(Lamandau yang Eksotik)
Sewaktu membuka foto-foto dokumentasi saya
di laptop, mata saya tertumbuk pada foto eksotik di atas. Foto
menunjukkan seorang pribumi suku Dayak Tomun, sedang menuangkan tuak dari guci tanah
liat. Nostalgia saya kembali melayang ke masa PTT di Lamandau,
kabupaten pemekaran di Kalimantan Tengah. Di Kabupaten ini, dari tahun
2003 sampai dengan tahun 2005, saya bertugas sebagai dokter PTT. Diberi
tanggung jawab sebagai Pimpinan Puskesmas Tapin Bini, sebuah desa di
Kecamatan yang namanya sama dengan sungai yang melaluinya: sungai
Lamandau. Dan juga sama dengan nama Kabupatennya.
Tuak adalah nama minuman khas tradisional
suku Dayak. Jangan dikelirukan dengan minuman tuak dari nira, yang juga
dikenal di daerah lain di nusantara. Tuak asli Dayak di buat dari
fermentasi beras ketan! Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan hal itu,
karena semua karbohidrat pada dasarnya bisa diolah menjadi alkohol. Tapi
mengetahui fakta itu langsung dari pribumi setempat, saya sempat
terkejut. Kita tidak perlu ke Jepang untuk minum sake. Di daerah
terpencil nusantara, ada versi lainnya. Bahkan hasil fermentasi tuak ini
bisa disuling untuk meningkatkan konsentrasi alkoholnya menjadi anding.
Perlu keterampilan dan kesabaran untuk
menghasilkan tuak yang nikmat, karena pembuatannya melalui banyak
proses peracikan bermacam bahan dan penakaran yang pas. Uniknya
kebanyakan pembuatan tuak dilakukan oleh kaum perempuan, yang
mewarisinya turun temurun dari keluarganya.
Di Palangka Raya dan hampir semua tempat
lainnya di Kalimantan Tengah, minuman hasil fermentasi dari beras ketan
asli Dayak ini lebih dikenal dengan nama baram. Tidak diketahui
dengan pasti mulai dari kapan orang Dayak mengenal teknologi
fermentasi tuak. Mungkin telah menjadi tradisi selama beratus-ratus
tahun, karena tuak digunakan dalam ritual sebagai sesaji untuk para
roh leluhur. Juga disajikan sebagai minuman tradisional dalam acara
penyambutan tamu terhormat.
Perlu keterampilan dan kesabaran untuk
menghasilkan tuak yang nikmat, karena pembuatannya melalui banyak
proses peracikan bermacam bahan dan penakaran yang pas. Uniknya
kebanyakan pembuatan tuak dilakukan oleh kaum perempuan, yang
mewarisinya turun temurun dari keluarganya.
Tuak, sake-nya Dayak bukanlah hal yang
mengejutkan bagi seorang traveler. Tapi Anda pasti akan terpana saat
melihat bahwa dalam acara ritual, warganya menggunakan tanduk banteng
untuk meminum tuak. Tidak semua orang boleh minum dari tanduk banteng.
Banteng di Lamandau adalah anomali, fenomena dalam fauna yang
mengejutkan para peneliti. Anda yang mengerti Biologi, pasti
bertanya-tanya bukankah banteng tidak seharusnya berada di sana? Tapi
warga di desa Petarikan, Bintang Mengalih, dan Kahingai sering melihat
kawanan banteng di suatu tempat di tepian sungai Belantikan. Sopaan
mungkin nama tempat itu. Saya kira ini femomena mistik, tapi para
peneliti memang menemukan kotorannya. Saya kira Kompas pernah menulis
tentang hal ini. (Kompas, 3 Oktober 2005).
Anda juga tidak akan percaya akan fakta
bahwa suku Dayak Tumon mengaku punya hubungan darah dengan suku
Minangkabau di Sumatera Barat kan? Silahkan baca
http://www.thefreelibrary.com/A+Tumon+Dayak+burial+ritual+%28Ayah+Besar%29%3A+description+and…-a093533241
Apakah juga perlu saya ceritakan fenomena kuyang alias hantu kepala terbang, yang saya sendiri pernah melihatnya langsung?
Waktu itu sudah malam, dan ada panggilan
untuk mengobati orang di desa tetangga. Kami naik speedboat, membelah
sungai yang penuh dengan riam dan batu. Saat itu saya melihat ada bola
api di atas pepohonan di tepi sungai. Pada mulanya saya berpikir saya
sedang melihat meteor atau bintang jatuh, tapi akhirnya saya sadar kok
lintasannya lurus ke depan. Obyek tidak dikenal itu, terbang
perlahan-lahan sedekat pucuk-pucuk pohon. Sempat juga berpikir suatu
satelit. Tapi ngapain satelit mengikuti kami? Akhirnya saya pun
dijelaskan warga. Itu hantu terbang pak dokter. Lusanya pasien saya yang
sudah sangat kuning itu akhirnya meninggal. Kata warga, darahnya
dihisap kuyang
Lamandau bukan hanya tentang tuak. Ada
begitu banyak kisah lainnya. Jika tertarik, saya akan menurunkan
reportase saya selanjutnya. (http://wisata.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar