Dahulu, musik bisa didengar di penjuru Indonesia karena perusahaan rekaman piringan hitam Tio Tek Hong. (Pixabay/niekverlaan)
Dikenalnya musik rekaman di Indonesia sebaya dengan
masuknya Belanda ke Negeri Khatulistiwa. Mereka yang mengenalkan rekaman
musik berbentuk piringan hitam ke masyarakat lokal. Orang-orang yang
dekat dengan Belanda pada awal abad ke-20, mulai terbiasa dengan musik
klasik dan jazz.
Orang-orang Indonesia pun mulai berhasrat belajar musik. Mereka juga keranjingan mendengarkan musik. Namun untuk mendengarkan musik baru, kudu menunggu kiriman piringan hitam dari Belanda. Maka, Indonesia akhirnya membuat rekaman piringan hitam sendiri.
Dari situlah industri rekaman bermula. Yopi Tambayong dalam bukunya yang berjudul Ensiklopedia Musik jilid 2 menulis, perusahaan rekaman pertama di Indonesia bernama Tio Tek Hong (ada yang menyebutnya Tio Tek Hoang). Sekitar tahun 1920, perusahaan itu merekam penyanyi-penyanyi dalam negeri kita.
Perusahaan itu menjadi yang pertama dan satu-satunya perekam suara dan penghasil piringan hitam di Indonesia sampai Perang Dunia II.
Blog mendiang Denny Sakrie menyebutkan, Tio Tek Hong adalah satu dari tiga saudagar Tionghoa yang menggeluti industri musik. Selain Tio Tek Hong yang mendirikan perusahaan di Pasar Baru, ada pula Lie A Kon di Pasar Senen, dan satu lagi saudara di Surabaya. Selain merekam musik, Tio Tek Hong juga pedagang barang kelontong.
Tio Tek Hong memulai bisnis rekaman sekitar tahun 1904. Mulanya, ia mengimpor fonograf dengan rol lilin. Baru tahun 1905 perusahaan itu merilis piringan hitam dan mendistribusikan ke seluruh Indonesia. Lagu-lagu yang direkamnya berjenis keroncong, gambus, kasidah, swing, irama India, stambul, hingga Melayu.
Penyanyi-penyanyi Indonesia kala itu disebut crooner. Di depan setiap nama mereka ada embel-embel "Miss". Beberapa yang ternama: Miss Tjitjih, Miss Riboet, dan Miss Dja. Label itu mirip dengan "Diva" untuk penyanyi masa kini.
Lagu-lagu yang cukup terkenal saat itu adalah Tjente Manis, Boeroeng Nori, Djali Djali, Paioeng Patah, Dajoeng Sampan, Kopi Soesoe, Sang Bango, Gelang Pakoe Gelang, dan lainnya. Tio Tek Hong juga merekam sandiwara Njai Dasima dalam sebuah boks berisi lima piringan hitam.
Ada satu ciri khas piringan hitam rekaman buatan Tio Tek Hong yang membedakannya dengan yang lain. Sebelum lagu pertama disenandungkan, ada suara Tio Tek Hong berbicara di keheningan, "Terbikin oleh Tio Tek Hong, Batavia."
Industri piringan hitam saat itu terbilang mewah. Fonograf atau gramofonnya mahal. Orang-orang pun lebih suka menonton pertunjukan langsung. Namun, industri rekaman tetap berkembang. Tahun 1954, muncul perusahaan rekaman tandingan: Irama. Ada pula Dimita dan dan Remaco. Dimita saat itu memproduksi piringan hitam Panbers dan Koes Bersaudara.
Ada pula perusahaan rekaman milik negara di Solo, Lokananta. Ia fokus memproduksi lagu daerah dab tradisional. Setelah era piringan hitam, barulah era kaset berkembang tahun 1964. Itu lebih diminati, karena harganya miring. (http://www.cnnindonesia.com)
Orang-orang Indonesia pun mulai berhasrat belajar musik. Mereka juga keranjingan mendengarkan musik. Namun untuk mendengarkan musik baru, kudu menunggu kiriman piringan hitam dari Belanda. Maka, Indonesia akhirnya membuat rekaman piringan hitam sendiri.
Dari situlah industri rekaman bermula. Yopi Tambayong dalam bukunya yang berjudul Ensiklopedia Musik jilid 2 menulis, perusahaan rekaman pertama di Indonesia bernama Tio Tek Hong (ada yang menyebutnya Tio Tek Hoang). Sekitar tahun 1920, perusahaan itu merekam penyanyi-penyanyi dalam negeri kita.
Perusahaan itu menjadi yang pertama dan satu-satunya perekam suara dan penghasil piringan hitam di Indonesia sampai Perang Dunia II.
Blog mendiang Denny Sakrie menyebutkan, Tio Tek Hong adalah satu dari tiga saudagar Tionghoa yang menggeluti industri musik. Selain Tio Tek Hong yang mendirikan perusahaan di Pasar Baru, ada pula Lie A Kon di Pasar Senen, dan satu lagi saudara di Surabaya. Selain merekam musik, Tio Tek Hong juga pedagang barang kelontong.
Tio Tek Hong memulai bisnis rekaman sekitar tahun 1904. Mulanya, ia mengimpor fonograf dengan rol lilin. Baru tahun 1905 perusahaan itu merilis piringan hitam dan mendistribusikan ke seluruh Indonesia. Lagu-lagu yang direkamnya berjenis keroncong, gambus, kasidah, swing, irama India, stambul, hingga Melayu.
Penyanyi-penyanyi Indonesia kala itu disebut crooner. Di depan setiap nama mereka ada embel-embel "Miss". Beberapa yang ternama: Miss Tjitjih, Miss Riboet, dan Miss Dja. Label itu mirip dengan "Diva" untuk penyanyi masa kini.
Lagu-lagu yang cukup terkenal saat itu adalah Tjente Manis, Boeroeng Nori, Djali Djali, Paioeng Patah, Dajoeng Sampan, Kopi Soesoe, Sang Bango, Gelang Pakoe Gelang, dan lainnya. Tio Tek Hong juga merekam sandiwara Njai Dasima dalam sebuah boks berisi lima piringan hitam.
Ada satu ciri khas piringan hitam rekaman buatan Tio Tek Hong yang membedakannya dengan yang lain. Sebelum lagu pertama disenandungkan, ada suara Tio Tek Hong berbicara di keheningan, "Terbikin oleh Tio Tek Hong, Batavia."
Industri piringan hitam saat itu terbilang mewah. Fonograf atau gramofonnya mahal. Orang-orang pun lebih suka menonton pertunjukan langsung. Namun, industri rekaman tetap berkembang. Tahun 1954, muncul perusahaan rekaman tandingan: Irama. Ada pula Dimita dan dan Remaco. Dimita saat itu memproduksi piringan hitam Panbers dan Koes Bersaudara.
Ada pula perusahaan rekaman milik negara di Solo, Lokananta. Ia fokus memproduksi lagu daerah dab tradisional. Setelah era piringan hitam, barulah era kaset berkembang tahun 1964. Itu lebih diminati, karena harganya miring. (http://www.cnnindonesia.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar