Batu berdaun yang dimaksud dalam cerita
ini adalah sebuah batu besar berbentuk daun
yang terletak di atas sebuah bukit
di Maluku.
Menurut cerita, batu tersebut memiliki mulut yang bisa terbuka dan mengatup kembali serta dapat
menelan siapa saja. Suatu ketika, batu berdaun itu menelan seorang nenek. Apa yang terjadi
selanjutnya? Simak kisahnya dalam cerita Batu
Berdaun berikut ini!
*
* *
Alkisah, di
daerah pesisir Maluku, hiduplah seorang nenek dengan dua orang cucunya yang
masih kecil. Cucu yang pertama berumur 11 tahun, sedangkan yang bungsu masih
berumur 5 tahun. Kedua anak itu yatim piatu karena orangtua mereka telah
meninggal dunia ketika mencari ikan di laut. Kini, kedua anak itu berada dalam
asuhan sang nenek.
Untuk memenuhi
kebutuhan hidup, nenek bekerja mengumpulkan hasil hutan dan mencari ikan di
pantai. Hasilnya tidak pernah cukup untuk mereka makan. Untunglah para tetangga
sering berbaik hati memberikan makanan kepada sang nenek untuk dimakan bersama
kedua cucunya.
Suatu hari,
air laut terlihat surut, ombaknya pun tampak tenang. Kondisi seperti ini
biasanya menjadi pertanda bahwa banyak kepiting yang terdampar di sekitar
pantai. Si nenek pun mengajak kedua cucunya ke pantai untuk menangkap kepiting.
“Cucuku, mari
kita ke pantai mencari kepiting,” ajak si nenek.
Alangkah
senangnya hati kedua anak itu, terutama si bungsu. Ia berlari-lari dan melompat
kegirangan.
“Horeee...
horeee... !” riang si bungsu.
Setiba di
pantai, mereka pun mulai memasang beberapa bubu
(alat untuk menangkap kepiting) di sejumlah tempat. Selang beberapa lama
kemudian, sebuah bubu
yang dipasang nenek memperoleh seekor kepiting besar yang terperangkap di
dalamnya. Si nenek pun menyuruh kedua cucunya untuk pulang terlebih dahulu.
“Cucuku,
kalian pulanglah dulu. Bawa dan rebuslah kepiting besar itu untuk makan siang
kita nanti,” ujar si nenek, “Capitannya sisakan untuk nenek.”
“Baik, Nek,”
jawab cucu yang pertama.
Kedua anak itu
pun kembali ke rumah dengan perasaan gembira. Hari itu, mereka akan menikmati
makanan lezat. Setiba di rumah, kepiting besar hasil tangkapan mereka tadi
segera direbus. Setelah masak, kepiting itu mereka makan bersama ubi rebus.
Mereka makan dengan lahap sekali. Sesuai perintah sang nenek, kedua anak itu
menyisakan capit kepiting.
Usai makan,
kedua anak itu pergi bermain hingga hari menjelang siang. Saat mereka pulang ke
rumah, nenek mereka ternyata belum juga kembali dari pantai. Sementara itu, si
bungsu yang baru sampai di rumah tiba-tiba merasa lapar lagi.
“Kak, aku
lapar. Aku mau makan lagi,” rengek si bungsu kepada kakaknya.
“Bukankah tadi
kamu sudah makan? Kenapa minta makan lagi?” tanya kakaknya.
“Aku lapar
lagi. Aku mau makan capit kepiting,” si bungsu kembali merengek.
“Jangan, capit
kepiting itu untuk nenek,” cegah si kakak.
Meskipun sang
kakak sudah berkali-kali menasehatinya, si bungsu tetap saja merengek. Karena
iba, sang kakak terpaksa mengambil sepotong capit kepiting itu. Si bungsu
akhirnya berhenti merengek. Namun, setelah makan, ia kembali meminta capit
kepiting yang satunya. Si kakak pun memberikannya.
Tak berapa
lama kemudian, nenek mereka kembali dari pantai. Wajah si nenek yang sudah
keriput itu tampak pucat. Kelihatannya ia sangat lapar. Cepat-cepatlah ia masuk
ke dapur ingin menyantap capit kepiting bersama ubi rebus. Betapa terkejutnya
ia saat melihat lemari makannya kosong.
“Cucuku.,
cucuku...!” teriaknya dengan suara serak.
“Iya, Nek,”
jawab si sulung seraya menghampiri neneknya, “Ada apa, Nek?”
“Mana capit
kepiting yang nenek pesan tadi?” tanya si nenek.
“Ma...
maaf..., Nek!” jawab si sulung dengan gugup, “Capit kepitingnya dihabiskan si
Bungsu. Aku sudah berusaha menasehatinya, tapi dia terus menangis meminta capit
kepiting itu.”
Betapa
kecewanya hati sang nenek mendengar jawaban itu. Ia benar-benar marah karena
kedua cucunya tidak menghiraukan pesannya. Tanpa berkata-kata apapun, si nenek
pergi meninggalkan rumah. Dengan perasaan sedih, ia berjalan menuju ke sebuah
bukit. Sesampai di puncak bukit itu, ia lalu mendekati sebuah batu besar yang
bentuknya seperti daun. Orang-orang menyebutnya batu berdaun. Di hadapan batu
itu, si nenek duduk bersimpuh sambil meneteskan air mata.
“Wahai, batu.
Telanlah aku!” seru nenek itu, “Tidak ada lagi gunanya aku hidup di dunia ini.
Kedua cucuku tidak mau mendengar nasehatku lagi.”
Batu berdaun
itu tidak bergerak sedikit pun. Ketika nenek mengucapkan permintaannya untuk
ketiga kalinya, barulah batu itu membuka mulutnya.
Dengan sekali
sedot, si nenek langsung tertarik masuk ke dalam perut batu itu. Setelah si
nenek tertelan, mulut batu itu mengatup kembali. Sejak itulah, si nenek tinggal
di dalam perut batu itu dan tidak pernah keluar lagi.
Sementara itu,
kedua cucunya dengan gelisah mencari nenek mereka. Saat tiba di puncak bukit
itu, mereka hanya mendapati kain milik nenek mereka terurai sedikit di antara
batu berdaun itu.
“Nenek, jangan
tinggalkan kami!” tangis si sulung.
“Maafkan aku,
Nek. Aku berjanji tidak akan mengecewakan nenek lagi,” ucap si bungsu dengan
sangat menyesal.
Si sulung
kemudian meminta kepada batu berdaun itu agar menelan mereka.
“Wahai, batu
berdaun. Telanlah kami!” seru si sulung.
Meskipun kedua
anak tersebut berkali-kali memohon, batu berdaun itu tetap tidak mau membuka
mulutnya, sampai akhirnya kedua anak itu tertidur di dekatnya. Keesokan
harinya, keduanya terbangun dan kembali meratapi kepergian sang nenek. Pada
saat itu, kebetulan ada seorang tetangga mereka yang melintas di tempat itu.
“Hai, kenapa
kalian ada di sini?” tanyanya saat melihat kedua anak itu.
Si sulung pun
menceritakan semua yang telah terjadi pada neneknya. Oleh karena nenek itu
tidak akan kembali lagi, si tetangga pun mengajak kedua anak tersebut pulang ke
rumahnya dan kemudian merawat mereka. Kedua anak itu merasa sangat menyesal
atas perlakuannya terhadap nenek mereka. Namun, hal itu mereka jadikan sebagai
pelajaran berharga sehingga kedua anak itu pun tumbuh menjadi manusia yang berbudi
luhur.
*
* *
Demikian
cerita Batu Berdaun
dari Maluku. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa
orang tidak mau menuruti nasehat orangtua seperti kedua cucu nenek itu pada
akhirnya akan mendapat balasan yang setimpal. Gara-gara tidak mau mendengar
nasehat, mereka akhirnya ditinggal pergi oleh sang nenek. Pelajaran lainnya
adalah bahwa sebuah kesalahan dapat menjadi sebuah pelajaran bagi kita untuk
menata hidup yang lebih baik di masa yang akan datang. (Samsuni/sas/271/08-11/http://ceritarakyatnusantara.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar