Rabu, 17 September 2014

Monumen Radio Rimba Raya


Monumen Radio Rimba Raya
Monumen Radio Rimba Raya
Monumen Radio Rimba Raya adalah sebuah tugu yang dibangun untuk mengenang sejarah Radio Rimba Raya yang berperan sangat besar dalam mempertahankan Indonesia dari agresi Belanda. Monumen ini diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB. Monumen tersebut terletak di kampung Rime Raya, kecamatan Pintu Rime Gayo,Kabupaten Bener Meriah. Tugu ini selain menjadi tempat bersejarah juga menjadi salah satu obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi.
Sejarah Radio Rimba Raya
Menurut sejarahnya, perangkat Radio Rimba Raya itu dibeli pada Jhon Lee (seorang blasteran Manado-China) yang menjadi perantara pembelian perangkat radio tersebut. Perangkat Radio Rimba Raya itu dibeli di Malaysia dan dibawa ke kota Juang Bireuen. Dari kota Bireuen, perangkat itu dibawa ke Koetaradja (Banda Aceh) dan sempat dirangkai komponen-komponennya pada akhir tahun 1948, namun belum sempat mengudara, oleh pejuang-pejuang Aceh, perangkat radio itu dibawa ke kampung Rime Raya yang saat itu masuk kecamatan Timang Gajah, Aceh Tengah.
Sebelumnya, perangkat radio itu direncanakan akan dibawa ke kampung Burni Bius, kecamatan Silih Nara. Namun karena kondisi keamanan di kawasan itu tidak aman, penjajah Belanda sedang memantau proses pengiriman perangkat radio itu, maka peralatan tersebut ditempatkan di kampung Rime Raya.
Setelah melewati perjuangan berat dalam mendirikan Radio Rimba Raya, akhirnya awal Desember 2008, Radio Rimba Raya mengudara yang memberitakan bahwa Republik Indonesia masih eksis kepada dunia luar. Dari Radio Rimba Raya ini para pahlawan Aceh mengumandangkan pesan kepada pejuang-pejuang kemerdekaan lainnya untuk terus berjuang mempertahankan negara dari penjajahan Belanda.

Peran Dalam Kemerdekaan Indonesia

Pada awalnya, selain mengudara untuk kepentingan umum, para awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata.Siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab.
Dalam tempo enam bulan mengudara, radio ini telah mampu membentuk opini dunia serta ”membakar” semangat perjuangan di tanah air, bahkan keberadaan negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 diakui oleh beberapa negara manapun di dunia. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diinformasikan, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.
Waktu itu Radio Rimba Raya setiap hari juga melakukan kontak dengan perwakilan RI di New Delhi. Berita-berita itu selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga dikutip oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju. Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang mengingat banyaknya berita yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.
Sebagai pemancar gerilya, Radio Rimba Raya juga menyajikan acara pilihan pendengar dengan menghidangkan nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia. Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Sebelum ditempatkan di hutan Raya Bener Meriah, Radio Rimba Raya sempat berpindah-pindah untuk memperoleh posisi yang tepat dalam menyiarkan berita-berita dan pesan-pesan perjuangan. Di Koetaradja (Banda Aceh), radio pemancar itu dipasang di desa ”Cot Gue”, delapan kilometer arah selatan ibukota tersebut. Penyiarannya dilakukan dalam sebuah gedung peninggalan Belanda di Kawasan Peunayung (sekarang pusat kota). Pemancar di desa ”Cot Gue” dan Studio Peunayung, dihubungkan dengan kabel dan selain juga disiapkan studio cadangan lain untuk mengantisipasi bila sewaktu-waktu Koetaradja direbut musuh.
Pemancar radio pada saat itu tidak sempat mengudara, karena terjadi agresi militer Belanda ke-dua pada 19 Desember 1948. Dalam keadaan yang genting itu, 20 Desember 1948 pemancar diberangkatkan ke Aceh Tengah dengan pengawalan ketat dan dirahasiakan. Daerah yang dituju, ialah desa Burni Bius, Aceh Tengah dengan pertimbangan lokasi itu dinilai strategis dan secara teknis dapat memancarkan siaran dengan baik. Rencana pemasangan radio di desa Burni Bius itu ternyata tidak dapat dilakukan, mengingat risiko yang sangat berat karena pesawat-pesawat Belanda terus mengintai rombongan selama dalam perjalanan. Dengan mempertimbangkan risiko yang mungkin terjadi, pemasangan radio akhirnya dialihkan ke Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah.
Sebelumnya, untuk mendapatkan radio itu Komando Tentera Republik Indonesia Divisi Gajah-I dari Malaya (Malaysia) bekerjasama dengan raja penyelundup Asia Tenggara, Mayor John Lie pada masa Agresi Belanda-I (21 Juli 1947). Perangkat radio dan kelengkapannya itu diselundupkan dari Malaysia melalui perairan Selat Melaka menuju Sungai ”Yu”, Langsa, Aceh Timur.
Radio Rimba Raya itu juga sempat dimanfaatkan oleh Komandan Tri Divisi X, Kolonel T. Hoesin Joesoef, sebagai pemancar siaran umum sebelum diangkut ke Aceh Tengah. Menurut beberapa tokoh pejuang kemerdekaan lainnya di Aceh, seperti yang diungkapkan, Teuku Ali Basjah Talsya, peranan Radio Rimba Raya sangat besar dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan di tanah air.
Hingga tahun 1950, Radio Rimba Raya masih mengundara. Radio Rimba Raya selain menyampaikan berita kemerdekaan, RRI Banda Aceh juga berperan penting dalam berbagai pemberitaan dan menyiarkan radiogram kepada wakil pemerintah di luar negeri.
Sekarang ini perangkat peninggalan Radio Rimba Raya itu tidak diketahui jejaknya, apakah masih ada atau sudah hilang sama sekali,. Kalaupun masih ada perangkat radio itu, kemungkinan tersimpan di Museum Jogyakarta
Radio Rimba Raya berjasa sangat besar dalam menyebarkan berita tentang kemerdekaan RI. Sejak Agresi Belanda ke-dua, 19 Desember 1948, peranan radio sebagai penyampai berita di tanah air sudah dilakukan oleh Radio Rimba Raya yang beroperasi di tengah hutan raya Aceh Tengah. Bahkan, siaran Radio Rimba Raya saat menyampaikan berita tentang Kemerdekaan Republik Indonesia itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semananjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa sehingga negara-negara luar mengetahui bahwa Republik Indonesia masih ada.
Pada awalnya, selain mengudara untuk kepentingan umum, para awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata. Siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab. Dalam tempo enam bulan mengudara, dia telah mampu membentuk opini dunia serta "membakar" semangat perjuangan di tanah air, bahkan keberadaan negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 diakui oleh beberapa negara manapun di dunia. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diinformasikan, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.
Radio Rimba Raya setiap hari juga melakukan kontak dengan perwakilan RI di New Delhi. Berita-berita itu selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga dikutip oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju.
Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang mengingat banyaknya berita yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.
Sebagai pemancar gerilya, Radio Rimba Raya juga menyajikan acara pilihan pendengar dengan menghidangkan nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia.
Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Sumber

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar