Tiada alasan untuk menyebut Sidoarjo sebagai kawasan yang sekular. Sebaliknya, sangat beralasan bila kita menyebut Sidoarjo adalah kawasan yang agamis. Buktinya, hingga tahun 2002 lalu, tercatat ada 4.709 tempat ibadah terdiri dari langgar dan mushola sebanyak 3.823 bangunan, masjid 859 bangunan, gereja 21 bangunan, pura 1 bangunan, vihara 2 bangunan dan candi 3 bangunan.
Pemeluk Islam tercatat 94,46 %; pemeluk Kristen 1,98 %; pemeluk Katolik 1,08 %; pemeluk Hindu 0,26 %; pemeluk Budha 0,25 %; pemeluk Kong Hu Cu 0,01 % penganut Kepercayaan 0,06 %. Sejak era kolonial, Sidoarjo adalah tempat bergurunya para kyai sepuh kalangan Nahdlatul Ulama (NU) seperti Kyai Hasyim Asy’ari. Sejak usia 14 tahun Kyai Hasyim kecil berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Bermula di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), kemudian pindah ke Pesantren Langitan (Tuban). Setelah itu ia melanjutkan ke pesantren Trenggilis (Semarang).
Tidak puas dengan ilmu yang diperolehnya, ia pun akhirnya memutuskan untuk menyempurnakankan ilmunya di Sidoarjo, yaitu di Pesantren Siwalan Panji di bawah bimbingan kyai Ja’kub. ( Kini pondok bersejarah itu sudah dirubah namanya oleh pengasuh pondok yang baru menjadi Pondok Pesantren Salafiyah Yak’ub Hamdani dibawah asuhan Kyai Haji M Asy’ari Asmu’i) Hingga akhirnya Kyai Hasyim Asy’ari menjadi seorang ulama hadis terkenal yang dimiliki Indonesia.
Kedekatan emosional Kyai Hasyim Asy’ari dengan Sidoarjo tampak saat Kyai Ja’kub diangkat sebagai menantu, sesuai dengan tradisi di lingkungan pesantren. Pendiri NU ini mempersunting Khadijah, perempuan asli Sidoarjo. Bagi warga NU Sidoarjo, inilah sejarah bernuansa adikodrati yang cukup ‘akbar’.
Sidoarjo adalah tanah yang mendapat berkah dan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menggodok pemimpin yang kelak akan memayungi organisasi sosial keagamaan di nusantara. Bisa disebut Sidoarjo adalah ‘kawah candradimuka’ sang pendiri NU, sekaligus tempat cintanya berlabuh.Hasil pernikahan Kyai Hasim -Khodijah ini melahirkan seorang anak bernama abdullah. sayangnya, Khadijah dan Abdullah ahirnya meninggal dunia di makkah dan di tahun 1930, pondok itu terbakar habis hingga tinggal pung-puing dan sebuah musholla.
Selain Kyai Hasyim Asy’ari, banyak lagi kyai yang lahir dari ‘perut’ pesantren-pesantren di Sidoarjo. Itu berkat proses berlangsungnya proses belajar mengajar yang ulet. Kepercayaan para santri NU sangat dekat dengan kisahkisah keajaiban. Misalnya, tentang ide pendirian NU di tahun 1924. Bermula dalam kelompok diskusi Tauswirul Afkar (potret pemikiran), yang didirikan KH Wahab Hasbullah di Surabaya. Dalam berbagai kesempatan, KH Wahab selalu mensosialisasikan ide untuk mendirikan jam’iyah. la sudah menyampaikan keinginan itu kepada Kyai Hasyim, gurunya.
Namun Kiai Hasyim tidak serta merta menerima ide tersebut. Berhari-hari ia melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk Tuhan. Sementara itu, Kyai Cholil, guru kiai Hasyim yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati mereka. Kyai sepuh asal Bangkalan, Madura ini cukup tanggap. Seorang santri yang terhitung masih cucunya sendiri, As’ad, dipanggilnya untuk menghadap. “Saat ini Kyai Hasyim sedang resah, Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” kata kyai Cholil menyerahkan sebuah tongkat.
Di Tebuireng, As’ad menyerahkan tongkat tersebut, sambil membacakan ayat yang disampaikan Kiai Cliolil yaitu ayat mengenai Musa dan tongkatnya. Hati Kyai Hasyim pun bergetar dan menafsirkan bahwa gurunya tidak keberatan atas akan didirikan Jam’iyah. Karena jami’iyah belum juga didirikan, Kiai Cholil kembali mengutus muridnya itu untuk menyampaikan tasbih. Dan, akhirnya Kiai Hasyim Asy’ari mantap untuk mendirikan jam’iyah yang dinamakan Nahdlatul Ulama.
Tempat penggodokan para santri nahdliyin adalah pondok pesantren. Di Sidoarjo kini sudah berdiri 236 pondok yang diisi oleh ribuan santri yang berasal dari segenap penjuru tanah air. Selain Nahdlatul Ulama, di Sidoarjo juga muncul banyak organisasi sosial keagamaan yang lain seperti Muhammadiyah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, Hizbut Tahrir. Banyak pula institusi yang berada di bawah naungan organisasi keagamaan tersebut. Seperti institusi Fatayat, Gerakan Pemuda (GP) Anshor, Ikatan Pelajar NU (IPNU), Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU) yang ada di bawah organisasi Nahdlatul Ulama. Sementara Ikatan Remaja Muhammadiyah mengiduk kepada organisasi Muhammadiyah.
Pemikiran keagamaan warga NU bisa di telusur dari pokukpokok pikiran KH Hasyim Asy’ari dalam belasan Judul kitab yang ditulisnya. Yang hingga kini diajarkan di banyak pesantren di Sidoarjo. Alur pemikiran KH Hasyim Asy’ari tak terlepas dari trilogi kalam, Fikih dan Tasauf. Dalam pandangannya, ada tahapan yang mesti ditempuh agar tak timbul penyimpangan. Sangat prihatin jika ada orang yang akidahnya belum mantap tiba-tiba mengikuti tarekat.
Sinkretisme ala budaya kejawen perlu dijernihkan, meski itu adalah realitas keberagaman masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Semangat pemurnian akidah warga NU itu tercermin dalam doktrin teologi Ahlus Sunnah wal Jamaah ala Abu IIasan Al Asy’ari dan Abu Manshur AI Maturidi. Sedikitnya ada dua kitab; al Qalaid fi Ma Yajib minal Aqaiddan Risalah Tauhidiah, yang menjelaskan doktrin teologi yang harus dipegang oleh setiap Musum Sunni. Obsesi permunian Islam itu adalah untuk membersihkan sufisme dan tarekat dan praktek-praktek yang menjurus pada panteisme dan syirik.
Sufisine murni ala santri NU merujuk pada konsep sufisme ortodoks Abu Hamid Al Ghazali yang menekankan peningkatan nilai-nilai etika dan moral dengan melaksanakan ajaran Rasulullah. Praktek sufisme dan tarekat yang menyimpang dijauhi. Seperti tertulis dalamAd Dararul Muntatsirah dan Tamyizul Haqq minal Baithil. Dalam kilab ini, KH Hasyim Asy’ari memaparkan bahwa penyimpangan ajaran sufi kerap bersumber dari kultus individu berlebihan terhadap tokoh tertentu.
Namun, keberadaan hal-hal berbau mistik sebenamya tidak dipungkiri oleh para santri NU. Mereka beranggapan bahwa pengalaman mistik adalah pengalaman spriritual yang bersifat personal dan tak selayaknya dijadikan wacana publik. Sementara itu, panteisme dan mistik heterodoks ala Al Hallaj dan Hamzah Fansuri dianggap bisa menyesatkan umat sehingga perlu dijauhi. Begilu juga dalam hal sufisme, para santri getol membersihkan sufisine dari aiaran-ajaran eskatik dan metafisik.
Dalam bidang ekonomi, para santri mepunyunyai visi untuk mewujudkan ekonomi berbasis kerakyatan. KH Hasyim Asy’ari saat melihat kondisi ekonomi masyarakat yang memprihatinkan pada tahun 1918 merintis kerjasama para pelaku ekonomi lemah yang disebutnya Syirkatul ‘Ianan li Mutahathoti Ahlil Tujjar. Yang bentuknya mirip koperasi yang menggunakansyariat Islam. Badan ini berkembang dengan lahirnya Nahdlatul Tujjar(Kebangkitan Kaum Pedagang) yang menjadi wadah para pengusaha santri. Berbeda dengan Sarekat Islam yang politis, Nahdlatul Tujjar murni bergerak untuk memberdayakan ekonomi umat. (dari http://jawatimuran.wordpress.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar