Hindia Belanda, yang pada saat ini disebut negara Indonesia, adalah
salah satu negara koloni Belanda selama hampir 350 tahun. Sejak awal
abad ke-17 mulai dibentuk pos perdagangan di lokasi strategis sepanjang
pantai pulau-pulau Hindia-Belanda. Pembentukan pos perdagangan tersebut
bukan berarti selalu tanpa perjuangan sehingga banyak orang yang mati
baik dari pihak Belanda maupun orang pribumi. Selain itu, juga banyak
orang Belanda yang mati karena sebab penyakit dan kesengsaraan. Pada
saat pemukiman Hindia Belanda pertama didirikan, sering kali orang yang
mati juga dikuburkan di tempat pemukiman tersebut. Begitu juga yang
terjadi di Surabaya (juga dikenal sebagai Soerabaja), yang dikuasai oleh
Perusahaan Hindia Timur Belanda, VOC, sejak 1743.
Pada tahun 1293 kota Surabaya didirikan oleh Raden Wijaya. Nama itu
berasal dari hiu Sura (Soera) dan buaya Baya (Baja). Menurut cerita
legenda, binatang tersebut berkelahi di sungai Kali Mas. Di tempat
perkelahian itulah, yang sekarang adalah kota Surabaya. Mitos ini
tentang asal-usul kota yang menunjukkan bahwa air mempunyai peranan yang
besar. Sebagian besar dari kota ini adalah dataran rendah yang kemudian
seiring berjalannya waktu menjadi dataran di atas pemukaan laut.
Bagaimana pun, muara adalah tempat yang sangat penting bagi penguasa.
Dengan masuknya islam pada tahun 1525, merupakan permulaan zaman
kejayaan. Pada tahun 1625 dinasti Mataram dari Jawa Tengah menaklukan
Surabaya.
Sementara itu, kedatangan orang Eropa pertama hanya berpengaruh
sedikit terhadap Surabaya. Namun, pada tahun 1617 VOC mendirikan sebuah
pos perdagangan di kota ini. Setelah VOC mengambil alih kekuasaan
Surabaya sekitar tahun 1743, Surabaya menjadi pelabuhan penting dan kota
angkatan laut. Di Surabaya VOC memperdagangkan komoditi terutama gula,
kopi dan teh. Sehingga banyak orang Belanda dan orang Eropa menetap di
kota. Pada saat itu didirikan sebuah gereja protestan yang terdapat
makam di luar dan didalam gereja tersebut. Dengan pertumbuhan Surabaya
maka dibutuhkan lebih banyak areal pemakaman untuk orang Eropa. Areal
makam disediakan sekitar tahun 1793.
Makam pertama
Pada 25 Januari 1793 pemimpin gereja Protestan Surabaya mengumumkan
bahwa pemakaman di sekitar gereja tidak diperbolehkan lagi, karena sudah
penuh. Tentu saja, sebelum makam benar-benar penuh. Bagaimana pun juga,
pemakaman baru harus pindah ke lokasi di sisi sebelah barat kota.
Tempat ini telah dibuat, letaknya di luar kota, yang disebut ‘makam di
luar kota’ (buitenkerkhof). Lokasi ini bernama Krembangan, terletak di
selatan jalan Heerenstraat, yang menghubungkan Surabaya dengan Batavia
(Jakarta).
Bagaimana bentuk pemakaman tidak diketahui. Barangkali tidak begitu
besar. Tetapi, cukup untuk ribuan orang Eropa selama beberapa dekade.
Sekitar tahun 1830-1835, pemakaman di Krembangan penuh sesak. Pada tahun
1835 dewan pengurus gereja memohon kepada Residen Surabaya [1]
untuk menyediakan sebidang tanah untuk makam baru. Dia menunjuk sebuah
lokasi dengan jarak 3 “paal” (4,5 km) dari kota, yang menuhi syarat
pembangunan sebuah pemakaman. Kemudian, dewan pengurus gereja mengajukan
kepada pemerintah Hindia-Belanda [2] untuk membuat sebuah lokasi yang
cocok dan bertembok. Ternyata, resident tidak menyetujui dengan usulan
tersebut, kemudian setelah dua tahun dewan pengurus gereja mengajukan
kembali usulan tersebut. Tetapi waktu itu, dewan pengurus gereja
memberitahukan bahwa gereja akan membiayai 2000 gulden untuk membuat
pemakaman baru dengan meminta bantuan Resident untuk meminjam kekurangan
dana dari Kas Negara tanpa biaya. Akhirnya Resident tertarik dengan
proposal tersebut dan dia meminta anggaran total biaya. Dengan usulan
yang konkret Resident bisa mengajukan proposal tersebut ke pemerintah
Hindia-Belanda. Dengan kabar baik itu ketua pengurus gereja mulai
mematangkan rencana. Bersama insinyur Tromp ketua dewan gereja mulai
mengukur lokasi untuk membuat anggaran biaya. Ternyata jarak antara
lokasi yang diusulkan dan kota terlalu jauh. Akhirnya, proposal ini
dibatalkan dan untuk memakamkan seseorang sementara harus puas dengan
tempat pemakaman yang lama.
Sebuah situasi yang tidak bisa dipertahankan, ternyata ada solusi
Pada 1839 penggali kubur Krembangan melaporkan kalau situasi tidak
bisa dipertahankan lagi. Perluasan di sekitar pemakaman juga tidak bisa,
karena tanah rawa. Dicoba sekali lagi untuk mendapat tanah di luar kota
dan di luar garis pertahanan kota (defensielijn). Sekali lagi solusi
yang ditunggu juga lama. Pada tanggal 26 Februari 1846 pemerintah
Hindia-Belanda menyediakan sejumlah 10,000 gulden untuk membuat sebuah
makam di Kampong Peneleh [3]. Kampong tersebut terletak di sebelah
selatan kota, tidak jauh dari Kali Mas. Dalam pengawasan insinyur Geil
untuk segera memulai mempersiapkan lahan. Yang penting dalam hal ini
adalah meninggikan lahan. Selain itu, diharuskan membuat saluran air dan
jalan setapak. Pada bulan Agustus tahun 1847 tempat pemakaman sudah
selesai dan pada tanggal 1 Desember dibuka secara resmi. Selama keluarga
memiliki kamar di bawah tanah untuk pemakaman (
grafkelder),
mereka boleh menguburkan keluarga di sana. Selama tahun 1847 tidak
diketahui apakah orang yang mati dikuburkan di Peneleh, tetapi pada
tahun 1948 lebih dari sekitar 100 orang mati telah dimakamkan di daerah
itu.
Tidak lama setelah pemakaman Peneleh dibuka, specialis Hinda-Belanda
dan reformis dr. W.R. van Hoƫvell (1812-1879) saat melakukan perjalanan
di Jawa mengunjungi pemakaman Krembangan. Pendapatnya tidak terlalu
positif. Menurut Van Hoƫvell monumen makam yang terlalu padat adalah
“karakteristik sindiran tentang kecongkaan seseorang, yang memamerkan
perbedaan kedudukan sosial dengan makam bermonumen megah dan
berornamen”. Barangkali Van HoĆ«vell mendapat kesan negatif terhadap
pemakaman tersebut, tetapi para peneliti makam ini adalah sumber daya
fantastis. Baik dari data silsilah orang yang mati maupun budaya
pemakaman, tetapi sayang makam hilang (ditulis lebih lanjut).
Pengunaan makam Peneleh
Peneleh adalah sebuah pemakaman Eropa dimana Protestan, Katolik,
Yahudi serta Kristen pribumi dan Cina dikuburkan. Setiap agama tidak
disendirikan sehingga hal ini menunjukan bentuk karakter umum makam ini.
Bebagai bangsa dimakamkan tercampur, pengunjung tidak hanya melihat
teks bahasa Belanda, tetapi juga menemukan teks bahasa Jerman dan
Inggris.
Di Peneleh terdapat dua jenis kuburan, yaitu makam kelder (ruang
makam di bawah tanah) dan makam biasa. Makam biasa adalah makam yang
disewa untuk waktu tertentu. Mungkin makam ini telah digunakan
berkali-kali, hal ini diketahui dari cara penomeran makam.
Sisa makam lama yang telah dibersikan, dibawa ke rumah tulang
(knekelhuis) yang juga dibangun di pemakaman Peneleh. Keberadaan rumah
tulang seperti itu sering ditemukan di pemakaman di negeri Belanda
sebelum tahun 1830. Setelah tahun 1830, di Belanda sisa tulang tidak
lagi dikumpulkan di knekelhuis, tetapi dikumpulkan di sebuah lubang
khusus untuk sisa-sisa tulang yang ditemukan (knekelput). Di Peneleh
sangat berbeda. Pemerintah daerah membuat bangunan besar dengan gaya
bangunan candi Yunani klasik yang memiliki ruang bawa tanah (kelder)
yang besar. Pada dasar lantai bangunan tersebut memiliki dua lubang
besar untuk mengumpulkan sisa tulang.
Bangunan yang mencolok terdapat di pintu gerbang masuk. Pintu gerbang
masuk besar dibangun tepat di ujung jalan makam, yaitu jalan
‘Kerkhoflaan’. Bangunan ini juga dibangun di gaya klasik dengan gapura
bundar dan tinggi.
Luas pemakaman Peneleh hampir 4,5 hektar. Kemungkinan tidak seluruh
pemakaman telah digunakan sekaligus, tetapi makam dimulai di
tengah-tengah. Tentu saja ada hubungan dengan makam Resident Pietermaat
(1790-1848) yang setelah meninggal mendapat tempat yang menonjol di
kuburan. Mulai dari sekitar monumen makam ini, dibuat beberapa dua lajur
garis makam-makam lain yang bejajar rapi. Jalan setapak di antara
makam-makam ini kurang nyaman untuk jalan kaki, tetapi adalah murni
fungsional. Dengan bentuk ini, penggali kubur bisa memasuki sebuah peti
mati dalam kelder melalui lubang depan. Menurut cerita tidak ada
pohon-pohon di area pemakaman, sehingga pemakaman terasa sangat panas
dan serasa tidak mengundang orang untuk mengunjungi kuburan.
Untuk menyalurkan kelebihan air pada saat musim hujan deras, digali
parit khusus. Parit tersebut mengalirkan air lewat sisi selatan
pemakaman. Pada beberapa peta kuno bisa mudah dilihat bahwa pemakaman
ini dibuat di daerah rawa, yang tiga sisinya dikelilingi oleh sungai. Di
salah satu peta menunjukan ada sebuah parit atau sesuatu yang mirip
parit di sekeliling pemakaman, sementara itu di peta lain sama sekali
tidak ada. Di peta yang lebih lama belum ada bangunan di sekitar
pemakaman, tetapi pada saat Perang Dunia Pertama pemakaman hampir
tertutup oleh kampong. Pada saat itu, jumlah penduduk Eropa di Surabaya
bertambah banyak. Pada tahun 1857 kota ini memiliki sekitar 7.500 orang
Eropa dan orang yang memiliki tingkat sosial yang sama (seringkali orang
Cina beragama Kristen atau orang pribumi yang menikah dengan orang
Eropa), pada tahun 1920 jumlahnya sudah mencapai 18.000 orang.
Pemerintah Surabaya pada saat itu tidak menunggu pertumbuhan penduduk
Eropa lebih banyak, karena itu pada tahun 1915 telah dibuat area
pemakaman baru. Diperkirakan dalam jangka pendek area Peneleh tidak
cukup untuk menampung pemakaman lagi. Pada waktu itu, sekitar 13.000
orang telah dikuburkan di Peneleh. Di tahun 1915 dikuburkan hampir 200
orang.
Lahan untuk pemakaman baru ditemukan sekitar 3,5 km dari Peneleh,
dekat Kembang Kuning. Lahan terletak di barat daya dari kota di daerah
tanah bergelombang sekitar 15 m di atas permukaan laut. Karena itu,
lahan dengan cepat disiapkan untuk area pemakaman. Area tersebut telah
digunakan pada tahun 1916.
Pada tahun 1925 pemakaman tua di Krembangan akhirnya dibersihkan dan
dirubah menjadi taman. Sekarang lokasi aslinya kurang bisa diketahui.
Yang tersisa adalah beberapa makam yang dialihkan ke pemakaman Kembang
Kuning. Tidak jelas apakah hanya batu nisan atau semuanya dipindahkan.
Batu nisan tersebut digabungkan di sebuah lempeng kotak makam. Di
Kembang Kuning juga ditemukan batu-batu lain yang jelas lebih tua dan
mungkin berasal dari pemakaman lain yang lebih tua. Di samping itu
dengan perjalanan waktu juga dipindahkan monumen makam dari Peneleh.
Dua alasan penutupan Peneleh
Sekitar setelah tujuh puluh tahun pemakaman Peneleh menjadi terlalu
kecil. Pada Oktober 1916 hanya pemakaman biasa terakhir (ke-10,141) yang
bisa diberikan. Kuburan itu terletak paling belakang di pemakaman.
Seperti di pemakaman tua di Krembangan, tetap bisa dimakamkan jenazah di
makam keluarga selama ada tempat. Di antara tahun 1916 dan 1964 (di
1964 diketahui pemakaman terakhir di Peneleh), masih ada beberapa ribuan
orang dimakamkan, terutama di kuburan keluarga mereka sendiri yang
masih tersedia. Juga masih ada banyak berubahan yang terjadi.
Setelah Surabaya jatuh ke tangan Jepang pada tahun 1942, mereka
menguasai kota selama tiga tahun lebih. Penduduk Eropa disekap. Sebagian
besar laki-laki dipaksa bekerja untuk Jepang. Pada saat perang waktu
itu daftar pemakaman di Peneleh jumlahnya orang berkurang. Berarti,
pemakaman itu jauh lebih sedikit digunakan. Banyak orang yang disekap
sampai mati dalam kurungan dan dikuburkan di tempat lain.
Dengan menyerahnya Jepang pada Agustus 1945, situasi di Indonesia
dalam keadaan yang simpang-siur dan membingungkan. Pemerintah kolonial
tidak langsung kembali, karena banyak orang Belanda tetap dalam sekapan.
Kebanyakan menyebar di wilayah yang diduduki oleh tentara Jepang, dan
Belanda sama sekali tidak memiliki tentara untuk mengambil kembali
kekuasaan di Indonesia. Pasukan Inggris, yang seharusnya melucuti
senjata pasukan Jepang yang ada di Hindia-Belanda diterima sebagai
lawan, oleh karena itu mengalami perlawanan dan pertempuran sengit di
Surabaya. Insiden bendera di Hotel Oranje (sekarang Hotel Majapahit)
pada September 1945 dan terbunuhnya jenderal Inggris Mallaby pada akhir
Oktober 1945 adalah beberapa klimaks dalam pertempuran tersebut. Itulah
tanda pertempuran sengit untuk melepaskan negara Indonesia dari penjajah
Belanda. Nasionalis Indonesia banyak mendapatkan senjata, yang telah
ditinggalkan oleh Jepang. Meskipun kaum nasionalis tersebut menyerahkan
kota Surabaya setelah pertempuran berdarah, pada akhirnya merekapun
mendapatkan kembali kota Surabaya. Pada awal tahun 1946, pasukan Inggris
telah diganti oleh kontingen Belanda yang segera memulai pemulihan
situasi seperti sebelum perang. Dengan hati hati dimulai membangun
kembali sebagian kota yang hancur. Perbaikan tersebut baru selesai
setelah penyerahan kedaulatan pada Desember 1949.
[Pada 17 Agustus 1945, satu minggu setelah penyerahan Jepang,
Soekarno dan Hatta memproklamasikan Republik Indonesia di Batavia. Pada
waktu itu, situasi di Surabaya tidak stabil. Ketika perwakilan Belanda
menaikan bendera di atap Hotel Oranje, menimbulkan tindakan resistensi
pada 19 September. Kaum pemuda menyerbu hotel tersebut dan merobek warna
biru dari bendera Belanda. Oleh sebab itu bendera Indonesia berwarna
merah-putih. Hal itu diikuti keadaan yang tidak aman (disebut periode
Persiapan Kemerdekaan), dan hal ini meningkatkan eskalasi pada waktu
pasukan Inggris menduduki kota Surabaya pada Oktober 1945. Kaum
nasionalis Indonesia menolak untuk menyerahkan senjata kepada pasukan
Inggris, sehingga terjadi pertempuran berdarah dan kota Surabaya
dibombardir. Akhirnya, kaum nasionalis harus menyerahkan kota Surabaya.
Bagaimanapun, kaum nasionalis terus berjuang sehingga terjadi agresi
militer Belanda di Indonesia pada tahun 1947 sampai dengan 1949. Melalui
operasi militer, Belanda berusaha mendapatkan kembali Republik
Indonesia yang telah diproklamasikan di Java dan Sumatra. Agresi militer
Belanda berakhir setelah Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia pada
Desember 1949.]
Pada saat itu kebanyakan orang Eropa telah kembali ke Surabaya dan
juga memulai menggunakan kembali tempat pemakaman. Hal ini berarti bahwa
di Peneleh tempat makam keluarga yang masih kosong akan digunakan
kembali dan di Kembang Kuning bisa digunakan untuk tempat makam baru.
Register diisi seperti biasa. Pada waktu penyerahan kedaulatan telah
merubah banyak hal dengan cepat. Pemakaman tetap secara resmi di tangan
pemerintah kota Surabaya, tetapi aturannya berubah. Jumlah pemakaman di
Peneleh turun drastis setelah tahun 1949. Hal ini terutama disebabkan
oleh fakta bahwa banyak keluarga Hindia-Belanda kembali ke negara
asalnya. Pada tahun 1955 pemerintah kota Surabaya menghentikan
pengelolahan pemakaman Peneleh. Kotamadya berkonsentrasi pada pemakaman
yang masih digunakan, yaitu seperti Kembang Kuning. Sebenarnya, Peneleh
telah ditutup untuk kedua kalinya. Penguburan terakhir terjadi pada
tahun 1964.
Kemunduran Peneleh
Mulai tahun enam puluhan abad ke-20, pemakaman Peneleh kurang lebih
telah kehilangan segala haknya. Kadang-kadang sebuah makam dibuka untuk
dipindahkan ke Kembang Kuning, selain itu hanya merupakan alam bebas.
Pada akhirnya, bukan hanya alam yang merubah keadaan makam saat ini.
Kerusakan telah banyak terjadi. Dengan sengaja membuat lubang besar di
makam untuk jalan masuk. Kemungkinan untuk mencuri isi, kotak dan hadiah
yang diikutkan dalam pemakaman dan jasad. Setelah itu, lubang-lubang
diisi dengan sampah, batu merah dipakai untuk membangun dinding
rumah-rumah kecil di sekitar pemakaman. Mungkin juga batu nisan
digunakan untuk pengerasan jalan, walaupun tidak bisa ditemukan tulisan
nisan tersebut di kampong sekitar pemakaman pada tahun 2011.
Dengan tumbuhnya tanaman yang sangat lebat dan rapat, serta
pohon-pohon tumbuh liar membuat rindang sebagian areal pemakaman.
Sebelumnya tidak ada pohon di pemakaman, hal ini berarti cukup banyak
berubah. Perubahan lain yang terjadi pada waktu itu, adalah pembongkaran
dinding pintu gerbang. Pagar pintu gerbang tetap masih ada, tetapi
bangunan dinding pintu gerbang yang megah telah hilang. Batas pemakaman
telah mengalami perubahan, yaitu adanya dinding
beton
di sekitar makam. Juga bisa dilihat dinding batu-bata yang bisa
ditemukan di sana-sini. Di sisi utara makam juga telah terpasang pagar
baru.
Jalan jalan di sekitar pemakaman
Peneleh memiliki peta denah persegi panjang, yang tidak begitu jelas
apakah pemakaman ini semula sudah sebesar itu atau telah ada perluasan
pada saat itu. Bukti menunjukan bahwa terdapat areal makam A dan B yang
kemungkinan merupakan perluasan atau digunakan sesaat kemudian. Situasi
pada tahun 1918 tercatat dalam peta. Di peta tersebut tercatat sebelas
areal pemakaman (A s/d K) dengan ukuran sekitar 4,5 ha. Hampir semua
kotak tersebut berbentuk persegi panjang dengan arah utara-selatan,
sedangkan makam berarah timur-barat. Di bagian depan dekat pintu gerbang
terdapat
monument
makam yang banyak dihias dibanding di areal lain. Jika Anda berjalan
lewat semua areal pemakaman, sesuai urutan abjad, akan menemukan hal
seperti berikut.
Pintu masuk adalah titik awal logis untuk memulai berjalan-jalan di
Peneleh. Pintu masuk terletak sedikit tidak biasa, hal ini bisa dilihat
dari fakta bahwa pintu masuk merupakan kepanjangan dari Kerkhoflaan (Jl.
Makam Peneleh). Di pintu masuk terletak rumah pengawas. Tentunya, dia
mengawasi pekerjaan, administrasi dan pengunjung pemakaman. Saat ini,
bangunan tersebut digunakan sebagai pusat POSYANDU yang ramai. Pintu
gerbang dulu yang menggambarkan status, sekarang tidak terlihat lagi
karena banyaknya bangunan yang menghalangi pintu gerbang. Kemungkinan
pagar besi cor dan berat masih asli. Dari pintu masuk Anda bisa melihat
lebar pemakaman. Sebenarnya makam ini tidak memiliki pandangan utama.
Jalan dari pintu masuk mengarah ke jalan lebar yang terletak di tengah
makam dan mengarah ke knekelhuis. Jalan lainnya adalah jalan lebih
sempit yang dibuat secara fungsional. Semua jalan dibuat sampai ke areal
belakang pemakaman yang disebut jalan pemakaman.
Blok A terletak di sudut sebelah kanan pintu masuk. Yaitu sebidang
tanah yang panjang dengan sebelas baris kamar di bawah tanah untuk
memakamkan orang yang hampir semua terisi. Di sisi utara terletak
beberapa kamar kubur di bawah tanah yang menyimpang, salah satunya
adalah makam Gubernur Jenderal Pieter Merkus (1787-1844). Di atas
makamnya terdapat batu nisan dari lempeng kuningan yang besar dengan
teks dan di sekitar makam terpasang pagar besi cor dan berat. Jika kita
berkeliling di sisi samping pemakaman, terlihat rumah-rumah kecil yang
didirikan atas kamar di bawah tanah untuk memakamkan orang. Hewan
seperti kambing, bebek dan ayam banyak ditemukan.
Jalan yang agak besar dan lebar berfungsi untuk membuka kamar kubur
di bawah tanah dan meletakan peti mati. Kamar di bawah tanah untuk
memakamkan orang berbentuk seperti lengkungan pada langit-langitnya,
keempat sisinya dan lantai terbuat dari batu-bata dengan kedalaman dua
meter. Di dalamnya memiliki lapisan semen agar supaya tahan terhadap
air. Di atas permukaan tanah ruang makam ini dibuatkan lapisan semen
setebal 30-40 cm. Kemudian dipasang sebuah monumen di bagian atas
lapisan semen tersebut. Kebanyakan makam dengan bentuk ini tidak
dipasang sebuah monumen di atasnya.
Sebuah makam yang terdapat monumen biasanya dibuat dari batu bata
yang difinishing dengan semen atau diplester yang kemudian dicat putih.
Tulisan nisan, pada umumnya persegi panjang, terbuat dari batu alam.
Kadang-kadang hanya terpasang sebuah konsol kecil (dari batu-bata) di
atas makam dengan tulisan nisan persegi yang diletakkan pada sisinya.
Banyak makam yang memiliki penutup untuk melindungi monument di
bawahnya. Biasanya dipilih penutup besi yang terdiri dari empat pilar
besi pada pojok-pojok makam dan atap miring yang ditutup dengan seng.
Kebanyakan bagian depan dan belakang dihias dengan indah. Juga ada
penutup atap dari beton yang dibuat dari batu buatan atau batu-batu yang
dihaluskan, yang didukung hanya di satu sisi. Kebanyakan penutup yang
dibikin dari batu buatan atau beton sering dibentuk dengan desain
modern, bisnis style atau kadang-kadang dengan unsur-unsur Art Deco.
Tipe-tipe monumen makam seperti itu bisa ditemui di seluruh areal pemakaman Peneleh, tetapi di antara itu juga bisa dilihat
obelisk
dari granit atau monumen dari batu alam lainnya, seperti nisan dari
batu keras. Di sana pandangan mata lebih tertuju pada kerusakan yang
terjadi. Atap penutup makam dari besi hampir seluruhnya berkarat dan di
semua monumen ada yang kurang. Puing-puing bangunan dan sampah menutupi
jalan-jalan, terutama di tepi pemakaman. Di situ juga terdapat kandang
burung-burung, untuk memasak, tempat bermain dan tempat tinggal. Atap
penutup makam bisa dipakai untuk perlindungan terhadap sinar matahari.
Tanpa sadar orang akan berjalan dari bagian A ke bagian B. Bagian B
berlanjut sampai akhir pemakaman. Di bagian ini juga terdapat sebelas
baris kamar kubur di bawah tanah. Perbedaannya adalah bagian B ditemui
baris-baris makam yang tidak berdekatan dan lebih banyak makam kosong.
Di sisi selatan tidak ada kamar kubur di bawah tanah, tetapi ada makam
biasa. Namun, seluruh daerah makam biasa sudah tidak ada lagi, karena
hampir semua monumen makam dihilangkan untuk lapangan sepak bola.
Semakin ke belakang, kondisi monument makam semakin buruk. Pada pojok
areal makam belakang banyak ditemukan tumpukan puing-puing bangunan.
Banyak monumen makam yang rusak karena dibonkar pada sisi depannya,
sehingga ruang kubur terlihat. Banyak atap penutup yang runtuh dan
beberapa monumen makam yang tertutupi oleh puing-puing bangunan. Di
bagian B terdapat sebuah monumen besar dengan kubah tinggi yang
mencolok. Namun, monumen tersebut sangat diabaikan. Di bagian ini hampir
tidak ada pohon dan terdapat banyak monumen makam rusak, karena itu
bagian ini jarang digunakan untuk aktivitas sosial, kecuali di lapangan
sepak bola.
Di sebelah bagian B adalah D, bagian ini relatif kecil dibanding
bagian sekitarnya dan banyak makam biasa. Pada bagian yang bersebelahan
dengan F, terdapat satu baris kamar makam di bawah tanah. Pandangan pada
bagian D relatif terbuka, karena kebanyakan monumen makam yang rendah.
Di sepanjang tepi makam bagian D kebanyakan digunakan untuk berbagai
aktivitas, di antaranya adalah aktivitas orang yang mengambil barang
bekas di sampah dan membuang sampah. Kegiatan orang-orang itu bisa
dilihat terutama di bawah pepohonan. Daerah yang rindang paling disukai
untuk kegiatan semacam ini.
Apabila berjalan kembali ke arah pintu masuk dari bagian D, tanpa
sadar kita akan menemukan bagian C. Bagian C berbentuk kotak sangat
panjang dan separuhnya telah tumbuh banyak pepohonan. Sebagian dari
bagian ini terdapat kamar kubur di bawah tanah, dan bagian yang lain
terdapat makam biasa. Banyak kamar kubur di bawah tanah yang dibuat
menyusul pada saat itu. Hal ini jelas terlihat karena beberapa makam
terletak bertentangan arah dan campur dengan beberapa makam biasa.
Selain itu, tempat untuk berjalan membingungkan. Hal tersebut menunjukan
bahwa bagian ini mengalami perubahan. Kemungkinan pada saat itu lebih
banyak permintaan kamar kubur bawah tanah daripada makam biasa, mungkin
juga terkait dengan lokasinya. Makam biasa sering meniru dari monumen
yang terpasang di kamar kubur di bawah tanah, tetapi bentuknya lebih
kecil dan sederhana. Sebuah makam biasa biasanya telah diberikan pondasi
dasar batu bata di atasnya. Kemudian, monumen dipasang di atas pondasi
tersebut. Seringkali monumen berbentuk meja kecil miring sederhana yang
digunakan untuk tulisan nisan. Kadang-kadang meja tersebut lebih dihias
atau memiliki pagar besi di sekitarnya.
Bila kita melihat kembali dari bagian C ke bagian D, melewati
pepohonan, akan terlihat sebuah gambar yang indah yaitu sebuah pemakaman
terbuka dengan pohon-pohon sebagai latar belakangnya. Anda juga bisa
melihat jalan setapak di pemakaman yang dipakai orang kampong untuk
melintasi pemakaman. Jalan setapak mudah dikenali dan sering digunakan
untuk berjalan. Di antara bagian A, B dan bagian C, D terdapat selokan
air. Selokan ini banyak tertimbun bila ke arah pintu masuk, tetapi jika
ke arah masuk pemakaman Anda bisa melihat bahwa selokan tersebut terbuat
dari batu alam. Di antara bagian A dan C di atas selokan terdapat
sebuah jembatan. Jembatan ini sangat berguna untuk gerobak dan tentu
saja agar kaki tidak basah.
Kembali di pintu masuk kita akan mendapati bagian E. Bagian ini
terletak langsung di sebelah kanan jalan mulai dari pintu masuk. Di
bagian ini akan ditemukan makam-makam yang paling menarik dari areal
pemakaman ini, antara lain adalah monumen besi cor P.J.B. de Perez
(1803-1859), wakil presiden dari dewan Hindia-Belanda [4] dan monumen
besar untuk Residen D.F.W. Pietermaat (1790-1848). Di bagian ini juga
terdapat makam yang cukup berbeda, yaitu makam Ursulin Sisters. Seluruh
bagian E terdiri dari kamar kubur di bawah tanah yang semua terletak
saling membelakangi di samping jalan. Di jalan setapak yang pertama pada
bagian E, pemandangan tertutup oleh monumen Perez dan jalan setapak
yang di tengah tertutup oleh monumen Pietermaat. Sehingga makam-makam
tersebut tepat pada pandangan di bagian tersebut, hal ini menunjukan
lokasi ini dipilih dengan sengaja untuk mengunkapkan status orang yang
dimakamkan.
Karena bagian E sedikit lebih lama, sehingga kita bisa melihat kamar
kubur di bawah tanah dengan monumen makam yang sedikit berbeda daripada
bagian A dan B. Terdapat lebih banyak bangunan besar di atasnya yang
memiliki kaki tiang dengan sendi batu yang berat ditutupi dengan atap
berbentuk piramida. Atap ini menjorok keluar sehingga batu sendi tetap
kering pada saat hujan. Kebanyakan penutup ini ditopang oleh pilar
batu-bata yang di dalamnya terdapat besi. Batu sendi dari bangunan
klasik di atas makam-makam tersebut sering terdapat tulisan nisan.
Lubang-lubang di batu sendi menunjukan adanya lubang monumen (“
graftrommel”). Tulisan nisan sering mengunakan
marmer,
tetapi juga terdapat jenis batu alam lokal. Selain monumen buatan
lokal, juga ada monumen granit, marmer dan batu keras yang diimpor dari
Eropa. Juga terdapat batu nisan yang mirip dipakai di Belanda pada abad
ke-19. Pada bagian ini yang perlu diperhatikan adalah monumen besi cor.
Monumen tersebut masih dalam kondisi cukup baik, yang menakjubkan
monumen ini terletak di antara monumen-monumen lain yang telah dirusak.
Bagian F tepat bersebelahan bagian E. Bagian F sampai batas belakang
pemakaman. Pada bagian F tipe monumen makam di kamar kubur di bawah
tanah, terlihat seperti tipe yang digambarkan di bagian E. Di bagian F
terdapat beberapa monumen besar di atas beberapa makam, sehingga monumen
terlihat besar. Selain itu di bagian ini juga terdapat beberapa tipe
monumen.
Juga bisa temukan beberapa penggunaan bahan lain, seperti nisan
marmer atau batu keras, atau patung salib Kristus yang terbuat dari batu
keras. Yang mencolok adalah barisan kamar kubur di bawah tanah semakin
jauh ke belakang, semakin besar kerusakannya. Seperti di bagian lain,
kamar kubur di bawah tanah banyak terdapat lubang besar di sisi depannya
yang diisi dengan sampah sehingga bagian dalamnya tidak bisa terlihat.
Banyak kerusakan terjadi karena tumbuhnya akar-akar pepohonan di sekitar
kamar kubur di bawah tanah. Akar pepohonan tersebut seperti memeluk
seluruh kamar kubur di bawah tanah sehingga merusak monumen-monumen
sampai hampir hilang. Pada akhir bagian F adalah kampong yang dipisahkan
oleh dinding. Pada dinding itu terdapat lubang-lubang pintu untuk masuk
ke makam. Orang kampong bisa masuk ke makam dengan cepat, sebagai jalan
pintas, tetapi pintu ini juga nyaman untuk aktivitas dan tugas-tugas
kecil yang tidak bisa dilakukan di kampong karena terlalu sempit.
Sebelah bagian F adalah bagian J yang terletak di pojok pemakaman.
Bagian tersebut tidak terlalu besar dan didominasi oleh sebuah rumah
dengan berbagai kegiatan sekitarnya. Di situ terdapat beberapa
kandang-kandang hewan, gudang-gudang kecil dan satu kamar mandi.
Keseluruhan rumah tersebut memiliki luas puluhan meter persegi. Beberapa
pohon ditanam supaya teduh dan beberapa bagian dari monumen
dimanfaatkan, terutama batu nisan. Tidak mengherankan banyak
monumen-monumen yang rusak. Di pojok halaman permukaan tanah agak miring
naik ke tepi. Di sini terdapat tumpukan besar dari puing-puing, yang
mungkin berasal dari pembersihan sebelumnya atau sampah bangunan dari
kampong sebelah. Sepanjang tepi, yang berbatas bagian K, seharusnya ada
sebuah parit yang tidak terlihat karena tertutup banyak puing-puing.
Sisa-sisa parit akan terlihat pada saat mengarah ke bagian I.
Seiring berjalannya waktu banyak monumen-monumen yang hilang pada
bagian I. Pada awalnya, bagian ini terdapat makam biasa yang seperti
hampir tidak terganggu. Tidak ada pohon di bagian I, tetapi di sisi
bagian utara - pandangan mengarah ke knekelhuis – yang didominasi oleh
pepohonan. Makam-makam yang terletak di sini, menunjukan monumen-monumen
khas, yaitu apakah sebuah makam memiliki atau tidak atap besi di
atasnya. Sebuah area dengan ukuran 10 kali 30 meter yang tidak memiliki
pepohonan. Sebelumya, sebagian dari daerah ini adalah jalan setapak yang
memisahkan bagian F dan I, dan sebagian adalah beberapa garis kuburan.
Bagian ini digunakan sebagai tempat bermain sehingga rumput hilang. Dari
sini juga tempat bermain layang-layang dan sepak bola.
Sepanjang tepi bagian K adalah dua garis makam di bawah tanah dengan
sebuah jalan di antaranya. Bagian K terbentang sepanjang tepi pemakaman
yang terdapat makam-makam di bawah tanah. Makam-makam di bawah tanah
tersebut kebanyakan dibuat pada awal abad ke-20. Pada sisi pemakaman
ini, juga terdapat banyak sampah yang dibuang ke pemakaman. Popok,
kantong sampah, limbah dan barang-barang lain, sampah ini terdapat di
antara makam-makam atau di makam di bawah tanah yang telah rusak.
Keadaan monumen-monumen makam banyak yang rusak, kecuali beberapa makam.
Jika berjalan ke arah knekelhuis, melalui jalan lebar, anda akan
sampai di bagian H. Knekelhuis tersebut merupakan titik fokus di bagian H
dan I. Seperti monumen-monumen makam, knekelhuis juga dalam keadaan
buruk. Knekelhuis tersebut bergaya kuil Yunani, ruang utama teletak di
antara kolom-kolom penyangga yang memiliki portal terbuka pada bagian
depan dan belakang. Di dalam ruang utama terdapat pintu masuk yang
merupakan akses ke ruang yang terdapat dua lubang terbuka di lantai. Dua
lubang tersebut adalah lubang untuk tulang tulang asli. Dulu lubang ini
ditutupi dengan tutup yang cocok, tetapi sekarang lubang tersebut
dipakai untuk pembuangan limbah. Pintu masuk belakang yang berbentuk
lengkung telah runtuh dan dinding-dinding terlihat usang. Walaupun
memiliki keadaan yang buruk, knekelhuis masih tetap sebuah bangunan
mencolok.
Di bagian H sebagian adalah makam di bawah tanah dan sebagian adalah
makam biasa. Mungkin di sini makam di bawah tanah juga merupakan
makam-makam susulan. Hal ini disimpulkan dari fakta karena makam
tersebut terletak di tengah jalan. Di tengah dari bagian H cukup
terbuka, sedangkan di sebelah utara dan selatan terdapat pepohonan.
Struktur makam kurang teratur sehingga bagian H tidak memiliki sudut
pandang yang jelas karena tanaman kurang membentuk kesatuan dan di pojok
timur laut banyak aktivitas rumah tangga. Bagian ini banyak yang
diabaikan dan kondisi monumen banyak yang rusak. Banyak atap besi telah
runtuh. Pandangan ini memberikan kesan dramatis dan kacau.
Bila kita kembali ke dekat pintu masuk, masih terdapat satu bagian
yang tersisa. Bagian G adalah bagian yang memiliki bentuk paling
berbeda. Bagian ini melintang terhadap arah bagian bagian lain , tetapi
arah makam tetap sama. Di dekat pintu masuk sepanjang jalan yang dulu
bernama Kerkhoflaan terdapat ruang makam di bawah tanah, tetapi di
tengah adalah makam makam biasa. Bagian ini dimulai tepat di belakang
rumah pengurus makam dan terbentang hampir sampai sisi timur pemakaman.
ada dua baris makam di bawah tanah di bagian K yang terletak di antara
batas makam sisi timur dan bagian G. Banyak makam kubur di bawah tanah
memiliki atap besi yang di antaranya masih terpelihara dan memiliki
bentuk detail. Karena di tempat banyak pohon, monumen merupakan tempat
ideal untuk istirahat siang bagi warga kampong sekitar.
Di bagian ini, bagian G, agama Katolik lebih mencolok yang ditunjukan
dalam bentuk salib, ukiran kristus dan lain-lain. Di bagian ini juga
terdapat monumen untuk pastor Van der Elzen (1822-1866) yang terlihat
mencolok di ujung poros dari pintu masuk. Banyak monumen makam di sini
yang rusak atau sebagian hilang. Di sudut di sebelah kiri pintu masuk
sebagian dipisahkan oleh pagar. Dibalik pagar hidup sebuah keluarga. Di
sekitar monumen makam tersebut digunakan untuk mandi, sebagian untuk
duduk dan beristirahat. Sepanjang jalan ada pagar baru dan selokan tepat
di belakangnya.
Bagaimana nasib Peneleh?
Pada tahun 1998 pemerintah kota Surabaya menganggap pemakaman sebagai
monumen sejarah yang penting. Permasalahan di sini adalah pemerintah
kota tidak memiliki anggaran untuk pemeliharaan pemakaman. Beberapa
tahun terakhir sejumlah orang dipekerjakan untuk melakukan pemeliharaan.
Terutama melakukan pembersihan daun-daun di areal yang tumbuh
pepohonan. Karena iklim di sini tidak memiliki musim gugur, daun-daun
bisa jatuh sepanjang tahun. Orang yang bekerja selalu membakar
tumpukan-tumpukan daun di situ.
Tetapi pemeliharaan yang minim tidak bisa membuat kondisi lebih baik. Monumen-monumen makam tidak terpelihara.
Namun pemerintah Surabaya menyadari bahwa Peneleh adalah warisan
budaya. Oleh karena itu pada Oktober 2011 diselengarakan workshop yang
juga bekerja sama dengan Kementerian Warisan Budaya Belanda dan Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Selama lima hari mahasiswa jurusan
arsitektur, pegawai pemerintah kota dan beberapa ahli dari Belanda
melakukan eksplorasi kemungkinan-kemungkinan untuk makam Peneleh.
Hasilnya adalah tingginya keinginan yang kuat dari kampong sekitar untuk
dijadikan perluasan pasar, areal rekreasi, maupun aktivitas lainnya.
Selain itu, pemakaman bisa digunakan untuk jalan pintas ke daerah lain.
Dalam workshop ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran jelas dan
penilaian tentang makam Peneleh, tetapi juga bertujuan untuk mendapatkan
design tata ruang. Hasil dari workshop telah dipresentasikan pada bulan
Desember 2011.
Salah satu rekomendasi dari hasil workshop tersebut adalah mendirikan
sebuah yayasan yang sebagian didanai oleh Belanda untuk melestarikan
Peneleh. Kalau rekomendasi tersebut dilakukan, sebuah organisasi kecil
harus didirikan untuk mengelola pemakaman dan melakukan beberapa
perbaikan monumen makam. Tetapi sebelum hal itu dilakukan hal tersebut
akan memakan banyak waktu. (2011)
Vanuit het Nederlands vertaald door Martine Barwegen met steun van de Rijksdienst voor het Cultureel Erfgoed (RCE).
sumber: http://www.dodenakkers.nl
Literatur:
- Faber, G.H. Von; Oud Soerabaia. De geschiedenis van IndiĆ«’s
eerste koopstad van de oudste tijden tot de instelling van den
gemeenteraad (1906), Surabaya 1931
- Bok, L.A.H.; Karakteristiek Peneleh - Makam Belanda – Surabaya,
ditulis untuk Design Development Workshop Kampung & Graveyard
Peneleh, 2011.
Sumber:
- DVD Indisch Genealogische Vereniging (IGV), toegang tot bronnen
voor genealogisch onderzoek met betrekking tot Indonesiƫ. Uitgave 2,
2010.
- Design Development Workshop Kampung & Graveyard Peneleh, Surabaya, 27 oktober – 2 november 2011.
Internet:
Seorang warga berada di pejabat Timur mantan Pemerintah Hindia
Belanda yang adalah kepala pemerintahan daerah. Di bawah dia adalah
warga lagi asisten. Hal ini disebut Dewan bahwa di Hindia Belanda yang
dipimpin oleh Gubernur Jenderal, termasuk warga berdiri. Kampung
(sekarang kampung di ejaan resmi) adalah kata Melayu yang berarti
halaman berpagar atau kumpulan sifat yang terlihat melalui pagar milik
bersama, sidang diselenggarakan kota (kabupaten), atau sebuah desa
kecil. The Peneleh kampung membentang kemudian hanya sepanjang Kali Mas.
Dewan Hindia adalah dari 1609-1942 organ pusat pemerintahan kolonial
Belanda, pemerintah di bawah Gubernur Jenderal. Para anggota Dewan
Pengawas dari India juga disebutkan. Dewan ini didirikan sebagai
perguruan tinggi bahwa Gubernur Jenderal harus mengungkapkan. Selain
itu, Dewan memiliki peran monitoring dan memberikan nasihat Gubernur
Jenderal pada pengangkatan pejabat, tetapi juga menteri dan urusan
ekonomi dan keuangan.
Notes
- Di zaman Hindia-Belanda seorang residen adalah seorang kepala
pemerintah daerah. Assistent-resident membantu kepala pemerintah daerah.
- Dengan ini menunjukan pemerintah Hindia-Belanda dipimpin oleh seorang Gubernur-Jenderal, yang dibantu oleh resident-resident.
- Kampung adalah kata bahasa Malay yang berarti sebuah halaman yang
berpagar atau sebuah kumpulan tempat tinggal yang pagarnya milik
bersama, sebuah daerah perkotaan atau sebuah desa kecil. Waktu itu,
kampong Peneleh terletak sepanjang sungai Kali Mas
- Pada tahun 1609 sampai 1942 dewan Hindia-Belanda adalah sebuah
organisasi pusat dari pemerintah Hindia-Belanda, sebuah pemerintah
dibawa Gubernur-Jenderal. Anggota Dewan Hindia-Belanda juga disebut
Dewan Hindia-Belanda. Dewan Hindia-Belanda dibentuk untuk memberikan
nasehat kepada Gubernur-Jenderal. Selain itu Dewan Hindia-Belanda
memiliki fungsi kontrol dan memberikan nasehat tentang calon pegawai
pemerintah, tetapi juga tentang calon pelayan gereja dan tentang urusan
ekonomi dan keuangan.
Reacties (0)