pengumuman "Pameran Dokumentasi Sejarah Menuju Era Lokananta Baru" terpajang. Juga foto-foto para pimpinan Lokananta.

Di awal lorong, terdapat sebuah ruangan yang menyediakan penjualan CD (compact disk) dan kaset hasil alih media dari piringan hitam. Sederet artis top seperti Koes Plus, The Steps, Waldjinah, dan lain-lainnya tersedia untuk dibeli. Hasil penjualan ini nantinya akan digunakan untuk membantu membiayai kegiatan operasional di Lokananta.

Seperti yang diucapkan Bekti, penjaga Lokananta ketika saya berkunjung beberapa waktu yang lalu, "Di sini dijual kaset sama CD. Ya untuk bantu-bantu. Dana operasionalnya kurang."

Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Setelah lobi gedung Lokananta, Anda akan disambut dengan taman kecil yang hijau menyegarkan suasana.
Perjalanan mencari kepingan sejarah musik masih berlanjut. Keluar dari lorong pertama, wajah tampak cerah. Rumput hijau segar menghiasi bangunan yang telah dikategorikan sebagai cagar budaya pada tahun 2014 ini. Sebuah kolam dengan air yang sudah hijau warnanya, beberapa pohon, dan parabola yang sudah berkarat menemani gedung yang kesepian ini.

Struktur bangunan di tengah ini berbentuk persegi empat. Pondasi-pondasi bangunan berwarna dominan abu-abu masih berdiri kokoh. Begitupun pintu-pintu ruangan juga didominasi warna yang sama. Warna coklat pun menjadi teman dari jendela dan pintu.

Ruangan selanjutnya adalah ruang koleksi mesin-mesin yang pernah digunakan di Lokananta. Di dalam ruangan berjajar mesin-mesin seperti mesin quality control keluaran tahun 1980, pattern generator keluaran tahun 1980, mesin pemotong pita keluaran tahun 1980, VHS Video Recorder keluaran tahun 1990, pemutar piringan hitam keluaran tahun 1970, power amplifier keluaran tahun 1960, dan lain-lain.

Beberapa kaset VHS (Video Home System) seperti Taman Mini Indonesia Indah, Ketoprak yang disiarkan di TVRI dulu, dan lain-lain berjajar di sebelah televisi bermerek Sony dan di atas pemutar VHS bermerek National. Mesin-mesin tersebut serasa membuat saya kembali ke masa kejayaannya.

Semuanya tampak masih terawat walaupun sebagian sudah tak dapat digunakan. Yang membuat saya terkesan adalah pemutar piringan hitam keluaran London dan Swiss. Pemutar piringan hitam yang bermerek Lenco dan Garrard masih terlihat mulus.
Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Dari mulai Waldjinah, Titiek Puspa, hingga rekaman suara Pidato Bung Karno tersimpan di ruangan khusus piringan hitam, Lokananta, Solo, Jawa Tengah.
Setiap barang di Lokananta bagaikan emas yang terkubur. Salah satunya adalah ruangan penyimpanan koleksi piringan hitam. Ruangan ini adalah pusat mahakarya musik di era kelahirannya. Lima rak terbuat dari besi berjajar menampung ribuan piringan hitam.
Koleksi seperti Waldjinah, Orkes Aneka Warna, Orkes Kerontjong Tjendrawasih, Zaenal Combo, dan masih banyak yang lainnya dapat ditemukan di sini.

"Di ruangan ini, juga tersimpan master lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu artis lainnya," ujar Bekti.

Di dalam ruangan cukup terasa pengap. Debu-debu serasa menyelundup ke paru-paru. Bahkan suhu ruangannya cukup panas. Terlihat tidak mendukung penyimpangan koleksi piringan hitam. Kondisi ini jika tidak dibenahi akan berakibat pada kerusakan koleksi yang disimpan di sini.

Namun tak perlu menunggu lama, kerusakannya dapat langsung terlihat. Sampul piringan hitam sudah dimakan rayap dan menguning. Koleksi-koleksi bersejarah ini seperti terlupakan. Namun Bekti kembali menjelaskan bahwa status Lokananta saat ini tidak jelas. Bahkan untuk kegiatan operasional hariannya, para pegawai Lokananta bergantung dari penjualan kaset dan CD.

Destinasi selanjutnya, berpindah dari ruang penyimpanan koleksi menuju studio rekaman. Memasuki studio, saya disambut dengan pemandangan alat-alat rekaman yang masih bertahan dari dulu. Di balik kaca, studio rekamannya hampir sebesar lapangan futsal. Sangat luas jika dibandingkan studio kebanyakan yang saya temui.

Grup musik White Shoes and The Couples Company pada November tahun 2012 lalu pernah rekaman di sini untuk mini album "White Shoes & The Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah". Bahkan pesta rilis album White Shoes & The Couples Company “Menyanyikan Lagu2 Daerah” juga dilakukan di Lokananta pada tanggal 30 April 2014 lalu.

"Kami memilih merekam di Lokananta karena Lokananta menyimpan nilai sejarah. Lokananta-lah yang dulu merilis lagu-lagu daerah," kata Rio, salah satu personil White Shoes and The Couples Company, kala itu.

Selain White Shoes and The Couples Company, grup band Pandai Besi juga menorehkan sejarah di Lokananta. Jika diibaratkan sebuah kisah dongeng, rekaman live di Lokananta menandakan Pandai Besi melakukan satu perjalanan historis memasuki lorong waktu. Mereka menempa kembali besi-besinya, mencetak karya tepat di sebuah tempat yang konon pada masanya banyak melahirkan ksatria bertalenta, seperti yang dikutip dari situs www.efekrumahkaca.net.

Selain itu tak ketinggalan, musisi Gleen Fredly and The Bakucakar juga pernah konser live di Lokananta. Grup-grup band tersebut ikut turut serta menyebarkan semangat untuk kaum muda agar mengenal Lokananta.

Di ruang studio rekaman Lokananta, Band White Shoes & Couples Company dan Pandai Besi menelurkan karya melalui alat-alat yang telah legendaris dari awal mulai berdirinya perusahaan ini.
Di studio rekaman terdapat satu benda yang sangat langka di dunia. Benda itu adalah speaker bermerek JBL yang hanya ada satu-satunya di dunia saat ini. Selain itu juga peralatan rekamannya berkelas dunia. Bekti menuturkan bahwa speaker tersebut hanya ada dua di dunia, yaitu di Lokananta Solo dan di studio BBC.

Selain itu, kualitas rekaman di Lokananta bahkan setingkat lebih bagus daripada studio Abbey Road di London, Inggris. Speaker buatan perusahaan audio milik James Bullough Lancing yang ada di Lokananta, tinggal satu-satunya di dunia.

Waktu kunjung
Untuk mengunjungi Lokananta, cukup datang pada hari dan jam kerja. Kunjungan dapat dilakukan pada hari Senin hingga Jumat pada jam 08.00 WIB sampai 16.00 WIB. Tak perlu mengeluarkan biaya untuk dapat mengunjungi perusahaan rekaman yang ini. Jika ingin datang secara rombongan, Anda dapat membuat surat permohonan kunjungan terlebih dahulu dan dikirimkan ke pengelola Lokanta.
Kunjungan bagai menembus lorong waktu ini, akhirnya berakhir. Matahari terasa terik. Namun jangan lupa untuk berfoto dengan lokasi yang sangat bersejarah ini. Di depan, pintu masuk, lensa kamera merekam tempat sejarah musik Indonesia lahir. Hingga pada akhirnya saya meninggalkan kawasan spektakuler yang serasa hidup segan mati pun tak mau. (http://travel.kompas.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar